Thursday, January 10, 2013

0 KOMUNIKASI POLITIK


Sejak berakhirnya kekuasaan orde baru 21 mei 1998, hamper semua komponen bangsa memberikan perhatian yang serius pada memperbaiki demokrasi yang darah kehidupan telah tersumbat dalam tempo yang cukup lama. Wacana politik pun hampir identik dengan tema demokratisasi. Alasannya cukup sederhana, karena proses politik yang lebih dari dua puluh lima tahun hampir tidak memperllihatkan suasana yang tidak demokratis. Kekuasaan yang di nilai cendrung otoriter telah memenjara masyarakat dalam ruang politik yang serba terbatas. Istilah politik hanya bisa dibaca dalam kamus kekuasaan, dan tidak pada lembaran kehidupan masyarakat pada umumnya. Tidak ada aktivitas politik dalam kehidupan masyarakat kecuali terlibat sesaat sebagai pemilih “pasif” pada peserta pemilihan umum untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk pada kelembagaan legislatif. Pendekatan otoritas yang menjadi warna dominan pemerintahan saat itu telah membuat rakyat semakin terpinggirkan dari proses demokrasi, yang salah satu implikasinya dapat diamati pada kenyaan bahwa partisipasi politik rakyat tidak pernah memperlihatkan wujudnya sebagaimana mestinya.
Rendahnya partisipasi politik sendiri, salah satunya, diakibatkan karena rendahnya kesadaran politik masyarakat sebagai efek langsung ataupun tidak langsung dari belum optimalnya proses pendidikan politik. Partai-partai politik yang saat itu lebih mempersentasikan kehendak kekuasaan sama sekali tidak memberikan efek pendidikan politik yang mencerdaskan masyarakat. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat, termsuk pers, juga tidak berdaya memerankan fungsinya sebagai salah satu kekuatan social untuk melakukan control secara produktif. Akibatnya, kekuasaan pemerintah cendrung tak terbatas dan bahkan otoriter.
Diantara perangkat pendidikan politik yang memiliki efek signifikan terhadap proses domokratisasi adalah berjalannya roda komunikasi politik di antara komponen-komponen social yang menjadi bagian penting dengan proses yang dimaksud. Komunikasi politik akan menyalurkan energy-energi kehidupan politik secara timbale balik, baik dari pemerintah kepada masyarakat maupun sebaliknya. Itulah sebabnya, Alfian mengilustrasikan “komunikasi politik sebagai aliran darah menjadi energi untuk menghidupkan sendi-sendi demokrasi”. Tanpa aktivitas politik yang memadai sulit untuk bisa membangun demokrasi. Sebab komunikasi politik dan demokrasi merupakan dua senyawa yang saling melengkapi. Dan karena kaitan dua senyawa itu pula, komunikasi politik dapat dilihat dari dua fenomena yang paling mempengaruhi. Yaitu, sebagai alat proses demokratisasi di satu pihak, dan dilain pihak, ia juga bisa menjadi cermin  demokrasi dari system politik yang di anut suatu Negara.
Akan tetapi di Indonesia, paling tidak selama kekauasaan Orde Baru, komunikasi politik hampir tidak pernah memperlihatkan wujudnya yang utuh. Di antara gejalanya dapat dilihat pada kenyataan terbelenggunya kebebasan berpendapat, termasuk kelewluasaan berekpresi politik, sehingga tidak adanya jalan yang memadai bagi tubuhnya untuk berpartisipasi politik secara bebas dan konstruktif. Bahkan kekuasaan-kekuasaan social politik pun tidak mampu menembus kebekuan politik. Parta-partai politik tidak lebih dari sebuah representasi kehendak dan alat kekuasaan ketimbang sebagai alat demokrasi untuk menyalurkan aspirasi yang tumbuh dari bawah. Demikian pula kekuatan-kekuatan social politik lainnya, termasuk ormas baik keagamaan maupun social, cendrung menjadi subordinasi bagi proses kekuasaan yang tengah berlangsung.
Kenyataan inilah sesungguhnya yang menjadi nafas utama gelombang reformasi yang berpuncak pada turunnya soeharto dari kursi presiden. Sejak saat itu gairah demokrasi berubah secara signifikan. Bahkan menurut cacatan para pengamat, kebebasan tumbuh sedemikian cepat melebihi kapasitas yang seharusnya terjadi. Pers dapat menghirup udara kebebasan, baik dilihat dari sisi substansi pemberitaan maupun eksistensi kelembagaannya. Partai politik tumbuh bagai jamur dimusim hujan, sehingga menjelang pemilu 1999 terhitung lebih dari 100 partai politik mendaftar di lembaga pemilihan umum, meskipun yang lolos proses kualifikasi hanya mencapai 48 partai politik peserta pemilu.
Siding umum MPR hasil pemilu 1999 berhasil mengantarkan seorang tokoh reformasi, Muhammad Amien Rais, menjadi ketua MPR RI. Dibawah kepemimpinan Amin Rais, sidang umum MPR berhasil meloloskan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menuju istana menduduki kursi presiden menggantikan BJ. Habibie. Sementara Megawati Soekarno Putri, meski di dukung oleh partai terbesar hasil pemilu 1999, hanya berhasil menduduki wakil presiden. Sedangkan kursi ketua DPR masih dipegang ole horde baru, Akbar Tanjung. Lengkaplah, empat tokoh yang pernah bertemu di Ciganjur untuk membicarakan nasib bangsa ke depan pasca reformasi, (Amien, Akbar, Gus Dur dan Mega) mengendalikan proses kekuasaan menuju tatanan politik dalam ruang Negara kesatuan yang saat itu banyak di sebut sebagai Indonesia “Baru”. Sri Sultan dari Yogya yang juga hadir dalam pertemuan Ciganjur, tetap berperan sebagai tokoh kharismatik, ikut mengontrol jalannya roda pemerintahan.
Akan tetapi, bulan madu rakyat-kekuasaan ini ternyata tidak berlangsung lama. Gus Dur berhenti di tengah jalan. Dalam iklim komunikasi politik yang ari hari kehari terus memanas. Sidang MPR pun lagi tidak bisa di hindari. Dekrit presiden untuk menyikapi situasi politik yang semakin tidak bisa dikendalikan, juga tidak cukup efektif membendung proses politik mengantarkan wakil presiden Megawati Soekarno Putri menduduki kursi presiden menggeser KH. Abdurrahman Wahid, dan tidak ada lagi pilihan. Untuk menyelamatkan masa transisi. Memasuki ruang demokrasi yang telah diperjuangkan melalui proses reformasi saat itu. “pil pahit” ini harus ditelan. Profil Megawati yang lebih banyak memilih diam dalam memainkan komunikasi politik pemerintah pasca SI-MPR memang cukup efektif meredam berbagai kontofersi yang tanpak terus memanas. Sanyangnya, yang disebut sebagian pengamat, aksi diam itu telah berakibat pada penciptaan stabilitas poltik yang semu. Mirip dengan yang pernah dibangun Soekarno selama mengendalikan kekuasaan. Komunikasi politik pun cendrung kembali membeku. Padahal, dipenghujung kekuasaan Megawati, agenda pemilihan presiden secara langsung sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Dalam masa transisi yang diwarnai oleh iklim demokrasi seperti itulah, pemilihan umum kedua pasca orde baru dilaksanakan. Kemenagan Susilo Bambang Yudiyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2004 ini telah menggoreskan cacatan penting dalam sejarah politik di Indonesia. Di pandang penting bukan saja karena SBY-JK menang dalam pemilu tersebut, tetapi juga proses demokrasi yang dilaluinya merupakan pengalaman pertama Indonesia sejak merdeka tahun 1945. Pemilu langsung oleh seluruh rakyat pemilih seperti ini belum pernah dlakukan sebelumnya. Pada pemilihan presiden dan wakil presiden sebelumnya rakyat harus merasa puas dengan hasil yang hanya dilakukan oleh segelintir orang melalui lembaga perwakilan rakyat dalam sidang umum majelis permusyawaratan rakyat (SU-MPR). Termasuk pergantian ditengan jalan presiden Abdurrahman Wahid oleh Megawati Soekarnoputri.
Selain itu, kemenagan SBY-JK juga menarik untuk kita ketahui dan untuk dicatat karena proses demokrasi itu terjadi di tengah arus reformasi social politik dan kemajuan teknologi kemunikasi. Ada fenoena menarik berkaitan dengan proses demokrasi politik dan kemajuan teknologi komunikasi khususnya di Indonesia beberapa tahun menjelang dan selama pemilu itu berlangsung. Demokrasi merupakan salah satu system yang sengaja dipilih untuk mengakomodasi aspirasi politik yang menuntut keterlibatan sebayak mungkin warga Negara di satu sisi, sementara di sisi lain, proses untuk bisa menyentuh partisipasi seluruh warga itu akan bergantung pada fasilitas informasi dan komunikasi yang memungkinkan satu sama lain dapat berinteraksi.
Di sinilah peran media massa menjadi penting untuk membantu proses penyebaran informasi politik, baik dari elit ke akar rumput maupun sebaliknya. Meskipun, diakui pada saat itu bahwa proses komunikasi masih belum memadai. Salah satu kendala KPU dan KPUD dalam melaksanakan pemilihan umum tahun 2004 itu, misalnya, adalah karena masih belum optialnya penyampaian pemilu kepada seluruh lapisan masyarakat. Proses komunikasi politik menjadi sangat terbatas hanya dilingkungan elit politik dan lapisan partisipan yang jumlahnya juga sangat terbatas. Agenda-agenda politik yang menjadi “dagangan” yang di jual oleh para kandidat tidak secara maksimal diserap oleh seluruh masyarakat calon pemilih, sehingga pendekatan-pendekatan emosional yang lebih mencerminkan semangat primordialisme tampak masih menjadi warna dominan sebagian besar masyarakat dalam menentukan pilihan-pilihannya.
Padahal, dalam beberapa pengalaman demokrasi disejumlah Negara dunia, media masa selalu memainkan peranan penting paling tidak mensosialisasikan agenda-agenda penting politik yang seharusnya di ketahui public. Misalnya saja di Amerika Serikat pada tahun 1962 pada saat pemelihan presiden. Pengalaman JF. Kennedy. Media telah berhasil mendorong Kennedy mengeser popularitas Nixon di mata public pemilih. Di Indonesia, dengan system pemilihan langsung yang yang d dukung oleh media secara maksimal, ke depan posisi dan peran partai politik akan semakin berkurang. Media akan mulai menggeser peran-peran yang biasanya dimainkan partai politik. Konsekuensinya, besar-kecilnya partai tidak akan lagi memberikan efek signifikan dalam memperoleh kemenenagan politik yang dlakukan melalui proses pemilihan umum.
Dalam kasus di Indonesia. Apakah sahabat-sahabat masih ingat bahwa kemenangan SBY-JK pada pemilihan 2004 memperlihatkan gejala seperti itu. Ia muncul dari partai baru yang tidak terlalu besar. Popularitasnya dalam konteks demokrasi politik juga masih di bawah kandidat lain semisal Amien Rais yang dikenal public sebagai salah seorang tokoh reformasi yang juga seorang ketua MPR periode berlangsung. Bahkan kandidat lain seperti Megawati dan Hamzah Haz, jika di ukur dari popularitas dan latar belakang partai, mereka saat itu tengah memainkan peran politik yang sangat strategis. Keduanya tengah berada pada puncak kekuasaan, masing-masing sebagai presiden dan wakil presiden. Tetapi, itulah fakta proses politik yang terjadi, Mega-Hamzah harus menerima kekalahan dengan lapang dada.
Selain itu, kemengan SBY-JK juga memperlihatkan fenomena lain dari karekteristik masyarakat pemilih, salah satu yang menarik dari karakteristik tersebut adalah warna relegiusitas masyarakat yang menjadi cermin mayoritas penduduk Indonesia. Dalam konteks komunikasi politik, karakteristik masyarakat ini merupakan medan komunikasi yang sangat menentukan efektifitas proses. 

Post a Comment

komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau

Simak juga Post Sarjana Muda 45 Minggu ini

Hidup hanyalah sekedar jalan-jalan untuk menikmati kehidupan, hidup hanyalah sekedar hembusan nafas untuk melangkah menikmati jeruji Tuhan, hidup hanyalah gambaran Tuhan akan kehidupan yang lebih abadi. Oleh karena itu…, tak perlu rebut, tak perlu risau, tak perlu bingung, tak perlu galau, tak perlu merasa tertipu, tak perlu merasa bahwa hidup ini tak adil, tak perlu memberontak, tak perlu bangga, tak perlu sombong. Yang perlu kita lakukan adalah menikmati setiap proses yang ada, karena proses akan menentukan bahwa jalan-jalan dibumi yang kita lakukan sukses atau gagal. (Surga ataukah Neraka).

Data Pengunjung

Popular Posts

My Archive RLM

 

Negara Pengunjung RLM


PUTRA NTB MENULIS
SEO Stats powered by MyPagerank.Net

Statistic RLM

LOGO

LOGO
PUTRA LOMBOK MENULIS "BATUJAI"

Translate