Monday, February 3, 2014

0 Budaya Lokal Lombok Tengah : Atraksi Budaya Bau Nyale Kajian Teoritik





A.    Latar Belakang: Kekayaan Budaya Sasak (Lombok)

Nilai budaya dan kearifan lokal (Local Wisdom) yang dimiliki oleh masyarakat sasak (Lombok) pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan masyarakat lainnya di Indonesia. Nilai budaya dan kearifan lokal yang kaya adalah salah satu daya tarik sebagai identitas dari masyarakat, dan masyarakat sasak memiliki hal tersebut. Salah satunya adalah atraksi budaya Bau Nyale, di mana kata  bau adalah menangkap dan Nyale adalah cacing laut, jadi  Bau Nyale itu sendiri merupakan sebuah aktivitas menangkap cacing laut.

Tradisi Bau Nyale merupakan suatu kegiatan (kejadian) yang dikaitkan dengan budaya setempat. Kejadian ini bermula dari suatu legenda lokal. Legenda yang melatar belakanginya, yaitu legenda Putri Mandalika. Konon menurut kepercayaan sebagian masyarakat Lombok, nyale merupakan reinkarnasi (penjelmaan) dari Putri Mandalika. Dikisahkan, putri ini dikenal cantik dan halus budinya. Karena kecantikan dan kehalusan budinya, banyak pangeran atau raja yang ingin mempersuntingnya menjadi permausuri. Putri Mandalika tidak bisa menentukan pilihan. Jika ia hanya memilih satu orang, akan terjadi peperangan di antara para pangeran (raja). Putri yang arif dan bijak ini tidak menghendaki terjadinya peperangan, karena rakyat juga yang akan menjadi korbannya.

Oleh karena itu, sang putri lebih memilih untuk menceburkan diri ke laut dan menjelma menjadi nyale demi kepentingan rakyat banyak. Ia berharap jelmaan dirinya itu bisa dimiliki (dinikmati) oleh banyak orang. Diyakini Putri Mandalika lah yang menjelma menjadi cacing laut (nyale) berwarna-warni. Oleh karena itu, masyarakat setempat percaya, bahwa nyale bukan hanya cacing biasa tetapi makhluk suci yang membawa kesejahteraan. Masyarakat sasak yakin nyale dianggap dapat meningkatkan kesuburan tanah pertanian agar dapat menghasilkan panen yang memuaskan. Apabila banyak nyale yang keluar, hal itu menandakan pertanian penduduk akan berhasil. Nyale yang telah ditangkap di pantai, biasanya sebagaian ditaburkan ke sawah untuk kesuburan padi. Nyale juga digunakan untuk berbagai keperluan seperti santapan, lauk-pauk, obat kuat dan lainnya yang bersifat magis sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Kekayaan budaya sasak, tidak hanya terletak pada atraksi budaya bau nyale, melainkan memiliki berbgai macam budaya yang bisa dinikmati, dengan sejarah dan makna yang berbeda-beda, sesuai dengan kenyakinan masyarakat setempat. Kekayaan buday-budaya tersebut kemudian dipertahankan dan dilestarikan hingga sampai sekarang. Berkembangnya zaman dan percampuran budaya-budaya baru, baik dari budaya luar Lombok hingga budaya wisatawan (budaya barat) tidak menjadikan budaya-budaya yang ada di Lombok (sasak) tergerus dan merubah, melainkan masyarakat sasak dapat menyesuaikan budaya tersebut sesuai dengan kebutuhan masa kini.
Salah satunya adalah budaya merarik (menikah), sebelum adanya atau tercampurnya budaya merarik dengan cara melamar (meminang sang mempelai wanita), masyarakat Lombok lebih dikenal dengan cara memaling (mencuri mempelai wanita, baik pada malam hari maupun siang hari, namun lebih dominan pencurian sang mempelai wanita di malam hari), hal ini dilakukan dengan kesepakatan bersama mempelai wanita dengan laki-laki. Kemudian dilanjutkan dengan bebarak (memberi tahu pihak mempelai perempuan) dengan diwakili oleh dua orang, dan diakhiri dengan nyongkolan.
B.     Bau Nyale : Antraksi Budaya Turun Temurun

Kebudayaan merupakan hasil kreasi manusia yang tidak dibentuk hanya dalam waktu hitungan jari, baik itu jari tangan maupun kaki. Kebudayaan dibentuk dari awal kehidupan manusia, sampai akhir kehidupan manusia. Oleh karena itu, kebudayaan memang seharusnya dan selayaknya kita pertahankan dan lestarikan keberadaannya. Disamping untuk menghormati segala yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita, kebudayaan merupakan hal yang amat berharga dan tidak tergantikan.

Bau Nyale merupakan kegiatan yang berkaitan dengan nilai sakral yang dipercaya oleh masyarakat Lombok, kepercayaan ini sudah berlangsung sejak dulu karena bau nyale merupakan warisan dari generasi kegenerasi, dan masih eksis sampai saat ini. Bahkan atraksi bau nyale dewasa ini selain bernilai sakral, juga merupakan salah satu bentuk silaturrahmi warga masyarakat secara tidak langsung, dalam arti; antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain tidak mengenal satu sama lain, namun bertatap muka dan bisa saling mengenal satu sama lain.

Dalam sebuah buku “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan” yang ditulis oleh Dr. Hans J. Daeng, menggabarkan bahwa: upacara Nyale mulai diadakan setelah penghitungan enam malam terlihat bulan purnama. Dalam melaksanakan upacara Nyale, sejak dahulu setiap kabisu (Klen) sudah diberikan kepercayaan untuk mengerjakan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Menjelang hari yang telah ditetapkan, masyarakat mempersiapkan ketupat beras ketan yang berbentuk kerucut. Di samping ketupat ketan yang juga akan dibagikan kepada para pengunjung, perlengkapan-perlengkapan lainnya, pinang, ayam dan tongkat.[1]

Pada pagi hari yang telah ditetapkan untuk Nyale, berangkatlah Rato (tua-tua adat) Kabisu Ubeweni lebih dahulu ke tepi pantai. Dalam perjalanan kesana, diletakkan ketupat ketan, sirih dan pinang dan di tempat-tempat yang dikeramatkan: mungkin sebagai tanda kulo nuwun kepada roh-roh yang berada disana. Setiba disana, para Rato berkumpul di bawah sebatang pohon ketapang untuk memperhatikan keadaan cuaca dan menantikan saat yang tepat untuk memanggil Nyale. Jika saatnya tiba, sang rato kebisu Ubeweni menuju ke bibir pantai lalu dengan suara nyaring memanggil Nyale yang kemudian berdatangan muncul ke tepi pantai[2]

Atraksi Bau Nyale yang diadakan di Lombok, pandangan tentang perayaan Bau Nyale sesungguhnya tidak terlepas dari masalah cinta yang menuju ke perkawinan, Bau Nyale bukanlah sebuah ukuran yang mutlak bagi kaum muda-mudi yang bertemu dan menjalin cinta kemudian menuju ke perkawinans, realita yang digambarkan tersebut angatlah jauh dengan realita yang ada,

Perayaan  Nyale atau Bau Nyale (menangkap cacing laut) memberi kesempatan kepada muda-mudi untuk saling mengenal lebih dekat sebagai persiapan untuk membangun keluarga. Pada malam penantian munculnya Nyale pada pagi keesokan harinya, muda-mudi di pulau Lombok semalam suntuk sibuk dengan acara betandak, yaitu saling melempar pantun dalam bahasa sasak. Orang yang tidak dapat membalas pantun yang ditujukan kepadanya menjadi objek ejekan dan bahan tertawaan. Mungkin hal ini dapat dilihat sebagai alasan untuk lebih saling mendekat. Was sicb liebt, das neckt sicb (yang saling kasih, saling mengganggu). Selain acara berandak juga diadakan acara bejambek, yaitu saling menghidangkan sirih pinang sebagai penerimaan seorang gadis pada pemuda pilihannya. Hal yang lazim terjadi ialah kegiatan betandak dan bejambek dilanjutkan dengan pernikahan pada masa pascapanen berikutnya.[3]

C.    Nilai Ekonomi : Pendapatan Penduduk Lokal

Kehadiran budaya sebagai salah satu identitas penting masyarakat dalam mengupayakan masyarakat mandiri melalui pengembangan budaya, dalam arti; esensi budaya yang ada tidak terlepas dari sebuah nilai ekonomi yang tinggi, budaya menghadirkan keuntungan yang signifikan bagi masyarakat setempat, apabila; pertama, budaya yang ada harus dilestarikan sebagai wujud kepedulian masyarakat akan warisan budaya. Kedua, budaya harus dilihat dari sisi kearifan lokal yang tinggi, tidak boleh tercampur dengan budaya-budaya lain yang akan berdampak pada hilangnya nilai sacral budaya. Ketiga, masyarakat setempat mampu bersaing dan menyuguhkan ke-lokal-an budaya, misalnya; makanan, kain atau sarung lokal, dan yang lainnya, agar budaya yang ada tidak monoton.

Bau nyale misalnya; atraksi budaya ini menghadirkan daya tarik yang tinggi, kehadirannya dalam dua kali setahun menjadi momen yang tak bisa ditinggalkan oleh masyarakat setempat, apalagi nilai jual nyale sangat tinggi. Masyarakat dari luar datang berbondong-bondong menuju pesisir pantai untuk memeriahkan, hampir mencapai ribuan disetiap pantai tempat adanya atraksi bau nyale. Hal ini, mendatangkan keuntungan senidri bagi penduduk setempat maupun penduduk lain untuk berbisnis, mulai dari menjual kerajinan tangan sampai pada hal-hal yang dibutuhkan.

Proses kedatangan masyarakat untuk menangkap nyale sendiri terbagi menjadi dua kategori, pertama, dengan cara menginap (pra-acara). Dan yang keuda, dengan cara masyarakat datang sebelum subuh (acara).
Pertama; menginap; masyarakat yang memiliki tempat tinggal yang jauh, biasanya menginap dipesisir pantai dengan cara membuat tenda, hal ini dilakukan selain untuk menanti acara bau nyale pada keesokan harinya, juga dilakukan untuk menikmati pemandangan pantai dan acara yang digelar oleh pemrintah setempat. Kedua, pergi pagi; sebelum acara penangkapan nyale dimulai, biasanya masyarakat berangkat sebelum subuh, baik yang rumahnya jauh maupun tidak terlalu jauh dari pantai. Hal ini biasanya dilakukan oleh para orang tua yang tidak terlalu suka dengan keraiman, namun lebih kepada esensi penagkapan bau nyale tersebut.

Oleh karena itu, untuk mengatasi berbagai macam permasalahan sosial yang dikategorikan sebagai penyandang permasalah sosial melalui pengembangan budaya untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, membutuhkan perhatian khusus sebagai wujud kepedulian pekerja sosial sebagai profesi professional. Karena dengan menumbuhkembangkan sumber daya alam yang ada, akan mengurangi tingkat kemiskinan, yang selama ini menjadi wajah yang mengerikan dipermukaan bumi Indonesia. nilai ekonomi budaya harus diperhatikan demi keberfungsian sosial yang selama ini rentan terhadap kalangan miskin dan tidak berpendidikan. 

D.    Pekerjaan Sosial : Budaya sebagai Ekonomi Jangka Panjang

Dalam hal ini, pekerja sosial yang memiliki tugas sebagai ‘penolong’ dan memiliki jiwa ‘kemanusiaan’ sebagai identitas. Maka ada peran-peran penting yang harus dimasuki oleh pekerjaan sosial sebagai tuntutan profesi, antara lain;
1.      Juru Bicara (Penyambung Lidah)

Mandat sosial yang dimiliki oleh para pekerjaan sosial selain membantu masyarakat secara individu maupun keompok, juga memiliki peran strategis dalam berbgai hal. Misalnya; sebagai penyambung lidah antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah, maupun masyarakat dengan pemodal. Hal ini, sebagai upaya mengkondisikan keberfungsian sosial agar tatanan sosial berfungsi dengan baik. dalam hal budaya, pro-kontra terhadap nilai-nilai lama dan baru yang muncul beriringan dengan zaman modern dewasa ini, begitu sering terjadi yang berdampak pada konflik horizontal maupun vertical.

Dampak dari konflik tersebut menjadi salah satu yang harus dijaga agar tidak berkelanjutan dan membuat budaya yang ada semakain buta dan tidak berjalan, sehinga nilai ekonomi masyarakat semakin berkurang. Profesi pekerja sosial dituntut untuk menjaga dan mengkomunikasikan kepada seluruh elemen akan pentingnya nilai budaya, sehingga perlu adanya strategi yang harus direncanakan dan dikonsepkan dalam upaya menjaga kelestarian budaya dan meningkatkan ekonomi masyarakat melalui budaya. Dengan demikian, tuntutan budaya terhadap elemen masyarakat, tidak hanya pada pemerintah dan masyarakat, akan tetapi sebagai profesi professional dalam upaya mengembalikan keberfungsian sosial dalam masyarakat, pekerja sosial dituntut ikut serta dalam mengupayakan keberlangsungan budaya.

2.      Pendukung dan Pelestari Nilai-Nilai Budaya

Budaya sebagai ekonomi jangka panjang membutuhkan dedikasi yang tinggi untuk mendukung dan melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat, dedikasi tersebut teraplikasi melalui tindakan nyata dalam bentuk;
a.       Promosi.
Promosi menjadi bagian penting dalam memberikan gambar tentang identitas suatu budaya, baik melalui media masa, media online, maupun dalam bentuk; spanduk, pamplet tentang budaya. Hal ini dalam upaya mendukung dan melestarikan nilai-nilai budaya yang ada. hingga tidak terlindas oleh zaman, namun bisa berdampingan dan selarang dengan perubahan kondisi.
b.      Penyuluhan.
Dalam hal ini, pekerja sosial tidak hanya bertatap muka dengan masalah-masalah klien secara pribadi maupun kelompok, pekerja sosial juga harus bisa berpikir kreatif dalam memberikan solusi kepada masyarakat agar kemiskinan yang menyebabkan berbagai macam dampak sosial tidak terjadi, salah satunya adalah menjadikan budaya sebagai salah satu wisata budaya. Dengan demikian, masyarakat bisa lebih mengerti akan arti dan nilai-nilai budaya dan melestarikannya.
c.       Seminar Tentang Budaya.
Seminar budaya dengan berbagai tema yang berkaitan dengan pelestarian budaya adalah salah satu solusi untuk mengakarkan budaya pada masyarakat, apalgi kehadiran budaya barat pada masyarakat awam akan mengakibatkan perubahan drastic terhadap nilai-nilai budaya. Sehingga dengan mengadakan seminar-seminar lokal maupun nasional tentang budaya, akan lebih aktif dan produktif dalam menyiarkan budaya masyarakat yang ada.


E.     Kesimpulan

Bedasarkan dari uraian diatas, budaya merupakan identitas suatu daerah yang memiliki kekayaan tinggi, khususnya budaya sasak (Lombok). Mulai dari budaya yang dilaksankan setiap hari (ziarah kbur) sampai kegiatan yang dilaksankan dalam dua kali setahun (atraksi bau nyale). Dan pekerjaan sosial memiliki peranan penting dalam mewujudkan keberfungsian sosial dalam upaya membangkitkan semangat masyarakat untuk meraih masa depan yang lebih baik, guna dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Budaya tercipta atau terwujud merupakan hasil dari interaksi antara manusia dengan segala isi yang ada di alam raya ini. Manusia di ciptakan oleh Tuhan dengan dibekali oleh akal pikiran sehingga mampu untuk berkarya di muka bumi ini dan secara hakikatnya menjadi khalifah di muka bumi ini.  Disamping itu manusia juga memiliki akal, intelegensia, intuisi, perasaan, emosi, kemauan, fantasi dan perilaku Dengan semua kemampuan yang dimiliki oleh manusia maka manusia bisa menciptakan kebudayaan. Ada hubungan dialektika antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan ada karena manusia yang menciptakannya dan  manusia dapat hidup ditengah kebudayaan yang diciptakannya. Kebudayaan akan terus hidup manakala ada manusia sebagai pendudukungnya.



Nyale
sumber gambar; www.lombok-eccotour.com 




Daftar Pustaka


Hans J. Daeng. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) Cetakan IV.
Kessing, Roger, M., Antropologi Budaya suatu persepektif Kontemporer, jilid 2, terj: Samuel Gunawan, (Jakarta: Erlangga, 1992).
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1974).


[1]Hans J. Daeng. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012). Cetakan IV. Hal. 124
[2] Ibid. hal. 124-125
[3] Ibid. hal. 126-127

Post a Comment

komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau

Simak juga Post Sarjana Muda 45 Minggu ini

Hidup hanyalah sekedar jalan-jalan untuk menikmati kehidupan, hidup hanyalah sekedar hembusan nafas untuk melangkah menikmati jeruji Tuhan, hidup hanyalah gambaran Tuhan akan kehidupan yang lebih abadi. Oleh karena itu…, tak perlu rebut, tak perlu risau, tak perlu bingung, tak perlu galau, tak perlu merasa tertipu, tak perlu merasa bahwa hidup ini tak adil, tak perlu memberontak, tak perlu bangga, tak perlu sombong. Yang perlu kita lakukan adalah menikmati setiap proses yang ada, karena proses akan menentukan bahwa jalan-jalan dibumi yang kita lakukan sukses atau gagal. (Surga ataukah Neraka).

Data Pengunjung

Popular Posts

My Archive RLM

 

Negara Pengunjung RLM


PUTRA NTB MENULIS
SEO Stats powered by MyPagerank.Net

Statistic RLM

LOGO

LOGO
PUTRA LOMBOK MENULIS "BATUJAI"

Translate