Oleh:
Edi Suharto, PhD
Abstract
This
paper aims to identify roles of social workers in the alleviation of global
social problems. It argues that globalisation leads to massive change, for
better or worse, around the globe. This change provides challenges as well as
opportunities for social workers to contribute their expertise in the global
arena. As such, in order to respond to the global interdependence as well as
its implications, both social welfare development and social workers in
Indonesia require more robust commitment to the international dimensions of
social work education, professional associations, and human services.
Disampaikan
pada Seminar “Isu-Isu Global dan Masalah Sosial Strategis yang Berpengaruh
terhadap Pembangunan Kesejahteraan Sosial”Departemen Sosial RI, Jakarta 27-28
Januari 2004
PROLOG
Sejalan
dengan hadirnya era milenium baru, perubahan sosial berlangsung secara cepat
dan massif, menyentuh setiap sisi kehidupan umat manusia di belahan bumi
manapun. Berakhirnya Perang Dingin (The Cold War) ditandai dengan berakhirnya
era konflik ideologis yang telah sekian lama membagi dunia kedalam dua kubu
yang berlawanan. Kemenangan demokrasi atas totalitarianisme serta keunggulan
kapitalisme atas sosialisme telah menawarkan peningkatan interaksi dan
kolaborasi antar peradaban yang kemudian memperkuat hegemoni globalisasi.
Makalah
ini mengkaji pembangunan kesejahteraan sosial dan peran pekerjaan sosial dalam
konteks globalisasi. Dengan menempatkan globalisasi sebagai muara permasalahan
sosial global, peran pekerjaan sosial (social work) dalam arena pembangunan
kesejahteraan sosial pada skala nasional dan internasional menjadi mudah
dipetakan. Selain itu, pandangan ini sejalan dengan paradigma baru pekerjaan
sosial. Respon pekerja sosial tidak lagi bersifat reaktif-simptomatif yang
hanya berperan sebagai “tukang sapu” sampah sosial. Melainkan, harus pula
terlibat dalam perancangan kebijakan sosial strategis menghadapi perubahan
sosial yang terjadi dalam matra global. Selain harus mampu menangani persoalan
sosial yang muncul di hilir, pekerja sosial harus tanggap pula terhadap isu-isu
sosial yang hadir di hulu.
Tulisan
ini bersandar pada argumen pokok sebagai berikut: globalisasi ekonomi adalah
ibarat pedang bermata dua; mata yang satu menorehkan kemakmuran ekonomi,
sementara mata yang lainnya menggoreskan luka-luka kemanusiaan. Transformasi
global ini kemudian mengguratkan tantangan sekaligus kesempatan pada para
pekerja sosial, tidak hanya dalam skala nasional, melainkan pula pada aras
internasional. Realitas baru yang terbentang memberi pesan jelas bahwa
globalisasi menuntut redefinisi dan reposisi peran pekerjaan sosial serta
pembangunan kesejahteraan sosial di Tanah Air yang berdimensi internasional.
Alur pikir makalah ini disajikan dalam Gambar 1.
GLOBALISASI
Tidak
berlebihan, jika membaik dan memburuknya persoalan global dipandang sebagai
dampak dari, atau bermuara pada, globalisasi. Seorang kolumnis Boston Globe
menyatakan: “Dalam dunia yang menciut, baik dan buruk dapat dengan mudahnya
berpindah-pindah. Saat ini, kekuatan gelap globalisasi tampaknya lebih kuat
menggenggam.” (Charles Stein dalam Damanhuri, 2003). Karenanya, mudah dipahami
bahwa ketika Standars & Poor mengumumkan bahwa harga saham pada
perusahaan-perusahaan AS pada Maret 2000 menurun sekitar 40 persen, dalam waktu
singkat situasi ini merembet ke negara-negara Eropa Barat dan Asia. Dalam
periode yang sama, Inggris mengalami penurunan saham sebesar 42 persen, Prancis
sebesar 57 persen dan Jepang sebanyak 63 persen. Dampak negatif kemerosotan
ekonomi ini pada gilirannya menimbulkan atau memperparah situasi kemiskinan dan
pengangguran di negara-negara berkembang yang sebelumnya sudah buruk.
Globalisasi
sering dipahami sebagai proses internasionalisasi perekonomian yang ditandai
dengan semakin terbukanya perdagangan dan peredaran uang antar negara. Dalam
bahasa Ramesh Mishra (1999:3-4), “Globalization refers to a process through
which national economies are becoming more open and thus more subject to
supranational economic influences and less amenable to national control.”
Globalisasi dibentuk oleh politik dan ideologi neoliberalisme. Sehingga dalam
kenyataannya, antara globalisme dan neoliberalisme adalah dwitunggal yang sulit
dipisahkan. Neoliberalisme sendiri berakar pada ekonomi neo-klasik. Dua tokoh
utama pemikiran ini adalah Frederick von Hayek dan muridnya Milton Friedman.
Inti ajarannya menekankan pentingnya kebebasan, khususnya kebebasan ekonomi
dari campur tangan negara. Negara dipandang sebagai penghambat mekanisme pasar
dan karenanya mengganggu pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, neoliberalisme
sangat anti terhadap welfare state dan developmental state (Mishra, 1999;
Suharto, 2001a.,2001b, 2002).
Kemakmuran
versus Kesengsaraan
Dengan
dukungan neoliberalisme, kekuatan globalisasi tidak ada yang meragukan. Bermula
dari sekte kecil di Universitas Chicago, embusan globalisasi kini menguasai
jaringan internasional, lembaga penelitian, pers, dan penerbitan. Sebagian
besar ilmuwan dan kepala pemerintahan akan merasa “rendah diri” kalau tidak
mengutip doktrin-doktrin neoliberalisme. TINA (There Is No Alternative) adalah
jargonnya yang begitu membahana mengisi setiap relung pemikiran ekonom dan
ilmuwan sosial. Seakan-akan, pembangunan dunia ini tidak memiliki alternatif
lain, selain mengikuti pendekatan neoliberalisme. Dalam tataran praktis, hampir
tidak ada satupun negara di dunia ini yang bebas dari Coca-cola, McDonald, KFC,
dan Levis, lambang supremasi corporate capitalism yang menguasai sistem ekonomi
abad 21 (Suharto, 2002).
Kemajuan
standar hidup akibat globalisasi memang mengagumkan (lihat Baasir, 2003;
UNDP, 2002:13). Akumulasi kekayaan dunia pada periode 1986-2000 melonjak empat
kali lipat, dari 7,2 triliun dollar AS menjadi 27 triliun dollar AS. Jumlah
penduduk dunia yang hidup dalam kemiskinan absolut menurun dari 29 persen di
tahun 1990 menjadi 23 persen pada tahun 1999. Angka partisipasi Sekolah Dasar
juga meningkat dari 80 persen (1990) menjadi 84 persen (1998). Sejak tahun 1990,
sekitar 800 juta dan 750 juta orang telah memiliki akses terhadap air bersih
dan sanitasi secara berturutan.
Namun
di sebalik itu, globalisasi juga telah membawa penderitaan baru bagi dunia.
Potret kemajuan di atas ternyata sebagian besar hanya dialami oleh
negara-negara maju. Sedangkan kondisi kehidupan di negara-negara berkembang
masih tetap atau bahkan semakin terbelakang. Seperti dilaporkan UNDP (2002:13),
“But in a globalizing world the increasing interconnectedness of nations and
peoples has made the differences between them more glaring.” Penemuan teknologi
baru dan peningkatan integrasi ekonomi telah membuka kesempatan ekonomi global
yang luar biasa. Tetapi di balik kemakmuran yang umumnya dialami negara-negara
maju itu, kini masih terdapat 2,8 milyar orang yang hidup dengan pendapatan
kurang dari 2 dollar AS per hari. Seorang gadis yang lahir di Jepang saat ini
memiliki 50 persen kemungkinan untuk menatap abad ke-22, sedangkan 1 dari 4
bayi yang baru lahir di Afghanistan kemungkinan besar tidak akan pernah
merayakan ulang tahunnya yang ke-5 (UNDP, 2002:1-13). UNDP (2002:13)
menambahkan:
And
the richest 5% of the world’s people have income 114 times those of the poorest
5%. Every day more than 30,000 children around the world die of preventable
diseases, and nearly 14,000 people are infected with HIV/AIDS”
Berdasarkan
studinya di negara-negara berkembang, Haque (1999) dalam bukunya, Restructuring
Development Theories and Policies, menyimpulkan bahwa globalisasi bukan saja
telah gagal mengatasi krisis pembangunan, melainkan pula telah semakin
memperburuk situasi sosial-ekonomi di Dunia Ketiga (lihat Suharto, 2002:3):
Compared
to the socioeconomic situation under the statist governments during the 1960s
and 1970s, under the pro-market regimes of the 1980s and 1990s, the condition
of poverty has worsened in many African and Latin American countries in terms
of an increase in the number of people in poverty, and a decline in economic
growth rate, per capita income, and living standards.
Kegagalan
globalisasi seperti ini telah sering dibeberkan secara meriah dan meyakinkan
oleh banyak tokoh dunia, ilmuwan sosial maupun ekonomi. Paul Krugman, David
Korten, Noreena Hertz, Edward Luttwak, William Greider, dan peraih Nobel
Ekonomi 2001, Joseph E. Stiglitz adalah beberapa ilmuwan yang lantang menentang
dan/atau menunjukkan bahaya globalisasi.
Bahaya
Pertanyaannya,
mengapa globalisasi dapat mendatangkan bencana? Sedikitnya ada tiga alasan
utama mengapa globalisasi dapat membawa malapetaka bagi dunia.
Pertama,
globalisasi didasari ideologi free market fundamentalism yang patuh pada mitos
“the invisible hand” dan antipati terhadap peran negara (Stiglitz, 2003).
Diyakini bahwa kalau pemerintah mengeliminasi intervensi ekonominya (subsidi,
proteksi, kepemilikan), maka pasar privat dapat menjalankan perannya lebih
efisien yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
sosial melalui mekanisme “efek rembesan ke bawah” (trickle down effect).
Kenyataannya, “tangan tak kelihatan” itu tidak mampu mengatur pasar secara
sempurna, utamanya di negara-negara berkembang, karena ketidaksempurnaan
informasi dan ketidaklengkapan pasar. Sesungguhnya, dalam kondisi seperti ini,
intervensi negara diperlukan untuk merespon ketidak-sempurnaan dan bahkan
kegagalan pasar (market failure).
Kedua,
globalisasi memperkokoh hegemoni perusahaan-perusahaan multinasional atau
transnasional (MNCs/TNCs). Di balik kedok globalisasi, bersembunyi wajah
neoliberalisme, dan di belakang neoliberalisme berjajar MNC yang memiliki
kepentingan menguasai ekonomi dunia. Tony Clark (2001), dalam bukunya The Case
Against The Global Economy, menunjukkan bahwa dari 100 pemegang kekayaan dunia,
52-nya adalah MNC; sebanyak 70 persen perdagangan global di kontrol oleh hanya
500 MNC, dan 443 dari 500 perusahaan tersebut berasal atau berlokasi di AS
(185), Eropa (158) dan Jepang (100) (lihat Khudori, 2003).
Kelimpahan
kekayaan MNC membuat mereka memiliki posisi tawar (bargaining position) yang
kuat. Mereka dapat memaksa negara (baca: kepala pemerintahan) bertekuk lutut.
MNC bisa menawarkan investasi, lapangan pekerjaan, dan pertumbuhan ekonomi bagi
negara sejauh memenuhi syarat-syarat yang ditetapkannya (pajak rendah, upah
buruh minimum, serikat buruh yang lunak). Melemahnya sistem welfare state di
Eropa Barat, misalnya, dapat disebut sebagai bentuk “tunduknya” kepala negara
kepada MNC. Seperti dicatat Wibowo (2002), sampai tahun 1980-an tidak ada satu
pun negara di Eropa Barat yang berani mengubah kebijakan sosial (kesehatan, pendidikan,
jaminan hari tua) yang amat sensitif ini. Di pelopori panji ekonomi
“Thatcherisme”, satu demi satu negara-negara yang terkenal dengan “keroyalan”
pembangunan kesejahteraan sosial-nya itu “merestrukturisasi” welfare state.
(lihat Suharto, 2004, Negara Lemah versus Negara Sejahtera). Alasannya, welfare
state dianggap “boros” dan menakutkan para MNC memasukan modalnya ke negara
mereka (Esping-Andersen, 1996; Stephens, 1996).
Ketiga,
bahaya globalisasi tidak hanya disebabkan oleh saratnya muatan ideologi
neoliberalisme dan kepentingan kapitalis dunia. Lebih jauh, ia disokong oleh
tiga lembaga internasional penting: Bank Dunia, International Monetary Fund
(IMF) dan World Trade Organization (WTO) yang sanggup mencengkram dunia.
Melalui strategy export-oriented production dan pendekatan structural
adjustment policy (SAP), Bank Dunia dan IMF bertindak laksana agen kolonialisme
baru yang mengeruk kekayaan negara-negara berkembang. Ketika sebuah negara
sudah tergantung secara ekonomi karena terjebak pinjaman yang berkedok bantuan,
maka WTO dapat dengan leluasa meliberalisasi ekonomi negara tersebut (Wibowo,
2002; Baswir, 2003). Seperti dinyatakan Khudori (2003:4):
Sudah
tak terhitung berapa jumlah negara yang jadi korban neoliberalisme, Indonesia
salah satunya…Dalam posisi yang lemah, satu per satu sektor-sektor publik yang
semula diurus negara dilucuti dan diserahkan kepada mekanisme pasar, seperti
sektor pangan, migas, listrik, BUMN, pendidikan, dan kini akan menyusul air.
Jelaslah,
secara internasional memburuknya permasalahan sosial global bermuara pada
globalisasi. Melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi antara negara maju dan
berkembang, meningkatnya ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju,
serta menguatnya dominasi negara kapitalis atas faktor-faktor produksi negara
berkembang telah melahirkan dan bahkan memperparah tragedi kemanusiaan. Selain
itu, melemahnya peran negara dalam pembangunan ekonomi pada gilirannya akan
disusul dengan melemahnya peran negara dalam pembangunan kesejahteraan sosial.
Sebagaimana terjadi di banyak negara berkembang, melemahnya peran negara ini
seringkali menjadi pemicu disintegrasi sosial dan munculnya permasalahan sosial
“lokal”.
PERAN
PEKERJAAN SOSIAL
Pekerjaan
sosial sebagai profesi kemanusiaan yang digerakkan oleh ilmu, teknologi dan
etika pertolongan harus menyadari bahwa globalisasi adalah keniscayaan sejarah
yang tidak dapat dipungkiri eksistensinya. Namun, karena globalisasi ini tidak
bebas nilai, ia memuat hidden agendas yang dapat membahayakan kehidupan umat
manusia. Pekerja sosial perlu waspada terhadap isu-isu yang ditawarkan
globalisasi. Isu-isu seperti liberalisasi perdagangan, investasi dunia, HAM,
lingkungan hidup, hak paten, dan bahkan terma-terma akademis seperti
demokratisasi, community empowerment, local participation, indigenous culture,
tidak jarang digunakan sebagi “kemasan logis” neoliberalisme agar
“jebakan-jebakan kepentingan” dapat menebar dengan masuk akal dan leluasa.
Diharapkan ekonomi dunia tetap berada di bawah kendali kelas kapitalis
internasional. Melalui kesadaran ini, maka fokus pekerjaan sosial hendaknya
tidak hanya diarahkan untuk menanggulangi permasalahan sosial global yang diakibatkan
globalisasi. Melainkan pula, dan ini yang lebih penting, harus diarahkan pada
usaha perlawanan terhadap agenda-agenda globalisasi, termasuk kepada
neoliberalisme sebagai ideologi yang menjadi ruh globalisasi.
Think
Globally and Act Globally
Sebagaimana
dinyatakan Hokenstad dan Midgley (1997:1), “social work remains a profession
with a largely local orientation.” Tampaknya, para pekerja sosial sangat
terkesan dengan pemikiran yang berkembang selama ini, yakni: “berpikirlah
secara global, namun bertindaklah secara lokal” (think globally and act
locally). Sebagian besar pekerja sosial berkiprah dalam konteks pelayanan
sosial lokal. Tugas mereka, apakah membantu individu, keluarga atau komunitas,
senantiasa berbasis lokal. Meskipun sebagian besar pekerjaan sosial sangat
dipengaruhi oleh lingkungan nasionalnya, termasuk pendanaan, kebijakan dan
program, pandangan selintas menunjukkan bahwa seolah-olah praktik pekerjaan
sosial tidak terpengaruh secara langsung oleh kecenderungan dan isu-isu global
(Hokenstad dan Midgley, 1997).
Namun
demikian, pekerjaan sosial akan semakin mengalami kesulitan dalam menjalankan
fungsinya secara efektif tanpa pemahaman mengenai lingkungan global.
Kekuatan-kekuatan global di luar pembangunan dan kebijakan nasional memiliki pengaruh
langsung terhadap kehidupan lokal. Sistem perekonomian semakin terbuka dan
mengglobal. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF kini
semakin berpengaruh bukan saja terhadap kebijakan ekonomi, melainkan pula
kebijakan sosial. Pekerjaan, program jaminan pensiun, serta jenis dan jumlah
pelayanan sosial yang tersedia dalam skala lokal secara langsung sangat
dipengaruhi oleh agen internasional tersebut. Moynihan (1993) menyatakan bahwa
menguatnya globalisasi ekonomi dapat mengubah dan mempengaruhi dunia di luar
batas negara-bangsa; sekurang-kurangnya dalam kaitannya dengan pengaruhnya
terhadap kehidupan individu. Dua alasan berikut ini, memperkuat argumen di atas
(lihat Hokenstad dan Midgley, 1997:1-2):
Pertama,
praktik pekerjaan sosial dengan individu dalam skala lokal semakin terpengaruh
oleh permasalahan global. Contoh utamanya adalah meningkatnya “tribalisasi”
politik dunia. Dengan berakhirnya Perang Dingin dan meredupnya Perang Ideologi
sebagai sumber utama konflik internasional, suku dan agama bukan saja semakin
menjadi sumber identitas kelompok, melainkan pula konflik antar kelompok. Di
seantero dunia, apakah itu di Rwanda, Bosnia, Timur Tengah dan Indonesia,
konflik etnis telah meningkatkan jumlah pengungsi. Sampai dengan pertengahan
tahun 1990an, di seluruh dunia terdapat sekitar 20 juta orang yang mengungsi ke
luar negaranya, dan 20 juta orang lagi mengungsi ke wilayah lain di negaranya.
Fenomena ini merupakan tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah kehidupan
umat manusia. Sebagai akibatnya, semakin banyak pekerja sosial di seluruh dunia
yang bekerja membantu pengungsi, baik di negaranya sendiri mapun di luar
negeri. Pekerja sosial yang bekerja pada masyarakat dengan kebudayaan berbeda
perlu memiliki pemahaman mengenai akar budaya dan ragam etnis.
Kedua,
meningkatnya kemiskinan di suatu negara dan ketimpangan ekonomi antar negara
merupakan realitas global yang mempengaruhi pekerjaan sosial. Dekade tahun
1980an dan 1990an telah menyaksikan terjadinya kesenjangan pendapatan, bukan
saja karena negara kaya semakin kaya, melainkan pula karena negara miskin
semakin miskin. Frank dan Cook (1995) menyebut situasi ini dengan istilah “the
winner-take-all society”. Banyak negara berkembang, khususnya di Afrika dan
Asia Selatan, sangat dipengaruhi oleh peningkatan disparitas kemakmuran ini.
Terdapat kesenjangan kualitas hidup diantara umat manusia di dunia ini, dan
kesenjangan tersebut tampaknya semakin lebar. Di 19 negara, pendapatan per
kapita lebih rendah di bandingkan tahun 1960, dan sebanyak 1,6 milyar orang
memiliki kondisi kehidupan yang lebih buruk dibandingkan 15 tahun lalu. Derajat
kesengsaraan tersebut bersifat global dan karenanya memiliki dampak terhadap
tanggungjawab pekerjaan sosial di seluruh dunia.
Kedua
deskripsi di atas hanyalah sebagian kecil dari noktah global yang menantang
para pekerja sosial saat ini dan di masa depan. Tantangan berikutnya yang tidak
kalah penting adalah pelanggaran HAM, AIDS, penyakit menular, “peperangan”
(invasi AS di Irak dan Afghanistan) serta rusaknya lingkungan hidup. Semua itu
merupakan masalah sosial global yang harus ditangani secara global pula.
Karenanya,
di ufuk fajar milenium baru, menjadi tidak memadai lagi untuk bersandar pada
adagium “think globally and act locally”. Masalah-masalah global memerlukan
intervensi global. Pekerja sosial kini dituntut untuk merespon persoalan global
dengan pikiran dan tindakan global pula; “think globally and act globally”.
Tugas
Pekerja Sosial
Misi
dan tugas apa saja yang dapat dilakukan pekerja sosial menghadapi globalisasi
dan permasalahan sosial global ini? Kerangka peran dan tugas pekerjaan sosial
dalam konteks penanganan persoalan sosial global pada dasarnya bisa dibagi
menjad dua yaitu peranan langsung dan peranan tidak langsung. Gambar 2
menggambarkan model peran pekerja sosial dalam menangani permasalahan sosial
global.
Secara
langsung, peran pekerja sosial adalah turut menangani masalah-masalah sosial
internasional yang diakibatkan globalisasi, seperti pengungsi, konflik,
perdagangan manusia, HIV/AIDS, dll. Peranan pekerja sosial yang lebih bernuansa
direct practitioner, seperti konselor, fasilitator, pemberdaya, pembela,
broker, dan mediator masih tetap relevan dalam konteks ini. Namun demikian,
ketiganya tidak dapat dilakukan secara terpisah-pisah dan terjebak pada jargon
metodologi “tiga-serangkai”, casework, groupwork dan communitywork. Seperti
dinyatakan Hardiman dan Midgley (1982), ketiganya hanyalah merupakan the three
major fields of social work practice. Dalam pelaksanaan tugas-tugas pekerja
sosial di lapangan, teknologi pekerjaan sosial tidak lagi dibatasi oleh tiga
kerangka pendekatan tersebut, melainkan harus sudah melebur menjadi pendekatan
yang tepat sesuai dengan bidang dan karakteristik masalah global yang dihadapi.
Secara
tidak langsung, peran pekerja sosial tidak dilakukan dengan membantu mereka
yang mengalami masalah sosial atau para “pemerlu pelayanan sosial”, melainkan
diarahkan pada keterlibatan dalam analisis dan perancangan kebijakan
sosial internasional. Sejumlah ahli, seperti Gosta Esping-Andersen (1996),
Ramesh Mishra (1999), Bob Deacon (2000) sudah lama mengusulkan soal
international social policy ini. Aktivis dan analis kebijakan sosial adalah dua
peranan penting dalam skenario ini yang intinya difokuskan pada perlawanan
terhadap globalisasi dan neoliberalisme.
Seperti
dijelaskan di muka, persoalan nasional sangat dipengaruhi oleh percaturan
internasional. Karenanya, beberapa agenda yang perlu mendapat perhatian pekerja
sosial dalam skenario ini mencakup aras internasional maupun nasional (lihat
Esping-Andersen, 1996; Mishra, 1999; Deacon, 2000; Baswir, 2003; Khodori,
2003).
Aras
internasional:
Perumusan
dan penetapan norma dan standar-standar mengenai hak-hak sosial internasional
yang mengarah pada terciptanya sebuah tatanan dunia yang lebih baik; yang
saling memerlukan, saling bersahabat, saling memajukan dan mensejahterakan
dalam keharmonisan, kedamaian, dan kesetaraan.
Pembentukan
dan atau pendefinisian kembali lembaga-lembaga internasional yang lebih
seimbang dan responsif terhadap persoalan-persoalan kesejahteraan sosial,
seperti pencegahan perang sipil, konflik sosial, penularan penyakit,
pengungsian, dan degradasi lingkungan internasional.
Penginjeksian
tujuan-tujuan sosial internasional kedalam sistem ekonomi global melalui
regulasi sosial perekonomian global: (a) penetapan dimensi-dimensi sosial dalam
perdagangan internasional dan bilateral, (b) penetapan tanggungjawab sosial MNC
bagi pembangunan sosial, (c) reformasi struktur perpajakan baik untuk
mengeliminasi kompetisi perpajakan maupun guna meningkatkan pendapatan global
bagi pembangunan sosial
Penataan
ulang bantuan internasional dan tatanan keuangan internasional maupun regional
agar memiliki implikasi langsung bukan saja terhadap perekonomian nasional,
melainkan pula kesejahteraan sosial.
Aras
nasional:
Penguatan
kembali peran publik dan negara demokratis yang memungkinakn pelaksanaan
pembangunan kesejahteraan sosial dapat dilaksanakan oleh lembaga sosial
(pemerintah dan masyarakat) yang tepat.
Pembatasan
pasar pada tempat yang tepat sehingga kepentingan pedagang tidak melanggar atau
bahkan “merusak” kepentingan publik.
Perluasan
konsep dan jangkauan “masyarakat bertanggungjawab” yang mencakup baik
tanggungjawab masyakat sipil maupun masyarakat bisnis.
Penetapan
sistem jaminan sosial nasional yang sedikitnya mencakup dimensi pendidikan,
kesehatan dan pemeliharaan penghasilan secara integratif.
Hambatan
Pekerjaan
sosial adalah salah satu dari banyak pemain yang memiliki tugas merespon
realitas dan konsekuensi sosial globalisasi. Skope kemiskinan global dan
intensitas konflik etnis memerlukan respon ekonomi dan politik dari
negara-negara dan organisasi-orgaisasi internasional. Tantangan global
mengharuskan tindakan pada berbagai tingkatan dan melibatkan berbagai profesi.
Namun demikian, masalah-masalah global secara langsung berkaitan dengan
komitmen dan keahlian pekerjaan sosial.
Meskipun
pekerjaan sosial secara jelas memiliki peran penting dalam menangani masalah
sosial global, masih terdapat beberapa hambatan yang menghadang pelaksanaan
peran tersebut secara efektif (Hokenstad, Khinduka dan Midgley, 1992).
Rendahnya status profesional dan sumberdaya mempengaruhi para pekerja sosial di
banyak negara dan membatasi kapasitas mereka dalam memecahkan permasalahan
sosial. Di beberapa negara, para pekerja sosial terlibat dalam memperjuangkan
keadilan sosial, tetapi mereka seringkali berhadapan dengan tekanan politik dan
mengalami resiko pribadi. Selain itu, kebijakan-kebijakan pemerintah dan
struktur pelayanan sosial seringkali membatasi, ketimbang memperluas peranan
pekerja sosial.
Semua
rintangan tersebut hanya dapat dihadapi dengan baik oleh pekerja sosial
sendiri. “Social work remains a creature of its own destiny,” begitu kata
Hokenstad dan Midgley (1997:3). Status profesional ditentukan oleh tingkat
pendidikan para pekerja sosial. Pengaruh politik dapat ditingkatkan melalui
keahlian dan organisasi yang tepat. Apresiasi masyarakat terhadap kontribusi
pekerjaan sosial sangat tergantung pada bagaimana para pekerja sosial mampu
mendefinisikan dan menentukan prioritas-prioritas serta pilihan-pilihan bidang
praktik. Pekerjaan sosial sebagai profesi dan pekerja sosial sebagai praktisi
profesional dituntut untuk senantiasa kreatif dan inovatif dalam menghadapi
berbagai tantangan. Keberhasilan pekerja sosial di beberapa negara dalam
menangani masalah sosial global seperti HIV/AIDS mengindikasikan bahwa
pekerjaan sosial semakin relevan untuk berkiprah di tingkat global.
Apa
yang mesti dilakukan?
Bagaimana
agar profesi pekerjaan sosial dapat menempatkan posisinya secara tepat dalam
merespon permasalahan global? Bagaimana agar para pekerja sosial semakin siap
menjadi pemain yang baik dalam pertandingan lobal? Diskusi dan debat mengenai
hal ini selayaknya menjadi prioritas, jika pekerja sosial berharap dapat
menjadi pemain penting di ranah internasional. Keterbatasan sumberdaya memang
harus diakui adanya, tetapi jawaban atas pertanyaan di atas begitu jelas.
Intinya: menyangkut aksi untuk memperkuat dimensi internasional pekerjaan
sosial (Hokenstad dan Midgley, 1977:3-6).
Pertama,
memperkuat kerangka lembaga profesi internasional. Beberapa organisasi
internasional memberi identitas pada pekerjaan sosial. Yang paling jelas adalah
Federasi Internasional Pekerja Sosial (International Federation of Social
Workers/IFSW) dan Asosiasi Internasional Sekolah-Sekolah Pekerjaan Sosial
(International Association of Schools of Social Work/IASSW). Keduanya memiliki
program aktif dan melibatkan para pekerja sosial di seluruh dunia. IFSW sangat
aktif khususnya dalam memperjuangkan penegakkan HAM. IASSW aktif menyebarkan
informasi dan dukungan terhadap program-program pendidikan internasional, serta
menyiapkan para pendidik pekerjaan sosial dalam hal pengajaran internasional.
Namun demikian, kedua organisasi ini belum menjadi lembaga yang kuat. Dukungan
dana masih terbatas. Program mereka masih kurang menyebar secara luas
kepada para pekerja sosial di seluruh dunia. Selain melalui kongres-kongres
tahunan, hanya beberapa pekerja sosial saja yang memiliki akses terhadap
program-program IFSW dan IASSW.
Dewan
Internasional untuk Kesejahteraan Sosial (International Council on Social
Welfare/ICSW) dan Konsorsium Antar Universitas untuk Pembangunan Sosial
Internasional (Inter-University Consortium on International Development/IUCISD)
memiliki hubungan erat dengan pekerjaan sosial. Lembaga-lembaga tersebut
bergerak dalam arena kesejahteraan sosial dan pembangunan sosial secara luas.
Namun sebagian besar kepemimpinannya berasal dari profesi pekerjaan sosial.
Sebagian besar program-programnnya juga bersentuhan dengan peranan pekerjaan
sosial internasional. Sayangnya, kedua lembaga ini pun masih fragile dan masih
jarang diketahui oleh para pekerja sosial.
Terlepas
dari beberapa kelemahan yang dimilikinya, organisasi-organisasi tersebut, serta
lembaga-lembaga sejenis yang bergerak dalam bidang khusus (kesejahteraan anak,
lanjut usia, dan kesehatan mental), merupakan kendaraan penting bagi
keterlibatan pekerja sosial internasional. Lembaga-lembaga tersebut berperan
sebagai fungsi pendidikan dan kadang-kadang sangat efektif berperan sebagai
penekan terhadap agenda-agenda internasional. Hanya saja, organisasi tersebut
memerlukan peningkatan keterlibatan dan dukungan dari lembaga-lembaga pekerjaan
sosial nasional serta para pekerja sosial yang memiliki posisi penting agar
dapat lebih menjadi organisasi yang diperhitungkan dalam arena global. Sebuah
kerangka lembaga yang kuat merupakan prasyarat utama yang dapat menegaskan
peran dan keberadaan pekerjaan sosial.
Kedua,
meningkatkan keterlibatan pekerja sosial di PBB dan lembaga non-pemerintah
internasional (INGO/ORNOPI). Para pekerja sosial telah menunjukkan kepemimpinan
di UN Centre for Social Development and Humanitarian Affairs (UNCSDHA),
UNICEF, UNHCR dan WHO, meskipun masih terbatas pada beberapa individu saja. Sebagian
kecil ORNOP internasional, seperti International Social Service, memiliki
nuansa pekerjaan sosial, namun sebagian besar tidak. Badan-badan amal dan
pembangunan sosial internasional semisal Cooperative for American Relief
Everywhere (CARE) dan OXFAM melibatkan sedikit pekerja sosial meskipun memiliki
banyak program yang terkait secara langsung dengan fungsi pekerjaan sosial. Di
AS, negara dimana pekerjaan sosial telah memiliki tempat penting, ternyata para
pekerja sosialnya belum banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan internasional.
Healy menyatakan (1995): secara umum para pekerja sosial AS merupakan tenaga
profesional yang paling dominan dalam bidang kesejahteraan sosial domestik.
Namun, mereka masih belum banyak terlibat di badan-badan pembangunan sosial
internasional, belum tersentuh oleh gerakan pendidikan pekerjaan sosial
internasional, dan belum tertarik pada kebijakan kesejahteraan sosial yang
bermatra internasional. Padahal sangat jelas bahwa organisasi profesi dan para
pekerja sosial secara individu harus memiliki kepedulian dan peranan lebih
aktif lagi dalam lembaga-lembaga PBB dan ORNOP internasional, jika pekerjaan
sosial ingin merespon secara efektif realitas globalisasi.
Ketiga,
peningkatan peran pekerjaan sosial dalam merespon isu-isu global memerlukan
pendidikan pekerjaan sosial yang berdimensi internasional. Program-program
pendidikan bagi para pekerja sosial di seluruh dunia hanya memberi sedikit
perhatian terhadap isu-isu sosial yang berada di luar batas negaranya. Sebagian
besar mahasiswa hanya memiliki sedikit pengetahuan mengenai peranan-peranan
internasional yang dapat dimainkan pekerja sosial. Kurikulum pekerjaan sosial
sangat “penuh sesak” dengan berbagai mata kuliah, namun terdapat persepsi
diantara para pengajar bahwa konten internasional tidaklah relevan bagi praktik
sebagian besar pekerjaan sosial. Sejumlah sekolah pekerjaan sosial memang telah
memiliki beberapa materi internasional dalam kurikulumnya, namun masih terfokus
pada perbandingan kebijakan dan program antar negara dan bukan pada isu-isu dan
peranan-peranan global.
Keempat,
pertukaran internasional merupakan satu cara penting untuk menggairahkan
peranan dan intervensi pekerjaan sosial terhadap isu-isu global. Program
pertukaran dapat memberikan pelajaran berkesan dan meningkatkan komitmen para
pekerja sosial dalam percaturan dunia. Pertukaran selama ini masih belum
seimbang. Sebagian besar mahasiswa datang ke AS, dan sebagian besar tenaga
pengajar AS datang ke negara lain untuk mengajar, meneliti dan memberi konsultasi.
Selama lebih dari 40 tahun, sebuah Dewan Program Internasional untuk Pekerja
Sosial dan Pekerja Muda (The Council of International Programs for Social
Workers and Youth Workers) telah berhasil memberikan pengalaman dan pemahaman
lintas negara kepada ribuan pekerja sosial. Meski begitu, pertukaran harus
diperluas dari program perseorangan menjadi kelembagaan.
Program
bilateral dalam konteks pendidikan pekerjaan sosial lintas negara telah ada,
namun belum meluas. Program pertukaran antar lembaga pelayanan sosial masih
sangat jarang terjadi. Interaksi bilateral jangka panjang diantara lembaga atau
program pendidikan antar negara dapat berkembang menjadi program kerjasama
(kolaborasi). Karenanya, program pertukaran yang melembaga dapat memperluas
kesempatan bagi para pekerja sosial untuk lebih terdidik secara internasional.
Lebih jauh, program tersebut dapat memperkokoh infrastruktur kelembagaan bagi
peningkatan peran pekerja sosial dalam skala global.
EPILOG
Dunia
sedang berubah. Perubahan tersebut berlangsung secara massif. Globalisasi
adalah terma yang tepat untuk menggambarkan transformasi maha cepat dan luas
itu. Globalisasi digerakkan oleh, dan bahkan identik dengan, neoliberalisme.
Neoliberalisme memuat doktrin yang sangat yakin pada dogma pasar bebas.
Terbukanya pasar ini, di satu sisi, dapat memperluas kesempatan produksi dan
meningkatkan kemakmuran. Namun di sisi lain, mitos “tangan-tangan tak
kelihatan”, hegemoni MNCs dan cengkraman lembaga-lembaga internasional
merupakan tiga kekuatan besar yang dapat melahirkan persoalan-persoalan sosial
global. Kesemua isyarat tersebut menggarsikan dengan sangat jelas bahwa
pengelolaan dan penanganan masalah sosial global merupakan salah satu tantangan
sangat strategis yang perlu mendapat perhatian serius dan terencana sedini
mungkin. Sehingga memasuki dan mengisi abad global ini, persoalan-persoalan
kemanusiaan tidak lagi menjadi beban berat dan nestapa berkepanjangan. Laksana
sebuah labirin yang menyimpan misteri kompleks yang sulit dipecahkan.
Intervensi
pekerja sosial hendaknya tidak hanya diarahkan untuk mengatasi masalah sosial
global yang muncul akibat globalisasi itu. Melainkan, harus pula tanggap dan
piawai merespon agenda-agenda globalisasi dan neoliberalisme yang penuh dengan
muatan ideologi dan kepentingan kapitalis internasional itu. Peranan pekerja
sosial dalam penanganan masalah sosial global ini dapat dilakukan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Konselor, Fasilitator, Pemberdaya, Pembela,
Broker, Mediator, Aktivis dan Analis Kebijakan Sosial adalah beberapa contoh
peran yang dapat dimainkan pekerja sosial dalam konteks global.
Akhirnya,
agar mampu merespon globalisasi dan akibat-akibatnya, pembangunan kesejahteraan
sosial dan para pekerja sosial di Indonesia memerlukan komitmen yang lebih kuat
untuk meredefinisi dan merekonstruksi keahlian profesionalnya. Penguatan
keterlibatan pekerja sosial dalam lembaga-lembaga profesi internasional,
badan-badan PBB dan ORNOP internasional, serta peningkatan lembaga dan program
pendidikan pekerjaan sosial yang berwawasan internasional merupakan beberapa
isu strategis yang perlu mendapat perhatian secara saksama, dan tentunya, dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya.
Post a Comment
komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau