Ilustrasi Gambar; http://sekolahdendang.blogspot.com
Pada waktu saya kecil dulu, saya sering
diceritain oleh kakak saya tentang dongeng yang membuat saya terlelap tidur
dengan nyenyak. Tak jarang cerita atau dongeng yang disuguhkan oleh kakak saya
membuat saya menjadi sedih dan mengeluarkan air mata. Entah dari mana kakak
saya mendapatkan cerita tersebut, karena tempat tinggal kami pada waktu itu
adalah pegunungan selatan, lebih tepatnya Desa Mekar Sari Kecamatan Praya
Barat, Kabupaten Lombok Tengah. Gunung tampah, sebuah gunung yang berada
dipesisir pantai Lancing dan memiliki dataran rendah ditengah-tengah gunung
tersebut, disanalah aku tinggal dalam kurun waktu tujuh tahun.
Pada waktu itu (-/+ 5 tahun), saya mulai
diceritakan berbagai macam cerita yang menyedihkan oleh kakak ku sebelum tidur,
salah satunya adalah cerita Timun gantung. Akan tetapi karena cerita ini sudah
lama, jadi tidak sedetail yang diceritakan oleh kakak saya. Dan aku hanya ingin
mengulang dan menceritakannya kepada sahabat blogger maupun pembaca yang
budiman semuanya. Namun, nama dan yang lainnya tidak diceritakan dengan jelas,
hanya menggunakan kata ibu tiri, bapak, sang kakak, dan sang adek.
Dulu kala, ada dua anak yang memiliki ibu tiri.
Anak pertama berumur tujuh tahun, dan anak kedua berumur dua setengah tahun.
Ibunya meninggal saat adeknya berumur satu tahun, dan bapaknya menikah lagi
pada waktu adeknya berumur dua tahun. Rumah yang sederhana dan dikelilingi
dengan tanaman timun gantung dan beberapa tanaman lainnya, yang bisa dijadikan
sebagai sayuran. rumahnya terletak dilereng pegunungan, depan gunung, belakang
gunung, samping kiri kanan juga gunung. Ditengah-tengah gunung terdapat dataran
yang bisa dijadikan sebagai pemukiman.
Keadaan yang sepi karena tak ada tetangga
membuat keadaan disekeliling rumah menjadi sepi, yang ada hanya pohon-pohon
besar dan tananman yang tumbuh dengan subur. Suburnya tanaman tak membuat
kehidupannya nyaman, jauhnya pasar untuk membeli berbagai macam kebutuhan rumah
tangga, membuat keadaan semakin menyedihkan. Bahkan tak jarang mereka hanya
makan dengan menggunakan ubi dan mentimun yang tumbuh subur dipekarangannya.
Setelah memiliki ibu tiri, sang kakak merasa bahagia, karena ada yang akan
membantu mengurusi adeknya, selama ini, sang kakak merasa kasian sama bapaknya,
yang selalu pontang-panting mencari biaya hidup untuk mengurusi mereka.
Sikap sang ibu tiri pada awal kehidupan mereka,
begitu baik dan perhatian, setiap hari dimasakin dan adeknya dirawat dengan
penuh kasih sayang. Sang kakak merasa bahagia, melihat ibu tirinya
memperlakukan adek tercayangnya dengan sangat spesial. Sang bapak yang melihat
istrinya yang begitu sayang sama anak-anaknya membuatnya merasa nyaman, dan
tidak khawatir ketika meninggalkannya pergi membajak sawah di desa sebelah
gunung.
Berjalan beberapa bulan kemudian, ketika sang
bapak pergi membajak sawah, ibunya berubah drastis, awalnya perhatian dan tidak
pernah marah, tanpa alasan yang jelas, sang ibu tiri memaki dan memukul sang
kakak dengan keras, menyurhnya membersihkan rumah, peralatan dapur dan yang
lainnya, bahkan mereka berdua sering kelaparan.
Pagi itu, setelah selesai sholat shubuh, sang
bapak bersiap-siap pergi membajak sawah, dengan persediaan yang sudah
disediakan oleh sang istri.
Bapak :
buk, apa persedian hari sudah ada…?
Ibu tiri :
sudah ada pak, tapi hanya nasi dan sambel aja.
Bapak : gak apa-apa buk, yang penting ada
buat makan. Anak-anak sudah bangun buk…?
Ibu tiri : kayaknya belum pak. Mereka masih
tertidur lelap, mungkin kelelahan bantu ibu masak…!
Bapak : ya dah buk, biarin aja dah mereka
istirahat. Bapak pergi dulu biar cepat sampai ditempat kerja.
Ibu tiri : bapak yang hati-hati ya, jaga
kesehatan bapak, jangan terlalu banyak kerja…?
Bapak : ya buk, assalamualaikum.
Ibu tiri : waalaikumsalam.
Setelah sang bapak pergi untuk bekerja, sang ibu
tiri pun tidur kembali untuk menghilangkah kelelahannya, dan hal tersebut
berjalan beberapa bulan, dan tidak ada masalah sedikit pun dengan keluarga
sederhana tersebut. Namun setelah beberapa bulan, entah apa yang menyebabkan
perubahan yang terjadi padanya, sang ibu tiri, sering marah dan memukul anak
tirinya, tanpa diketahui oleh sang suami, karena sang ibu tiri mengancam anak
tirinya akan memukulnya lebih keras lagi, jika mereka menceritakan apa yang
mereka alami selama ini. Pagi itu, saat sang bapak telah pergi bekerja, sang
ibu tiri membangunkan kedua anak tirinya untuk membersihkan dapur dan memasak,
serta pekerjaan yang lainnya.
Sang ibu tiri pun pergi kekamar anaknya untuk
membangunkan mereka berdua, sang adek yang masih kecil pun dibangunkan, sang
kakak disuruh untuk menggendongnya.
Ibu tiri : sekarang bapak mu
sudah tidak ada di rumah, kamu cuci piring, masak dan kerjakan yang lainnya,
karena selama ini, ibu sudah capek mengurusi kalian beruda, yang manja. Dengan
nada keras sambil menjewer telinga sang kakak.
Sang kakak : ya buk, aku akan nuruti segala kemauan ibu.
Tapi jangan jewer telinga saya buk, sakit…! sang kakak menjerit kesakitan dan
menangis.
Ibu tiri : terserah ibu dong, mau jewer kek,
mau pukul kek, gak ada kaitannya dengan tangisan dan rengekan pura-pura kamu.
Sekarang kamu pergi cara sayuran buat dimasak dan kamu masak, ibu lapar…!
Sang kakak : ya buk…! Sang kakak pun pergi sambil
menggendong adeknya pergi mencari sayuran.
Setelah beberapa minggu terjadi penyiksaan
terhadap anak tirinya, dan tidak diketaui oleh sang bapak, akhirnya sang adek
sakit-sakitan gara-gara sering tidak dikasih makan oleh ibu tirinya, namun hal
tersebut masih saja dikatakan sebagai sakit biasa oleh sang bapak, dan tidak
terlalu mengkhawatirkan keadaan anaknya, karena mengganggap sang ibu tiri akan
merawatnya dengan baik. setelah sang bapak pergi untuk bekerja (membajak sawah),
keduan anaknya pun ditelantarkan, serta tidak dikasih makan oleh sang ibu tiri.
Sang kakak : buk…, aku lapar, buk. Adek juga laper…!
Wajahnya sang kakak semakin pucat, dan adeknya terus menangis karena kelaparan.
Wajah sang adek pun lebih pucat dari wajah sang kakak.
Ibu tiri :
gak ada makanan, tahan aja laparnya, ibu juga belum makan.
Sang kakak : buk…, adek dah pucat banget buk, apa ibu
tidak kasian sama adek…?
Ibu tiri : kasian…, apa kamu juga gak kasian
sama ibu, ibu juga belum makan. Kalau kamu makan, cepat cari sayuran dan masak.
Sang kakak : tapi aku sudah gak kuat lagi buk…!
Ibu tiri : jika kamu gak kuat, ya sudah…,
gak usah makan sekalian biar mati…!
sang kakak pun pergi untuk mengambil sayur, namun sayur yang
dicari tidak ada sama sekali, tidak ada yang bisa dipetik. Daun ubi sudah habis
dipetik, tinggal daunnya yang tua. Sang kakak pun kebingunan, dan akhirnya
duduk disebuah pohon besar yang berada tidak jauh dari sekitar rumahnya, dan
tempat timun gantung tumbuh. Sang kakak pun membaringkan adeknya dibawah pohon
tersebut, dan menggunakan kain sebagai alas untuk adeknya. Setelah sang kakak
membaringkan adeknya, ia pun pergi mencari timun gantung untuk mengganjal
perutnya.
Dari satu pohon ke pohon yang lain, sang kakak
terus mencari dan mencari dan akhirnya menemukan buah timun gantung yang tidak
terlalu besar, namun cukup untuk menganjal perutnya dan perut adeknya sebelum
menemukan sayuran untuk dimasak. Sang kakak dengan segera kembali ke pohon
untuk memberikan adeknya makan, namun karena terlalu lama mencari sayuran untuk
dimasak, sang ibu tiri pun mengampirinya.
Sang kakak yang melihat adeknya semakin lemas
dan pucat, semakin khawatir dan menangis. Timun gantung yang ia dapatkan
langsung diberikan kepada adeknya, namun sang adek sudah tidak bisa mengunyah
makanan karena badannya yang lemas. dek…, makan dek, biar adek cepat sembuh…!
Sambil menangis dan mencoba membuka mulut adeknya agar timun tersebut bisa
masuk dan dikunyah oleh adeknya. Dek…, ayo makan dek, makan, biar adek cepat
sembuh.
Saat sang kakak lagi menyuapi sang adek,
tiba-tiba sang ibu tiri datang dan merampas timun tersebut, kemudian memakin
sang kakak.
Ibu tiri : berani-beraninya kamu
petik timun gantung ini ya, ibu sengaja membiarkannya agar lebih besar, terus
kamu seenaknya memetiknya…! Sambil memaki, tangan sang ibu tiri pun menampar
pipi sang kakak, kemudian menjewer telinganya dengan keras.
Sang kakak : aku lapar buk, adek juga lemas dan pucat
banget. Berikan timunnya buk, aku mohon, adek lemas banget…! Sang kakak
menangis dan merintih kesakitan.
Ibu tiri : kamu berani melawan sama ibu ya,
apa itu yang diajarkan sama bapak mu. Dasar anak manja dan tidak tahu diri.
Disuruh cari sayuran malah enak-enakkan berteduh dan makan disini…! Sang ibu
pun pergi meninggalkan mereka berdua di pohon tersebut.
Setelah ibunya pergi meninggalkan mereka, sang
kakak semakin menangis melihat adeknya yang sedang lemas dan kelaparan, apalagi
kondisi sang kakak juga lemas. Ia pun duduk dan mengangkat kepala adeknya dan
menjadikan pahanya sebagai bantal adeknya. Sambil menangis ia pun berucap
berulang-ulang kali dengan tersedu-sedu ‘bapak pulang…, bapak pulang, adek
lemas dan sakit’, sambil mengelus kepala adeknya. Setelah beberapa lama
kemudian, sang adek pun tidak bergerak sama sekali, nafasnya sudah tidak ada,
jangtung sudah berhenti berdetak.
Sang kakak yang tidak mengerti, apa yang terjadi
sama adeknya, ia pun berteriak sambil membangunkan adeknya ‘Adek, bangun dek.
Dek…, bangun’ berulang kali. Namun, adeknya tetap membisu. Karena mengetahui
adeknya sudah tiada, ia pun menggendongnya dan pergi mencari bapaknya. Akan
tetapi ia tidak tahu mau mencari bapaknya kemana, ia hanya mengikuti jalan
satu-satunya menuju pegunungan. Setiap langkahnya sang kakak berucap, sambil
menangis dan jalan yang tertatih-taih karena lapar.
(amak…, ulek amak, arik mate lentaren timun
gantung) Bapak…, pulang bapak, adek mati karena timun gantung…
Bapak…, pulang bapak, adek mati karena timun
gantung…
Bapak…, pulang bapak, adek mati karena timun
gantung…
Sang bapak yang sedang membajak sawah, merasa
ada sesuatu yang tidak beres, perasaannya tidak karuan, tidak seperti biasanya,
dan memutuskan untuk pulang.
Ditenag perjalanan, sang kakak terus berteriak
sambil menangis dan matanya sudah membengkak karena terus menangis. Kakinya
yang lemas, membuatnya tidak bisa melanjutkan perjalanan mencari bapaknya. Ia
pun merebahkan adeknya dipangkuannya sambil berteriak, berharap ada orang yang
menolongnya.
(amak…, ulek amak, arik mate lentaren timun
gantung) Bapak…, pulang bapak, adek mati karena timun gantung…
Bapak…, pulang bapak, adek mati karena timun
gantung…
Bapak…, pulang bapak, adek mati karena timun
gantung…
Matahari yang sudah berada di ufuk barat, tak
ada satu pun irang yang lewat dan membantunya, karena memang tidak ada satupun
yang tinggal bersama mereka. Beberapa lama kemudia, bapaknya yang sudah hampir
pertengahan jalan, ia mendengar ada suara anak kecil yang berteriak, dan tidak
tabu lagi akan suara tersebut.
(amak…, ulek amak, arik mate lentaren timun
gantung) Bapak…, pulang bapak, adek mati karena timun gantung…
Bapak…, pulang bapak, adek mati karena timun
gantung…
Bapak…, pulang bapak, adek mati karena timun
gantung…
Sang bapak pun menemukan kedua anaknya dalam
keadaan yang lemas, dan masih belum menyadari apa yang terjadi dengan anaknya
yang paling kecil.
Bapak : nak, kamu kenapa…, adek mu kenapa…?
Sambil membangunkan anaknya.
Sang kakak :
adek ma…ma….ma…ti, pak…? Suara sudah tidak bisa kelaur lagi
Bapak : mati kenapa…? Nak…, bangun nak…,
bangun, ini bapak, nak…!
Sang kakak : ibu gak kasih adek makan pak, tadi aku
petikin timun gantung, tapi ibu merampasnya dan pergi.
Mendengar cerita sang anak, sang bapak pun
marah, dan menggendong anaknya yang sudah meninggal untuk dibawa pulang,
setelah sampai dirumah, ia pun memanggil istrinya dan menyiapkan segala
peralatan untuk mengubur anaknya. Ibunya yang pura-pura menangis dan gak tahu
apa-apa, ia pun mengambil dan menggendong sang adek yang sudah tidak bernafas.
Sang ibu tiri menciumnya sambil mengucapkan ‘nak…, kamu cepat sekali
meninggalkan ibu, padahal tadi kamu baik-baik saja’. Sang bapak yang melihat
istrinya sedih dan kelihatan tidak rela, ia pun membiarkan istrinya bersedih.
Saat sang bapak, pergi mengambil cangkul untuk
menggali kuburan sang anak. Tiba-tiba sang ibu mendekati sang kakak dan
mengatakan ‘awas kalau kamu cerita sama bapak mu, ibu akan pukul kamu tiap
hari’. Setalah selesai menggali kuburan dan mengubur anaknya, selang sehari,
sang bapak pun memanggil istrinya dan mengatakan; buk…, buatin bapak sambal
yang banyaknya? Untuk apa pak? Hari ini, bapak ada temen kerja, jadinya butuh
makanan dan sambel yang banyak. Saat sang istri menyiapkan sambel untuk sang
bapak. Sang bapak lagi mengasah pisaunya agar lebih tajam. Setelah selesai
membuat sambel, dan sang bapak selesai mengasah pisaunya. Ia pun memanggil sang
istri, buk…, apa sudah selesai, kalau udah selesai bawa kesini…! Sudah selesai
pak, sedang aku persiapkan di piring…!
Pada akhir cerita, sang istri disuruh duduk
didepan sang bapak, dan menaruh sambal disampingnya. Sang bapak berpura-pura
pingin manjain sang istri, namun setelah sang istri duduk didepan sang bapak,
akhirnya pisau yang sudah diasah tadi, dikeluarkan dan ditancapkan di kepala
sang istri. Sang istri pun menjerit kesakitan, namun tangan sang bapak menahan
istrinya untuk lari, sambel yang ada disampingnya kemudian ia ambil dan
menaruhnya dibelahan kepala sang istri. Sang istri pun meninggal dan dikuburkan
disebelah kuburan sang anak.
***T A M A T***
Saat aku diceritakan cerita ‘timun gantung’ ini
oleh kakak saya, ceritanya tidak menggunakan bahasa indonesia, namun
menggunakan bahasa sasak (Lombok).
Post a Comment
komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau