Kemiskinan menjadi perhatian utama
pembangunan yang direncanakan pemerintah selama beberapa dekade. Bahkan bisa
dikatakan bahwa muara besar dari perencanaan pembangunan hingga abad 21 ini
masih berkutat pada pengentasan dan penanggulangan kemiskinan. Pascakrisis 1998
yang melanda Indonesia misalnya, yang paling menonjol adalah munculnya program
pengentasan kemiskinan pada berbagai sektor yang ditangani pemerintah.
Misalnya, di sektor Kehutanan terdapat program Padat Karya Kehutanan, di sektor
kesehatan bersinergi dengan Depnaker, Koperasi dan UKM terdapat Program Jaring
Pengaman Sosial (JPS).
Untuk program sarana dasar terdiri dari;
P2KP, P3DT, PEMP, PM3K, PPK, IDT, dan terakhir program beras miskin (Raskin).
Selain itu, ada juga program untuk pengembangan ekonomi produktif misalnya:
P4K, UPPKS, P3EL, USP/ KSP, dan LKM. Di bidang pendidikan ada program; Biaya
Operasional Sekolah (BOS), di bidang kesehatan ada WSLIC, JPS Kesehatan, program
subsidi BBM, infrastruktur desa hingga subsidi di sektor perikanan dan
kelautan. (Jumansyah dan Ahmad Zaini, 2006:5). Melihat begitu banyak program
yang dilaksanakan pemerintah untuk pengentasan dan penanggulangan kemiskinan,
semestinya kita sudah bergerak melampau kondisi yang disebut miskin (secara
absolut). Namun yang terjadi, kemiskinan tetap menjadi persoalan utama dan
mendasar di negeri ini. Apakah ini berarti kita belum bergerak maju dari kondisi
sebelumnya? Jawabannya bisa sangat panjang dan beragam, dan kemudian kita
dapati benang merah bahwa kemiskinan merupakan kenyataan yang selalu ada dalam
tradisi manusia. Dalam tradisi keilmuan, kemiskinan belum menjadi konsep yang legitimate karena begitu banyak ragam dan kriteria untuk
menentukannya.
Di antara begitu banyak ragam konsep kemiskinan
yang ingin diukur oleh para pakar, muncul pula suatu pendekatan baru sebagai jalan
tengah, yaitu pendekatan dengan menggunakan metode Analisis Kemiskinan Partisipatif
(AKP). Secara keilmuan, metode ini bisa jadi tidak digunakan sebagai salah satu
tools untuk membangun teori yang bersifat umum, tetapi
semata-mata untuk bisa membangun suatu konsep yang hanya bisa menjelaskan obyek/subyek
itu sendiri. Sebagai instrument yang digunakan untuk orientasi pengambilan kebijakan
pembangunan, AKP tentu menjadi instrumen yang bisa dicoba untuk menganalisis kondisi
faktual kemiskinan masyarakat. Paling tidak instrumen AKP bisa menghindarkan
pelaku perencaan terjebak dalam kesalahan memahami kondisi dan akar masalah
kemiskinan yang muncul di tengah masyarakat.
Untuk kasus Sumbawa, bisa kita bedah kondisi
kemiskinannya. Menurut versi BPS, untuk Pra Keluarga Sejahtera (PraKS)
berturutturut dari tahun 2004–2007 adalah, 17.784 (18,92 persen), 19.9225
(20,40 persen), 22.256 (22,17 persen), dan 22.510 (22,24 persen). (Progress Report
Bupati Sumbawa Tahun 2008). Data yang berbeda akan didapatkan jika merujuk pada
instansi atau dinas yang lain. Misalkan data BKBPP tentang persentase Pra KS
Kabupaten Sumbawa tahun 2003 adalah sebesar 59,39 persen, kemudian tahun 2006
turun menjadi 48,8 persen, dan tahun 2007 turun lagi menjadi 47,75 persen.
Selain dari sisi jumlah, trend dari dua data ini juga menunjukkan perbedaan, di
mana data BPS memperlihatkan trend yang meningkat sedangkan menurut versi BKBPP
kemiskinan meski jumlahnya relative besar namun trend dari tahun ke tahun menunjukkan
penurunan.
Berdasarkan data kuantitatif tentang
kemiskinan tersebut, ternyata sampai sekarang justru masih menimbulkan
kontaversi. Untuk lebih memantapkan pemahaman kita terhadap kemiskinan yang
terjadi di Kabupaten Sumbawa, maka penelitian ini dilakukan dalam upaya menggali
secara lebih mendalam tentang akar masalah kemiskinan yang terjadi di daerah
pedesaan selama ini, bukan hanya dari sisi kuantitatif, akan tetapi penting
juga dikaji secara kualitatif berdasarkan kondisi riel para pelaku hidup dari
masyarakat desa itu sendiri. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat
dirumuskan masalah sentral dan tujuan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu
tentang karakteristik dan akar masalah kemiskinan yang ada di masing-masing
tipologi desa yang diteliti.
Untuk membahas masalah kemiskinan sebagai fokus
penelitian ini, digunakan berbagai konsep/teori, antara lain dalam World Summit for Social Development, Kopenhagen (1995) dikemukakan bahwa, kemiskinan memiliki wujud yang majemuk,
termasuk rendahnya pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan
berkesinambungan, kelaparan dan kekurangan gizi, rendahnya tingkat kesehatan, keterbatasan
dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya, kondisi
tidak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat, kehidupan
bergelandangan dan tempat tinggal yang tidak memadai, lingkungan yang tidak
aman, serta diskriminasi dan keterbelakangan sosial. Kemiskinan juga dicirikan
oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan dalam
kehidupan sipil, sosial dan budaya.
Pendekatan yang digunakan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) dalam menentukan penduduk miskin adalah pendekatan basic needs, di mana kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan
dalam memenuhi kebutuhan dasar, baik untuk kebutuhan makanan maupun untuk kebutuhan
non makanan. Indikator yang digunakan adalah Head Count Index (HCI) yaitu jumlah dan persentase penduduk miskin yang berada di
bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan dihitung berdasarkan rata-rata
pengeluaran untuk makanan dan non makanan. Standar untuk kebutuhan makanan
dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk kebutuhan makanan yang
menghasilkan energy 2100 kalori per hari, sedangkan untuk kebutuhan non makanan
adalah besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan minimum seperti
untuk perumahan, penerangan, bahan bakar, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi,
barang-barang tahan lama dan barang jasa esensial lainnya.
Tinjauan lain menurut ilmu ekonomi, yang menjelaskan
bahwa karakteristik kemiskinan absolut merupakan dampak dari perpaduan antara
tingkat pendapatan per kapita yang rendah dengan distribusi yang sangat tidak
merata. Michael P. Todaro menjelaskan karakteristik ekonomi masyarakat miskin,
yaitu; (1) kemiskinan di pedesaan sebagai generalisasi pertama yang terbilang
paling sahih (valid) mengenai penduduk miskin, di mana mereka pada umumnya
bertempat tinggal di daerah-daerah pedesaan dengan mata pencaharian pokok di bidang
pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya yang erat kaitannya dengan sektor
ekonomi tradisional tersebut, (2) kaum wanita, sebagai generalisasi penting kedua,
di mana kemiskinan lebih banyak diderita oleh kaum wanita. Wanita adalah kelompok yang
paling sering menderita kekurangan gizi, paling sedikit menerima pelayanan
kesehatan, air bersih, sanitasi dan berbagai bentuk jasa sosial lainnya
(Todaro, 2000: 200-201).
Ahli ekonomi lainnya, mengelompokkan ukuran
kemiskinan menjadi dua, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.
Kemiskinan absolut, diartikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat pendapatan
dari seseorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti sandang,
pangan, permukiman, kesehatan, dan pendidikan. Ukuran ini terkait dengan batasan
pada kebutuhan pokok atau kebutuhan minimum. Sayogyo (1977) menyatakan bahwa untuk
daerah perkotaan kebutuhan minimal perkapita setara dengan 420 kg beras per
tahunnya, dan untuk daerah perdesaan 320 kg. Kemiskinan relatif berkaitan
dengan distribusi pendapatan yang mengukur ketidakmerataan. Dalam kemiskinan
relatif, seseorang yang telah mampu memenuhi kebuthan minimumnya belum tentu
disebut tidak miskin, karena apabila dibandingkan dengan penduduk sekitarnya, bisa
jadi ia memiliki pendatapatan yang lebih rendah.
Kemiskinan, khususnya kemiskinan di kota erat
kaitannya dengan langkanya peluang kerja yang produktif. Penduduk, baik
pendatang (urbanis) maupun penduduk kota yang baru masuk angkatan kerja, dengan
kemampuan yang dimiliki menciptakan kesempatan kerja dengan memanfaatkan
kehidupan kota. Jika dipandang dari sudut ekonomi, maka ada beberapa faktor
penyebab kemiskinan yaitu: (1) secara makro, kemiskinan muncul karena adanya
ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi yang timpang.
Penduduk miskin memiliki sumberdaya terbatas dan kualitasnya rendah, (2)
kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas
sumberdaya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada
gilirannya upahnya juga rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini
karena rendahnya tingkat pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi,
atau karena keturunan, (3) kemiskinan muncul akibat perbedaan akses pemanfaatan
dan sumberdaya dan modal, (4) di daerah perkotaan, derasnya arus migrant masuk
juga memberi dampak terhadap semakin banyaknya penduduk dalam kategori miskin.
Prilaku para migran dalam kehidupan kota yang sedemikian rupa, yakni
pengeluaran yang serendah-rendahnya di daerah tujuan (kota) agar dapat menabung
untuk dapat di bawa pulang ketika mereka mudik ke kampung halaman (daerah
asal), dan (5) terputusnya akses pengairan di sebagian lahan pertanian,
berdampak pada perubahan perilaku petani. Apabila petani tidak dapat segera
mengantisipasi perubahan tersebut, mereka akan kesulitan untuk melakukan aktivitas produktif
di bidang pertanian. Optimalisasi lahan yang telah terputus akses pengairannya perlu
segera dipolakan agar kemanfaatannya oleh petani dan masyarakat perkotaan dapat
dirasakan.
Sumber;
http://publikasiilmiah.ums.ac.id
Post a Comment
komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau