A. Latar Belakang: Kekayaan Budaya
Sasak (Lombok)
Nilai budaya dan kearifan lokal (Local Wisdom) yang dimiliki oleh
masyarakat sasak (Lombok) pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan masyarakat
lainnya di Indonesia. Nilai budaya dan kearifan lokal yang kaya adalah salah
satu daya tarik sebagai identitas dari masyarakat, dan masyarakat sasak
memiliki hal tersebut. Salah satunya adalah atraksi budaya Bau Nyale, di mana kata bau adalah menangkap dan Nyale adalah cacing laut, jadi Bau
Nyale itu sendiri merupakan sebuah aktivitas menangkap cacing laut.
Tradisi Bau Nyale merupakan suatu
kegiatan (kejadian) yang dikaitkan dengan budaya setempat. Kejadian ini bermula
dari suatu legenda lokal. Legenda yang melatar belakanginya, yaitu legenda
Putri Mandalika. Konon menurut kepercayaan sebagian masyarakat Lombok, nyale merupakan reinkarnasi (penjelmaan)
dari Putri Mandalika. Dikisahkan, putri ini dikenal cantik dan halus budinya.
Karena kecantikan dan kehalusan budinya, banyak pangeran atau raja yang ingin
mempersuntingnya menjadi permausuri. Putri Mandalika tidak bisa menentukan
pilihan. Jika ia hanya memilih satu orang, akan terjadi peperangan di antara
para pangeran (raja). Putri yang arif dan bijak ini tidak menghendaki terjadinya
peperangan, karena rakyat juga yang akan menjadi korbannya.
Oleh karena itu, sang putri lebih
memilih untuk menceburkan diri ke laut dan menjelma menjadi nyale demi kepentingan rakyat banyak. Ia
berharap jelmaan dirinya itu bisa dimiliki (dinikmati) oleh banyak orang.
Diyakini Putri Mandalika lah yang menjelma menjadi cacing laut (nyale) berwarna-warni. Oleh karena itu,
masyarakat setempat percaya, bahwa nyale bukan hanya cacing biasa tetapi
makhluk suci yang membawa kesejahteraan. Masyarakat sasak yakin nyale dianggap dapat meningkatkan
kesuburan tanah pertanian agar dapat menghasilkan panen yang memuaskan. Apabila
banyak nyale yang keluar, hal itu
menandakan pertanian penduduk akan berhasil. Nyale yang telah ditangkap di pantai, biasanya sebagaian ditaburkan
ke sawah untuk kesuburan padi. Nyale
juga digunakan untuk berbagai keperluan seperti santapan, lauk-pauk, obat kuat
dan lainnya yang bersifat magis sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Kekayaan budaya sasak, tidak hanya
terletak pada atraksi budaya bau nyale, melainkan
memiliki berbgai macam budaya yang bisa dinikmati, dengan sejarah dan makna
yang berbeda-beda, sesuai dengan kenyakinan masyarakat setempat. Kekayaan
buday-budaya tersebut kemudian dipertahankan dan dilestarikan hingga sampai
sekarang. Berkembangnya zaman dan percampuran budaya-budaya baru, baik dari
budaya luar Lombok hingga budaya wisatawan (budaya barat) tidak menjadikan
budaya-budaya yang ada di Lombok (sasak)
tergerus dan merubah, melainkan masyarakat sasak dapat menyesuaikan budaya tersebut
sesuai dengan kebutuhan masa kini.
Salah
satunya adalah budaya merarik
(menikah), sebelum adanya atau tercampurnya budaya merarik dengan cara melamar
(meminang sang mempelai wanita), masyarakat Lombok lebih dikenal dengan cara memaling (mencuri mempelai wanita, baik
pada malam hari maupun siang hari, namun lebih dominan pencurian sang mempelai
wanita di malam hari), hal ini dilakukan dengan kesepakatan bersama mempelai
wanita dengan laki-laki. Kemudian dilanjutkan dengan bebarak (memberi tahu pihak mempelai perempuan) dengan diwakili
oleh dua orang, dan diakhiri dengan nyongkolan.
B. Bau Nyale : Antraksi Budaya Turun
Temurun
Kebudayaan merupakan
hasil kreasi manusia yang tidak dibentuk hanya dalam waktu hitungan jari, baik
itu jari tangan maupun kaki. Kebudayaan dibentuk dari awal kehidupan manusia,
sampai akhir kehidupan manusia. Oleh karena itu, kebudayaan memang seharusnya dan
selayaknya kita pertahankan dan lestarikan keberadaannya. Disamping untuk
menghormati segala yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita, kebudayaan
merupakan hal yang amat berharga dan tidak tergantikan.
Bau
Nyale merupakan kegiatan yang berkaitan dengan nilai sakral
yang dipercaya oleh masyarakat Lombok, kepercayaan ini sudah berlangsung sejak
dulu karena bau nyale merupakan warisan dari generasi kegenerasi, dan masih
eksis sampai saat ini. Bahkan atraksi bau
nyale dewasa ini selain bernilai sakral, juga merupakan salah satu bentuk
silaturrahmi warga masyarakat secara tidak langsung, dalam arti; antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain tidak mengenal satu sama lain,
namun bertatap muka dan bisa saling mengenal satu sama lain.
Dalam sebuah buku “Manusia, Kebudayaan
dan Lingkungan” yang ditulis oleh Dr. Hans J. Daeng, menggabarkan bahwa:
upacara Nyale mulai diadakan setelah
penghitungan enam malam terlihat bulan purnama. Dalam melaksanakan upacara Nyale, sejak dahulu setiap kabisu (Klen)
sudah diberikan kepercayaan untuk mengerjakan tugas-tugas yang harus
dilaksanakan. Menjelang hari yang telah ditetapkan, masyarakat mempersiapkan
ketupat beras ketan yang berbentuk kerucut. Di samping ketupat ketan yang juga
akan dibagikan kepada para pengunjung, perlengkapan-perlengkapan lainnya,
pinang, ayam dan tongkat.[1]
Pada pagi hari
yang telah ditetapkan untuk Nyale,
berangkatlah Rato (tua-tua adat) Kabisu Ubeweni lebih dahulu ke tepi
pantai. Dalam perjalanan kesana, diletakkan ketupat ketan, sirih dan pinang dan
di tempat-tempat yang dikeramatkan: mungkin sebagai tanda kulo nuwun kepada roh-roh yang berada disana. Setiba disana, para Rato berkumpul di bawah sebatang pohon
ketapang untuk memperhatikan keadaan cuaca dan menantikan saat yang tepat untuk
memanggil Nyale. Jika saatnya tiba,
sang rato kebisu Ubeweni menuju ke bibir pantai lalu dengan suara nyaring memanggil
Nyale yang kemudian berdatangan
muncul ke tepi pantai[2]
Atraksi Bau Nyale yang diadakan di Lombok, pandangan tentang perayaan Bau Nyale sesungguhnya tidak terlepas
dari masalah cinta yang menuju ke perkawinan, Bau Nyale bukanlah sebuah
ukuran yang mutlak bagi kaum muda-mudi yang bertemu dan menjalin cinta kemudian
menuju ke perkawinans, realita yang digambarkan tersebut angatlah jauh dengan
realita yang ada,
Perayaan Nyale
atau Bau Nyale (menangkap cacing
laut) memberi kesempatan kepada muda-mudi untuk saling mengenal lebih dekat
sebagai persiapan untuk membangun keluarga. Pada malam penantian munculnya
Nyale pada pagi keesokan harinya, muda-mudi di pulau Lombok semalam suntuk
sibuk dengan acara betandak, yaitu
saling melempar pantun dalam bahasa sasak. Orang yang tidak dapat membalas
pantun yang ditujukan kepadanya menjadi objek ejekan dan bahan tertawaan.
Mungkin hal ini dapat dilihat sebagai alasan untuk lebih saling mendekat. Was sicb liebt, das neckt sicb (yang
saling kasih, saling mengganggu). Selain acara berandak juga diadakan acara bejambek, yaitu saling menghidangkan
sirih pinang sebagai penerimaan seorang gadis pada pemuda pilihannya. Hal yang
lazim terjadi ialah kegiatan betandak dan bejambek dilanjutkan dengan
pernikahan pada masa pascapanen berikutnya.[3]
C. Nilai Ekonomi : Pendapatan Penduduk
Lokal
Kehadiran budaya sebagai salah satu
identitas penting masyarakat dalam mengupayakan masyarakat mandiri melalui
pengembangan budaya, dalam arti; esensi budaya yang ada tidak terlepas dari
sebuah nilai ekonomi yang tinggi, budaya menghadirkan keuntungan yang
signifikan bagi masyarakat setempat, apabila; pertama, budaya yang ada harus dilestarikan sebagai wujud
kepedulian masyarakat akan warisan budaya. Kedua,
budaya harus dilihat dari sisi kearifan lokal yang tinggi, tidak boleh
tercampur dengan budaya-budaya lain yang akan berdampak pada hilangnya nilai
sacral budaya. Ketiga, masyarakat
setempat mampu bersaing dan menyuguhkan ke-lokal-an budaya, misalnya; makanan,
kain atau sarung lokal, dan yang lainnya, agar budaya yang ada tidak monoton.
Bau
nyale misalnya; atraksi budaya ini menghadirkan daya tarik
yang tinggi, kehadirannya dalam dua kali setahun menjadi momen yang tak bisa
ditinggalkan oleh masyarakat setempat, apalagi nilai jual nyale sangat tinggi. Masyarakat dari luar datang berbondong-bondong
menuju pesisir pantai untuk memeriahkan, hampir mencapai ribuan disetiap pantai
tempat adanya atraksi bau nyale. Hal
ini, mendatangkan keuntungan senidri bagi penduduk setempat maupun penduduk
lain untuk berbisnis, mulai dari menjual kerajinan tangan sampai pada hal-hal
yang dibutuhkan.
Proses kedatangan masyarakat untuk
menangkap nyale sendiri terbagi menjadi dua kategori, pertama, dengan cara
menginap (pra-acara). Dan yang keuda, dengan cara masyarakat datang sebelum
subuh (acara).
Pertama;
menginap;
masyarakat yang memiliki tempat tinggal yang jauh, biasanya menginap dipesisir
pantai dengan cara membuat tenda, hal ini dilakukan selain untuk menanti acara bau nyale pada keesokan harinya, juga dilakukan untuk menikmati
pemandangan pantai dan acara yang digelar oleh pemrintah setempat. Kedua, pergi pagi; sebelum acara
penangkapan nyale dimulai, biasanya
masyarakat berangkat sebelum subuh, baik yang rumahnya jauh maupun tidak
terlalu jauh dari pantai. Hal ini biasanya dilakukan oleh para orang tua yang
tidak terlalu suka dengan keraiman, namun lebih kepada esensi penagkapan bau nyale tersebut.
Oleh karena itu, untuk mengatasi
berbagai macam permasalahan sosial yang dikategorikan sebagai penyandang
permasalah sosial melalui pengembangan budaya untuk meningkatkan ekonomi
masyarakat, membutuhkan perhatian khusus sebagai wujud kepedulian pekerja
sosial sebagai profesi professional. Karena dengan menumbuhkembangkan sumber
daya alam yang ada, akan mengurangi tingkat kemiskinan, yang selama ini menjadi
wajah yang mengerikan dipermukaan bumi Indonesia. nilai ekonomi budaya harus
diperhatikan demi keberfungsian sosial yang selama ini rentan terhadap kalangan
miskin dan tidak berpendidikan.
D. Pekerjaan Sosial : Budaya sebagai
Ekonomi Jangka Panjang
Dalam hal ini, pekerja sosial yang
memiliki tugas sebagai ‘penolong’ dan memiliki jiwa ‘kemanusiaan’ sebagai
identitas. Maka ada peran-peran penting yang harus dimasuki oleh pekerjaan
sosial sebagai tuntutan profesi, antara lain;
1.
Juru Bicara (Penyambung Lidah)
Mandat sosial yang dimiliki oleh para
pekerjaan sosial selain membantu masyarakat secara individu maupun keompok,
juga memiliki peran strategis dalam berbgai hal. Misalnya; sebagai penyambung
lidah antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah, maupun
masyarakat dengan pemodal. Hal ini, sebagai upaya mengkondisikan keberfungsian
sosial agar tatanan sosial berfungsi dengan baik. dalam hal budaya, pro-kontra terhadap nilai-nilai lama dan baru yang muncul beriringan dengan zaman
modern dewasa ini, begitu sering terjadi yang berdampak pada konflik horizontal
maupun vertical.
Dampak dari konflik tersebut menjadi
salah satu yang harus dijaga agar tidak berkelanjutan dan membuat budaya yang
ada semakain buta dan tidak berjalan, sehinga nilai ekonomi masyarakat semakin
berkurang. Profesi pekerja sosial dituntut untuk menjaga dan mengkomunikasikan
kepada seluruh elemen akan pentingnya nilai budaya, sehingga perlu adanya
strategi yang harus direncanakan dan dikonsepkan dalam upaya menjaga kelestarian
budaya dan meningkatkan ekonomi masyarakat melalui budaya. Dengan demikian,
tuntutan budaya terhadap elemen masyarakat, tidak hanya pada pemerintah dan
masyarakat, akan tetapi sebagai profesi professional dalam upaya mengembalikan
keberfungsian sosial dalam masyarakat, pekerja sosial dituntut ikut serta dalam
mengupayakan keberlangsungan budaya.
2.
Pendukung dan Pelestari Nilai-Nilai
Budaya
Budaya sebagai ekonomi jangka panjang
membutuhkan dedikasi yang tinggi untuk mendukung dan melestarikan nilai-nilai
budaya masyarakat, dedikasi tersebut teraplikasi melalui tindakan nyata dalam
bentuk;
a.
Promosi.
Promosi
menjadi bagian penting dalam memberikan gambar tentang identitas suatu budaya,
baik melalui media masa, media online, maupun dalam bentuk; spanduk, pamplet
tentang budaya. Hal ini dalam upaya mendukung dan melestarikan nilai-nilai
budaya yang ada. hingga tidak terlindas oleh zaman, namun bisa berdampingan dan
selarang dengan perubahan kondisi.
b.
Penyuluhan.
Dalam
hal ini, pekerja sosial tidak hanya bertatap muka dengan masalah-masalah klien
secara pribadi maupun kelompok, pekerja sosial juga harus bisa berpikir kreatif
dalam memberikan solusi kepada masyarakat agar kemiskinan yang menyebabkan
berbagai macam dampak sosial tidak terjadi, salah satunya adalah menjadikan
budaya sebagai salah satu wisata budaya. Dengan demikian, masyarakat bisa lebih
mengerti akan arti dan nilai-nilai budaya dan melestarikannya.
c.
Seminar Tentang Budaya.
Seminar budaya
dengan berbagai tema yang berkaitan dengan pelestarian budaya adalah salah satu
solusi untuk mengakarkan budaya pada masyarakat, apalgi kehadiran budaya barat
pada masyarakat awam akan mengakibatkan perubahan drastic terhadap nilai-nilai
budaya. Sehingga dengan mengadakan seminar-seminar lokal maupun nasional
tentang budaya, akan lebih aktif dan produktif dalam menyiarkan budaya
masyarakat yang ada.
E. Kesimpulan
Bedasarkan dari uraian diatas, budaya
merupakan identitas suatu daerah yang memiliki kekayaan tinggi, khususnya
budaya sasak (Lombok). Mulai dari budaya yang dilaksankan setiap hari (ziarah
kbur) sampai kegiatan yang dilaksankan dalam dua kali setahun (atraksi bau
nyale). Dan pekerjaan sosial memiliki peranan penting dalam mewujudkan keberfungsian
sosial dalam upaya membangkitkan semangat masyarakat untuk meraih masa depan
yang lebih baik, guna dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Budaya tercipta atau
terwujud merupakan hasil dari interaksi antara manusia dengan segala isi yang
ada di alam raya ini. Manusia di ciptakan oleh Tuhan dengan dibekali oleh akal
pikiran sehingga mampu untuk berkarya di muka bumi ini dan secara hakikatnya
menjadi khalifah di muka bumi ini. Disamping itu manusia juga memiliki
akal, intelegensia, intuisi, perasaan, emosi, kemauan, fantasi dan perilaku
Dengan semua kemampuan yang dimiliki oleh manusia maka manusia bisa menciptakan
kebudayaan. Ada hubungan dialektika antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan
adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan.
Dengan kata lain, kebudayaan ada karena manusia yang menciptakannya dan
manusia dapat hidup ditengah kebudayaan yang diciptakannya. Kebudayaan akan
terus hidup manakala ada manusia sebagai pendudukungnya.
Nyale
sumber gambar; www.lombok-eccotour.com
Daftar Pustaka
Hans J. Daeng. Manusia, Kebudayaan dan
Lingkungan: Tinjauan Antropologis. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012)
Cetakan IV.
Kessing,
Roger, M., Antropologi Budaya suatu persepektif Kontemporer, jilid 2,
terj: Samuel Gunawan, (Jakarta: Erlangga, 1992).
Koentjaraningrat. Kebudayaan,
Mentalitas dan Pembangunan. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1974).
Post a Comment
komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau