Documen Pribadi
Ludah yang kering
Lihatlah!
masih adakah hati yang berisi?
ketika logika sudah berbau terasi
ketika nurani kian ter-erosi..
di kilatan hujan pesona yang tidak kunjung basi
Lihatlah!
Dendang-an birokrat dan wakil berdasi..
penuh kegiatan sinetron mengejar kursi
Ketika tikus sibuk pesta korupsi
kucing justru giat pamer gusi...
terbuai diempuknya jok mercy
Lihatlah!
Gempita riuhnya demokrasi
menumbuhkan nurani yang semakin membesi
saat Rakyat butuh nasi..
namun justru di kremasi
Ah, sudahlah!
ini bukan Demonstrasi. .
ini juga bukan mosi...
ini hanyalah puisi...
dari yang hidup namun sesungguhnya mati!
-----------------------
Serial Puisi-puisi Kritik Politik
Oleh Andrinof A Chaniago
masih adakah hati yang berisi?
ketika logika sudah berbau terasi
ketika nurani kian ter-erosi..
di kilatan hujan pesona yang tidak kunjung basi
Lihatlah!
Dendang-an birokrat dan wakil berdasi..
penuh kegiatan sinetron mengejar kursi
Ketika tikus sibuk pesta korupsi
kucing justru giat pamer gusi...
terbuai diempuknya jok mercy
Lihatlah!
Gempita riuhnya demokrasi
menumbuhkan nurani yang semakin membesi
saat Rakyat butuh nasi..
namun justru di kremasi
Ah, sudahlah!
ini bukan Demonstrasi. .
ini juga bukan mosi...
ini hanyalah puisi...
dari yang hidup namun sesungguhnya mati!
-----------------------
Serial Puisi-puisi Kritik Politik
Oleh Andrinof A Chaniago
Senjata
(untuk Dek Pendi alias Effendi Gazali di Republik
Mimpi)
Semenjak ranah politik tidak lagi berbau mesiu
rakyat memang tidak lagi perlu waspada pada desing
peluru
karena senjata tidak lagi leluasa membuat luka
ataupun menjemput nyawa
Tetapi janganlah lekas puas
hanya karena politik telah bebas senjata logam
Sebab, di tangan para pemburu harta dan kuasa ada
senjata yang lebih tajam
bunyinya tidak mendesing mebuat bulu kuduk merinding
juga tidak meledak membuat telinga kita pekak
bentuknya tidak runcing sehingga nyali bergeming
Tetapi senjata itu tetap tajam tatkala menghujam
Ranah politik memang sudah tidak lagi menumpahkan
darah
karena senjatanya kini tidak membuat luka atau
mencabut nyawa
tetapi ia membunuh nalar ajar
yang telah dibangun lewat program wajib belajar
Jangan cari senjata tajam itu di gudang peluru
Atau di kendaraan prajuritmu
Dia ada di genggamanmu
Yang pernah kau buka, kau lihat dan kau baca
Bentuknya adalah iklan setengah atau satu halaman
Kadang-kadang berisi angka-angka ekonomiterika dan
statiska
Kadang-kadang berisi potret orang cerdas berkacamata
Yang disertai kata-kata bergaya prosa
Itulah dia senjata di ranah politik kita
Senjata itu tidak menggores luka dan menumpahkan darah
Juga tidak langsung mencabut nyawa berbilang jumlah
Tetapi ia membuat kebodohan menjadi abadi
Kemiskinan massal menjadi tersembunyi
Politik hampa etika
di balik slogan gagah efisiensi dan demokrasi
Iklan setengah halaman atau satu halaman media massa
Dengan angka-angka ekonometrika dan statistika
Atau foto orang pintar berkaca mata
Itulah senjata para pemburu harta dan kuasa
Dampak senjata itu nyata
ketika harga BBM naik
rakyat kecil tercekik
ramalan pemilik senjata itu terbalik
menjanjikan angka kemiskinan akan turun menukik
ternyata malah melonjak naik
Dampak senjata itu masih terasa
ketika pilkada rampung
suara rakyat selesai ditelikung
sementara pemburu kuasa dan harta kembali berhitung
untuk membagi untung
Senjata itu adalah iklan dengan sedikit dusta
anak kandung perselingkuhan modal dan tahta
yang kini menular dalam spanduk-spanduk di ruang
terbuka
di bawah lindungan sistem demokrasi pura-pura
ditemani sistem ekonomi pasar yang tidak sempurna
yang melahirkan korban dalam jumlah berjuta
mereka yang tidak kelebihan harta dan tidak ikut
berkuasa
(untuk Dek Pendi alias Effendi Gazali di Republik
Mimpi)
Semenjak ranah politik tidak lagi berbau mesiu
rakyat memang tidak lagi perlu waspada pada desing
peluru
karena senjata tidak lagi leluasa membuat luka
ataupun menjemput nyawa
Tetapi janganlah lekas puas
hanya karena politik telah bebas senjata logam
Sebab, di tangan para pemburu harta dan kuasa ada
senjata yang lebih tajam
bunyinya tidak mendesing mebuat bulu kuduk merinding
juga tidak meledak membuat telinga kita pekak
bentuknya tidak runcing sehingga nyali bergeming
Tetapi senjata itu tetap tajam tatkala menghujam
Ranah politik memang sudah tidak lagi menumpahkan
darah
karena senjatanya kini tidak membuat luka atau
mencabut nyawa
tetapi ia membunuh nalar ajar
yang telah dibangun lewat program wajib belajar
Jangan cari senjata tajam itu di gudang peluru
Atau di kendaraan prajuritmu
Dia ada di genggamanmu
Yang pernah kau buka, kau lihat dan kau baca
Bentuknya adalah iklan setengah atau satu halaman
Kadang-kadang berisi angka-angka ekonomiterika dan
statiska
Kadang-kadang berisi potret orang cerdas berkacamata
Yang disertai kata-kata bergaya prosa
Itulah dia senjata di ranah politik kita
Senjata itu tidak menggores luka dan menumpahkan darah
Juga tidak langsung mencabut nyawa berbilang jumlah
Tetapi ia membuat kebodohan menjadi abadi
Kemiskinan massal menjadi tersembunyi
Politik hampa etika
di balik slogan gagah efisiensi dan demokrasi
Iklan setengah halaman atau satu halaman media massa
Dengan angka-angka ekonometrika dan statistika
Atau foto orang pintar berkaca mata
Itulah senjata para pemburu harta dan kuasa
Dampak senjata itu nyata
ketika harga BBM naik
rakyat kecil tercekik
ramalan pemilik senjata itu terbalik
menjanjikan angka kemiskinan akan turun menukik
ternyata malah melonjak naik
Dampak senjata itu masih terasa
ketika pilkada rampung
suara rakyat selesai ditelikung
sementara pemburu kuasa dan harta kembali berhitung
untuk membagi untung
Senjata itu adalah iklan dengan sedikit dusta
anak kandung perselingkuhan modal dan tahta
yang kini menular dalam spanduk-spanduk di ruang
terbuka
di bawah lindungan sistem demokrasi pura-pura
ditemani sistem ekonomi pasar yang tidak sempurna
yang melahirkan korban dalam jumlah berjuta
mereka yang tidak kelebihan harta dan tidak ikut
berkuasa
(Suatu pagi di
jalan Kemangi, 24/08/07)
Sang Birokrat
Sang Birokrat
Sang Birokrat
berbaju cokelat
sepatu sedikit mengkilat
kerja dari rapat ke rapat
berlomba mengejar naik pangkat
Sang Birokrat
jarang berkeringat
merasakan nikmat
dari persembahan hormat
dapat jaminan hidup sepanjang hayat
tapi lupa daulat rakyat
Kampus UI,
24/08/2007.
Puisi untuk Wakil Rakyat
Oleh Andrinof A Chaniago
Puisi untuk Wakil Rakyat
Oleh Andrinof A Chaniago
Di masa pemilu
dahulu
Kami lihat gerak bola matamu seperti radar angkatan
perang
Yang dapat melacak suara jangkrik di waktu siang
Sehingga, kami sempat percaya bahwa Tuan-tuan tahu apa
yang kami mau
Kami pun sempat percaya bahwa Tuan-tuan akan menjadi
pelindung kami
dari orang-orang yang hanya ingin memperkaya diri
sendiri
yang hanya ingin menjadikan kuasa dan harta sebagai
senjata
Lewat retorikamu di saat kampanye dulu
Kami percaya Tuan-tuan akan akan bersiaga untuk kami
sepanjang waktu
Menunggu keluh kesah rakyatmu
Menampung dan merundingkan aneka kehendak kami
diantara sesama para politisi
Tetapi setelah masa kampanye jauh berlalu
Kursi berputar menyambut sibukmu
Rumah rakyat yang sejuk mememelukmu
Birokrasi menjadi penyaring tamu-tamumu
Kita pun berjarak seperti tak pernah saling tahu
Jauh di luar ruang kerjamu
ada pagar kekar berteralis baja
Di sana kami berdiri berharap akan sapaanmu
dan bersiap dengan pertanyaan:
Mengapa diammu bukan lagi perenungan?
Mengapa tidurmu bukan lagi jeda pengabdian?
Mengapa retorikamu menjadi tanpa logika?
Di kejauhan pun kami mendengar
Suara tinggi mu menggelegar
menggertak usulan rakyatmu sendiri
yang tengah berharap tegaknya demokrasi sejati
lewat Pemilu dan Pilkada yang bisa menghasilkan
pemimpin sejati
(Kami pun bertanya, “Mengapa tuan-tuan tidak berkenan
ketika ada orang ingin menjadi pemimpin sejati negeri ini?”)
Dengan sigap tuan-tuan berujar,
“Calon perorangan merusak sistem!”
“Calon perorangan harus didukung 15% suara sah!”
Dan seterusnya.. dan seterusnya…
Kami menjadi teringat ketika berjalan menuju ruangan kantormu
Di sana kami melintasi para penjaga berseragam bak
bala tentara Kaisar Romawi
Yang sigap menyuruh kami memarkir kendaraan jauh dari halaman parkirmu
Sehingga kami harus berlari menghindari sengatan terik matahari
Masih bisakah kami percayai janjimu
Ketika acungan telunjukmu bukan lagi tanda janji
Tetapi pengawal ucapanmu
bahwa wakil rakyat adalah pemilik kekuasaan legislasi
Kami pun mulai sadar
bahwa wakil rakyat di zaman kini
sudah membedakan antara penyalur aspirasi dan
kekuasaan legislasi
sudah membedakan antara kompetisi dan demokrasi
Di media massa kami membaca
Retorika-retorika barumu yang merobek makna
dan jawaban-jawabanmu yang makin jauh dari logika
mencampuradukkan energi sekumpulan partai dengan
energi seorang manusia
yang tidak ada contohnya di mancanegara
Kini kami merasa seperti orang-orang yang ditinggal pergi
Oleh Tuan-tuan yang dulu mengaku ingin menjadi wakil-wakil kami
dan dulu pernah memberi janji
bahwa engkau akan menampung suara hati kami
Tetapi ternyata waktu itu kami hanya bermimpi
Retorika dan olah mimikmu tentu saja membuat banyak orang terpesona
melumpuhkan niat orang-orang muda yang akan berdemonstrasi
Bahkan membuat para lansia mengangguk-angkuk sambil tertawa
Yang memberi pertanda bahwa akal sehat tidak lagi berdaya
Karena logika menjadi tidak berguna
Sementara politik dilanda krisis etika
dan kebijakan-kebijakan tercerabut dari kedaulatan rakyat
maka hari ini kami menyapamu dengan puisi
Kami lihat gerak bola matamu seperti radar angkatan
perang
Yang dapat melacak suara jangkrik di waktu siang
Sehingga, kami sempat percaya bahwa Tuan-tuan tahu apa
yang kami mau
Kami pun sempat percaya bahwa Tuan-tuan akan menjadi
pelindung kami
dari orang-orang yang hanya ingin memperkaya diri
sendiri
yang hanya ingin menjadikan kuasa dan harta sebagai
senjata
Lewat retorikamu di saat kampanye dulu
Kami percaya Tuan-tuan akan akan bersiaga untuk kami
sepanjang waktu
Menunggu keluh kesah rakyatmu
Menampung dan merundingkan aneka kehendak kami
diantara sesama para politisi
Tetapi setelah masa kampanye jauh berlalu
Kursi berputar menyambut sibukmu
Rumah rakyat yang sejuk mememelukmu
Birokrasi menjadi penyaring tamu-tamumu
Kita pun berjarak seperti tak pernah saling tahu
Jauh di luar ruang kerjamu
ada pagar kekar berteralis baja
Di sana kami berdiri berharap akan sapaanmu
dan bersiap dengan pertanyaan:
Mengapa diammu bukan lagi perenungan?
Mengapa tidurmu bukan lagi jeda pengabdian?
Mengapa retorikamu menjadi tanpa logika?
Di kejauhan pun kami mendengar
Suara tinggi mu menggelegar
menggertak usulan rakyatmu sendiri
yang tengah berharap tegaknya demokrasi sejati
lewat Pemilu dan Pilkada yang bisa menghasilkan
pemimpin sejati
(Kami pun bertanya, “Mengapa tuan-tuan tidak berkenan
ketika ada orang ingin menjadi pemimpin sejati negeri ini?”)
Dengan sigap tuan-tuan berujar,
“Calon perorangan merusak sistem!”
“Calon perorangan harus didukung 15% suara sah!”
Dan seterusnya.. dan seterusnya…
Kami menjadi teringat ketika berjalan menuju ruangan kantormu
Di sana kami melintasi para penjaga berseragam bak
bala tentara Kaisar Romawi
Yang sigap menyuruh kami memarkir kendaraan jauh dari halaman parkirmu
Sehingga kami harus berlari menghindari sengatan terik matahari
Masih bisakah kami percayai janjimu
Ketika acungan telunjukmu bukan lagi tanda janji
Tetapi pengawal ucapanmu
bahwa wakil rakyat adalah pemilik kekuasaan legislasi
Kami pun mulai sadar
bahwa wakil rakyat di zaman kini
sudah membedakan antara penyalur aspirasi dan
kekuasaan legislasi
sudah membedakan antara kompetisi dan demokrasi
Di media massa kami membaca
Retorika-retorika barumu yang merobek makna
dan jawaban-jawabanmu yang makin jauh dari logika
mencampuradukkan energi sekumpulan partai dengan
energi seorang manusia
yang tidak ada contohnya di mancanegara
Kini kami merasa seperti orang-orang yang ditinggal pergi
Oleh Tuan-tuan yang dulu mengaku ingin menjadi wakil-wakil kami
dan dulu pernah memberi janji
bahwa engkau akan menampung suara hati kami
Tetapi ternyata waktu itu kami hanya bermimpi
Retorika dan olah mimikmu tentu saja membuat banyak orang terpesona
melumpuhkan niat orang-orang muda yang akan berdemonstrasi
Bahkan membuat para lansia mengangguk-angkuk sambil tertawa
Yang memberi pertanda bahwa akal sehat tidak lagi berdaya
Karena logika menjadi tidak berguna
Sementara politik dilanda krisis etika
dan kebijakan-kebijakan tercerabut dari kedaulatan rakyat
maka hari ini kami menyapamu dengan puisi
Post a Comment
komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau