Sejak berakhirnya kekuasaan orde baru 21 mei 1998, hamper
semua komponen bangsa memberikan perhatian yang serius pada memperbaiki
demokrasi yang darah kehidupan telah tersumbat dalam tempo yang cukup lama.
Wacana politik pun hampir identik dengan tema demokratisasi. Alasannya cukup
sederhana, karena proses politik yang lebih dari dua puluh lima tahun hampir
tidak memperllihatkan suasana yang tidak demokratis. Kekuasaan yang di nilai
cendrung otoriter telah memenjara masyarakat dalam ruang politik yang serba
terbatas. Istilah politik hanya bisa dibaca dalam kamus kekuasaan, dan tidak
pada lembaran kehidupan masyarakat pada umumnya. Tidak ada aktivitas politik
dalam kehidupan masyarakat kecuali terlibat sesaat sebagai pemilih “pasif” pada
peserta pemilihan umum untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk pada
kelembagaan legislatif. Pendekatan otoritas yang menjadi warna dominan
pemerintahan saat itu telah membuat rakyat semakin terpinggirkan dari proses
demokrasi, yang salah satu implikasinya dapat diamati pada kenyaan bahwa
partisipasi politik rakyat tidak pernah memperlihatkan wujudnya sebagaimana
mestinya.
Rendahnya partisipasi politik sendiri, salah satunya,
diakibatkan karena rendahnya kesadaran politik masyarakat sebagai efek langsung
ataupun tidak langsung dari belum optimalnya proses pendidikan politik.
Partai-partai politik yang saat itu lebih mempersentasikan kehendak kekuasaan
sama sekali tidak memberikan efek pendidikan politik yang mencerdaskan
masyarakat. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat, termsuk pers, juga tidak
berdaya memerankan fungsinya sebagai salah satu kekuatan social untuk melakukan
control secara produktif. Akibatnya, kekuasaan pemerintah cendrung tak terbatas
dan bahkan otoriter.
Diantara perangkat pendidikan politik yang memiliki efek
signifikan terhadap proses domokratisasi adalah berjalannya roda komunikasi
politik di antara komponen-komponen social yang menjadi bagian penting dengan
proses yang dimaksud. Komunikasi politik akan menyalurkan energy-energi
kehidupan politik secara timbale balik, baik dari pemerintah kepada masyarakat
maupun sebaliknya. Itulah sebabnya, Alfian mengilustrasikan “komunikasi politik sebagai aliran darah
menjadi energi untuk menghidupkan sendi-sendi demokrasi”. Tanpa aktivitas
politik yang memadai sulit untuk bisa membangun demokrasi. Sebab komunikasi
politik dan demokrasi merupakan dua senyawa yang saling melengkapi. Dan karena
kaitan dua senyawa itu pula, komunikasi politik dapat dilihat dari dua fenomena
yang paling mempengaruhi. Yaitu, sebagai alat proses demokratisasi di satu
pihak, dan dilain pihak, ia juga bisa menjadi cermin demokrasi dari system politik yang di anut
suatu Negara.
Akan tetapi di Indonesia, paling tidak selama kekauasaan
Orde Baru, komunikasi politik hampir tidak pernah memperlihatkan wujudnya yang
utuh. Di antara gejalanya dapat dilihat pada kenyataan terbelenggunya kebebasan
berpendapat, termasuk kelewluasaan berekpresi politik, sehingga tidak adanya
jalan yang memadai bagi tubuhnya untuk berpartisipasi politik secara bebas dan
konstruktif. Bahkan kekuasaan-kekuasaan social politik pun tidak mampu menembus
kebekuan politik. Parta-partai politik tidak lebih dari sebuah representasi
kehendak dan alat kekuasaan ketimbang sebagai alat demokrasi untuk menyalurkan
aspirasi yang tumbuh dari bawah. Demikian pula kekuatan-kekuatan social politik
lainnya, termasuk ormas baik keagamaan maupun social, cendrung menjadi
subordinasi bagi proses kekuasaan yang tengah berlangsung.
Kenyataan inilah sesungguhnya yang menjadi nafas utama
gelombang reformasi yang berpuncak pada turunnya soeharto dari kursi presiden.
Sejak saat itu gairah demokrasi berubah secara signifikan. Bahkan menurut
cacatan para pengamat, kebebasan tumbuh sedemikian cepat melebihi kapasitas
yang seharusnya terjadi. Pers dapat menghirup udara kebebasan, baik dilihat
dari sisi substansi pemberitaan maupun eksistensi kelembagaannya. Partai
politik tumbuh bagai jamur dimusim hujan, sehingga menjelang pemilu 1999
terhitung lebih dari 100 partai politik mendaftar di lembaga pemilihan umum,
meskipun yang lolos proses kualifikasi hanya mencapai 48 partai politik peserta
pemilu.
Siding umum MPR hasil pemilu 1999 berhasil mengantarkan
seorang tokoh reformasi, Muhammad Amien Rais, menjadi ketua MPR RI. Dibawah kepemimpinan
Amin Rais, sidang umum MPR berhasil meloloskan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
menuju istana menduduki kursi presiden menggantikan BJ. Habibie. Sementara
Megawati Soekarno Putri, meski di dukung oleh partai terbesar hasil pemilu
1999, hanya berhasil menduduki wakil presiden. Sedangkan kursi ketua DPR masih
dipegang ole horde baru, Akbar Tanjung. Lengkaplah, empat tokoh yang pernah bertemu
di Ciganjur untuk membicarakan nasib bangsa ke depan pasca reformasi, (Amien,
Akbar, Gus Dur dan Mega) mengendalikan proses kekuasaan menuju tatanan politik
dalam ruang Negara kesatuan yang saat itu banyak di sebut sebagai Indonesia
“Baru”. Sri Sultan dari Yogya yang juga hadir dalam pertemuan Ciganjur, tetap
berperan sebagai tokoh kharismatik, ikut mengontrol jalannya roda pemerintahan.
Akan tetapi, bulan madu rakyat-kekuasaan ini ternyata
tidak berlangsung lama. Gus Dur berhenti di tengah jalan. Dalam iklim
komunikasi politik yang ari hari kehari terus memanas. Sidang MPR pun lagi
tidak bisa di hindari. Dekrit presiden untuk menyikapi situasi politik yang
semakin tidak bisa dikendalikan, juga tidak cukup efektif membendung proses
politik mengantarkan wakil presiden Megawati Soekarno Putri menduduki kursi
presiden menggeser KH. Abdurrahman Wahid, dan tidak ada lagi pilihan. Untuk
menyelamatkan masa transisi. Memasuki ruang demokrasi yang telah diperjuangkan
melalui proses reformasi saat itu. “pil pahit” ini harus ditelan. Profil
Megawati yang lebih banyak memilih diam dalam memainkan komunikasi politik
pemerintah pasca SI-MPR memang cukup efektif meredam berbagai kontofersi yang
tanpak terus memanas. Sanyangnya, yang disebut sebagian pengamat, aksi diam itu
telah berakibat pada penciptaan stabilitas poltik yang semu. Mirip dengan yang
pernah dibangun Soekarno selama mengendalikan kekuasaan. Komunikasi politik pun
cendrung kembali membeku. Padahal, dipenghujung kekuasaan Megawati, agenda
pemilihan presiden secara langsung sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Dalam masa transisi yang diwarnai oleh iklim demokrasi
seperti itulah, pemilihan umum kedua pasca orde baru dilaksanakan. Kemenagan
Susilo Bambang Yudiyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) pada pemilihan umum presiden
dan wakil presiden tahun 2004 ini telah menggoreskan cacatan penting dalam
sejarah politik di Indonesia. Di pandang penting bukan saja karena SBY-JK
menang dalam pemilu tersebut, tetapi juga proses demokrasi yang dilaluinya
merupakan pengalaman pertama Indonesia sejak merdeka tahun 1945. Pemilu
langsung oleh seluruh rakyat pemilih seperti ini belum pernah dlakukan
sebelumnya. Pada pemilihan presiden dan wakil presiden sebelumnya rakyat harus
merasa puas dengan hasil yang hanya dilakukan oleh segelintir orang melalui
lembaga perwakilan rakyat dalam sidang umum majelis permusyawaratan rakyat
(SU-MPR). Termasuk pergantian ditengan jalan presiden Abdurrahman Wahid oleh
Megawati Soekarnoputri.
Selain itu, kemenagan SBY-JK juga menarik untuk kita ketahui
dan untuk dicatat karena proses demokrasi itu terjadi di tengah arus reformasi
social politik dan kemajuan teknologi kemunikasi. Ada fenoena menarik berkaitan
dengan proses demokrasi politik dan kemajuan teknologi komunikasi khususnya di
Indonesia beberapa tahun menjelang dan selama pemilu itu berlangsung. Demokrasi
merupakan salah satu system yang sengaja dipilih untuk mengakomodasi aspirasi
politik yang menuntut keterlibatan sebayak mungkin warga Negara di satu sisi,
sementara di sisi lain, proses untuk bisa menyentuh partisipasi seluruh warga
itu akan bergantung pada fasilitas informasi dan komunikasi yang memungkinkan
satu sama lain dapat berinteraksi.
Di sinilah peran media massa menjadi penting untuk
membantu proses penyebaran informasi politik, baik dari elit ke akar rumput
maupun sebaliknya. Meskipun, diakui pada saat itu bahwa proses komunikasi masih
belum memadai. Salah satu kendala KPU dan KPUD dalam melaksanakan pemilihan
umum tahun 2004 itu, misalnya, adalah karena masih belum optialnya penyampaian
pemilu kepada seluruh lapisan masyarakat. Proses komunikasi politik menjadi
sangat terbatas hanya dilingkungan elit politik dan lapisan partisipan yang
jumlahnya juga sangat terbatas. Agenda-agenda politik yang menjadi “dagangan”
yang di jual oleh para kandidat tidak secara maksimal diserap oleh seluruh
masyarakat calon pemilih, sehingga pendekatan-pendekatan emosional yang lebih
mencerminkan semangat primordialisme tampak masih menjadi warna dominan sebagian
besar masyarakat dalam menentukan pilihan-pilihannya.
Padahal, dalam beberapa pengalaman demokrasi disejumlah
Negara dunia, media masa selalu memainkan peranan penting paling tidak
mensosialisasikan agenda-agenda penting politik yang seharusnya di ketahui
public. Misalnya saja di Amerika Serikat pada tahun 1962 pada saat pemelihan
presiden. Pengalaman JF. Kennedy. Media telah berhasil mendorong Kennedy
mengeser popularitas Nixon di mata public pemilih. Di Indonesia, dengan system
pemilihan langsung yang yang d dukung oleh media secara maksimal, ke depan
posisi dan peran partai politik akan semakin berkurang. Media akan mulai
menggeser peran-peran yang biasanya dimainkan partai politik. Konsekuensinya,
besar-kecilnya partai tidak akan lagi memberikan efek signifikan dalam
memperoleh kemenenagan politik yang dlakukan melalui proses pemilihan umum.
Dalam kasus di Indonesia. Apakah sahabat-sahabat masih
ingat bahwa kemenangan SBY-JK pada pemilihan 2004 memperlihatkan gejala seperti
itu. Ia muncul dari partai baru yang tidak terlalu besar. Popularitasnya dalam
konteks demokrasi politik juga masih di bawah kandidat lain semisal Amien Rais
yang dikenal public sebagai salah seorang tokoh reformasi yang juga seorang
ketua MPR periode berlangsung. Bahkan kandidat lain seperti Megawati dan Hamzah
Haz, jika di ukur dari popularitas dan latar belakang partai, mereka saat itu
tengah memainkan peran politik yang sangat strategis. Keduanya tengah berada
pada puncak kekuasaan, masing-masing sebagai presiden dan wakil presiden.
Tetapi, itulah fakta proses politik yang terjadi, Mega-Hamzah harus menerima
kekalahan dengan lapang dada.
Selain itu, kemengan SBY-JK juga memperlihatkan fenomena
lain dari karekteristik masyarakat pemilih, salah satu yang menarik dari
karakteristik tersebut adalah warna relegiusitas masyarakat yang menjadi cermin
mayoritas penduduk Indonesia. Dalam konteks komunikasi politik, karakteristik
masyarakat ini merupakan medan komunikasi yang sangat menentukan efektifitas
proses.
Post a Comment
komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau