Sumber Gambar; eklusiftheme.blogspot.com
Sudah
membaca buku kisah "Ainun dan Habibie" atau bahkan sudah menonton
filmnya? Mungkin kebanyakan anda lebih tertarik dan tersentuh dengan kisah
romantis kesetiaan sepasang suami istri, namun justru yang saya rasakan di
sepanjang tulisan dalam buku dan film, adalah sebuah pertunjukan
"peperangan" dari seorang anak bangsa kepada kebijakan pemerintahnya
yang tidak berdaulat dan "tamparan" bagi budaya bangsanya yang tidak
mandiri di atas tanah airnya sendiri. TS contoh-kan, bagaimana tidak mandirinya
indonesia yg menjadi budak ditanah airnya sendiri.
Pada
paruh tahun 80an akhir, sosok Habibie menjelma menjadi idola dan simbol sosok
intelektual yang shalih. Seorang intelektual yang mumpuni diakui dunia barat,
yang secara material sudah kaya karena royalti dari rancangan sayap pesawat
terbang yang terus mengalir seumur hidup, dan digambarkan sebagai sosok yang
taat dan rajin beribadah, bahkan tidak pernah meninggalkan puasa sunnah hari
Senin dan Kamis.
Pada
masanya bahkan masih sampai kini, sosok ini menjadi model bagi banyak sekolah
dan lembaga pendidikan Islam, dengan jargon "mencetak cendekiawan yang
berotak Jerman dan berhati Mekkah". Beberapa pihak bahkan menyebut
sekolahnya sebagai lembaga yang mencetak Ulil Albab. Bisa jadi karena sedikit
banyak sosok Habibie waktu masa itu dianggap pantas sebagai model Ulil Albab
dalam perspektif cendekiawan.
Begitulah,
"ruh intelektual" dari sosok Habibie nampaknya lebih kental dikenal
dari "ruh pejuang". Makna Ulil Albab pun menyempit menjadi makna
seorang cendekiawan pandai yang memiliki kesalihan personal.
Efeknya
adalah lahirlah konsep2 pendidikan Islam yang berupaya memadukan kedua sisi itu
dengan nama "IMTAQ dan IPTEK", dengan ciri khas bergedung hebat,
berorientasi mecusuar dan elitis alias terpisah dari masyarakatnya, sebagaimana
pusat menara gading para intelektual.
Apa
yang salah? Mungkin tiada yang salah, namun yang kurang adalah memunculkan
"ruh perlawanan" untuk membebaskan bangsanya dari penindasan bangsa
lain dan memperjuangkannya menjadi bangsa yang berdaulat dan mandiri.
Sesungguhnya itulah esensi semangat dari Habibie muda.
Benarkah Habibie hanya seorang
Intelektual atau Cendekiawan saja?
Sejak
menginjakkan kaki di Jerman, yang ada di kepala Habibie adalah membuat pesawat
untuk Indonesia, untuk mensejahterakan bangsanya, untuk keadilan sosial di
negerinya. Hanya itu! Bukan sebagaimana cita2 para mahasiswa hasil gemblengan
pendidikan berorientasi kelas pekerja, yaitu bekerja di perusahaan besar dengan
gaji besar.
Habibie
muda sadar dengan potensinya di masa depan. Ia mendatangi pemerintah dan
menawarkan untuk membangun Industri Pesawat sendiri. Mental demikian mustahil
lahir dari jiwa2 yang tidak merdeka dan tidak mencintai Indonesia.
Soekarno
dan pemerintahannya tidak mendengar jelas suara itu. Maka, habibie muda
melakukan perlawanan. Ia bekerja di negeri Jerman, hasil karyanya begitu
dihargai. Bahkan sindiran2 tentang Indonesia, seakan sirna dengan karya-karya
yang dibuat oleh Habibie.
Rezim
Soekarno berubah menjadi Rezim Soeharto. Nama habibie yang sudah meroket di
luar negeri, membuat ketertarikan rezim pemerintahan Soeharto. Yang ingin
dilakukan Soeharto adalah menjadikan Indonesia menjadi macan di asia. Maka, ia
membutuhkan hal2 yang mendukung itu. Teknologi salah satunya.
Habibie
pun dipanggil. Dia diminta memimpin proyek industri transportasi Indonesia.
Lagi-lagi habibie, melihat jeli masa depan Indonesia yang jaya. Ia yakin benar,
bila Industri Strategis dikembangkan sedemikian rupa, maka Indonesia yang
terdiri atas 17.000 kepulauan ini berubah menjadi pesat. Mantan ketua umum ICMI
ini, menyadari bahwa selaiknya potensi besar negeri ini disadari.
Visi
Habibie terhadap teknologi adalah agar bangsa ini berdaulat, agar pulau2
terpencil bisa terhubung dan sejahtera, agar putra bangsa bisa membuat sendiri
pesawat yang murah namun canggih sesuai kebutuhan bangsa ini. Bandingkan dengan
visi teknologi dari mobil nasional, robot nasional dsbnya yang hanya
berorientasi industri semata.
“I
have some figures which compare the cost of 1kg of airplane compared to 1kg of
rice. 1kg of airplane costs $30000 and 1kg of rice is $0,07. And if you want to
pay for your 1kg of high-tech products with a kg of rice, I don’t think we have
enough.” (Sumber : BBC: BJ Habibie Profile -1998.)
Kalimat
diatas merupakan senjata Habibie untuk berdebat dengan lawan politiknya.
Habibie ingin menjelaskan mengapa industri berteknologi itu sangat penting. Dan
ia membandingkan harga produk dari industri high-tech (teknologi tinggi) dengan
hasil pertanian. Ia menunjukkan data bahwa harga 1 kg pesawat terbang adalah
$30.000 dan 1 kg beras adalah 7 sen. Artinya 1 kg pesawat terbang hampir setara
dengan 450 ton beras. Jadi dengan membuat 1 buah pesawat dengan massa 10 ton,
maka akan diperoleh 4,5 juta ton beras.
Jadi
Habibie sungguh-sungguh menginginkan bangsa ini berdaulat, bukan sekedar
mempelajari dan membuat teknologi yang tidak ada kaitannya dengan kondisi
bangsa kini dan masa depan.
Proyek
pesawat terbang, gatotkaca mengguncang dunia. Barat melalui media, berupaya
melunturkan semangat kebangkitan Indonesia. Bahkan, Soeharto yang arogan itu,
kini menjadi musuh masa depan bagi Kapitalisme Eropa dan Amerika.
Dikisahkan,
kritik terhadap permainan Korupsi terlihat. Bagaimana mudahnya cara-cara tender
kotor sering dilakukan. Habibie mengkritik itu semua. Siapa yang tidak tahu
semua Partai dan Pengusaha menghalalkan konspirasi tender proyek pemerintahan
untuk logistik pemilu mereka.
Jujur,
Indonesia tidak pernah kekurangan para Teknokrat yang memiliki kapasitas
keilmuan di atas teknokrat barat. Indonesia memliki pula para Politikus ulung
yang bersahaja, taqwa bahkan jenius dalam membuat kebijakan pro-rakyat.
Indonesia memiliki para ahli kesehatan yang sangat konsen dalam menyelesaikan
krisis kesehatan dan penyakit. Bahkan, bila diberikan keleluasaan dan peluang
bisa jadi Obat HIV/AIDS itu dapat ditemukan.
Potensi
Indonesia ini begitu besar. Sangat besar sebesar luasnya wilayah teritorial
Indonesia. Inilah pentingnya ruh perjuangan dan pembebasan atas penindasan dan
penguatan kemandirian bangsa ditanamkan di sekolah-sekolah. Lihatlah bagaimana
ruh intelektual berpadu dengan ruh pembebasan atas penindasan ini nampak pada
sosok HOS Cokroaminoto, Ahmad Dahlan, Ki Hadjar Dewantoro, M. Hatta, Kartini
dsb.
Alangkah
jahatnya (bukan lucunya) para pemimpin negeri ini. Mereka kurang bersahabat
dengan nurani dan tidak mensyukuri karunia ilahi atas Indonesia. Politik kotor
telah jadi kebiasaan dan dihalalkan atas nama kepentingan kelompok.
NeoKapitalisme telah subur dan mencengkram. Diperparah oleh sekolah dan lembaga
pendidikan yang hanya berorientasi melahirkan intelektual atau kelas pekerja.
Padahal sejatinya pendidikan melahirkan jiwa-jiwa pembebas penindasan negeri
ini melalui beragam potensi yang dimiliki anak-anak Indonesia, teknologi adalah
salah satunya.
Alhasil,
sampai kapanpun maka Indonesia akan jalan ditempat. Kita tidak sekedar butuh
banyak habibie baru, tetapi mereka yang berani berkata benar, memberikan
kemampuannya dengan keseriusan dalam membangun negeri, dan tentu negeri yang
besar tidak akan melupakan Tuhannya. Maka, sepatutnya lahir para birokrat,
politikus, teknokrat, ilmuwan dan akademisi serta kaum muda yang mau berjuang
untuk membebaskan negeri ini karena Allah SWT
Lihatlah
bagaimana Habibie dengan kecintaannya pada Technology berhasil memadukannya
dengan kecintaan pada Indonesia, kecintaan pada bangsa Indonesia dan kecintaan
pada keluarganya. Semuanya adalah karunia Allah swt yang mesti disyukuri secara
terpadu dengan perjuangan sampai mati. Bukan kecintaan pada kelompok dan
golongan, dengan mengatasnamakan cinta pada Indonesia.
Kita
semua yang masih mencintai negeri ini tentu merasa sedih dan terpukul ketika
menyaksikan Habibie ditemani Ainun masuk ke dalam hanggar pesawat di PTDI,
menyaksikan pesawat CN235. karya anak bangsa yang diperjuangkan dengan jiwa dan
raga, teronggok bagai besi tua. Tiada yang berteriak membela, tiada yang
peduli. Semua bungkam masa bodoh. Sambil memegang tangan Ainun, Habibie
berkata: "Maafkan aku untuk waktu-waktu mu dan anak-anak yang telah
kuambil demi cita-cita ini"
Sesungguhnya
kita tidak sedang menangisi Habibie, tetapi sesungguhnya kita seolah sedang
ditampar oleh Habibie, kita sedang menangisi diri sendiri, menangisi
ketidakmampuan kita untuk menjadi seperti Habibie atau membuat pendidikan yang
banyak melahirkan Habibie.
Menjadi
seperti Habibie, bukan untuk menjadi intelektual seperti Beliau, namun untuk
memiliki cinta murni yang sama, yaitu Cinta pada potensi unik pribadi kita,
Cinta pada Bangsa ini, Cinta pada Alam Indonesia, Cinta pada Keluarga, Cinta
pada Allah Swt, Cinta pada semua karunia yang ada lalu kemudian memadukannya
dalam Perjuangan di Jalan Allah untuk membebaskan bangsa dan manusia demi
Peradaban yang lebih adil dan damai. Habibie menyebutnya keterpaduan ini dengan
Manunggal.
Habibie berkata:
”Manunggal
adalah ”Compatible” atau kesesuaian, Karena dalam cinta sejati terdapat empat elemen
berupa, Cinta yang mumi, cinta yang suci, cinta yang sejati dan cinta yang
sempurna.
Post a Comment
komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau