Oleh : C. Herry. SL. Ketua DPW NCW
Prov. DKI Jakarta
Manusia adalah mahluk sumbolik
dengan kemampuan mencipta dan mengolah lambing. Tentunya lambang tersebut dapat
tercipta baru sesuai berjalannya kurun waktu, kemudian menjadi ruang makna yang
lain lagi. Demikian kata Ernst Cassirer, tahun1994 silam.
Keunggulan manusia dari mahluk
lainnya kemampuan imajiner mampu membuat konsep untuk saat ini maupun masa
kedepan artinya konsep dengan pemaknaan atas tujuan dan presepsinya dimengerti
oleh masyarakat atau kelompok penerima, termasuk konsep-konsep makar atas kepentingan
yang tersembunyi.
Selanjutnya filosofi dasar lambang
ini telah terwacana daya dasar yang diperlukan terjadinya interaksi dalam daya
simbolis sangat berperan untuk memahami proses sebuah sistem social. Apakah itu
konflik atau memelihara integrasi sosial, apabila kita coba memasuki kondisi
sosial, budaya, ekonomi, politik, di Negara tercinta ini.
Gonjang ganjing di pemerintahan ini
tentang masalah yang beragam telah membentuk arus informasi yang terpotong,
sehingga ruang makna dikoneksitas komunikasi rakyat sebagian besar menjadi
baur, berhenti pada dialog warung kopi yang tidak memiliki tenaga untuk suatu
perubahan sekecil apapun.
Bahwa penyimpangan perilaku para
elite dengan batasan-batasan kepentingan dan tekanan terhadap kelompok
berperan. Semuanya berpola pada norma sosial dan norma hukum yang berujung pada
kiprah politik perkeliruan yang berlaku terhadap distribusi sumber-sumber daya
yang terbatas dan kekuasaan yang ada di Birokrasi Eksekutive-Legislative dan
Yudikative. Ini tercermin jelas pada kiprah wakil-wakil rakyat di DPR Rl.
Fakta perilaku elite politik, elite
birokrasi yang merugikan negara dan bangsa serta perubahan sistem yang
membentur budaya lokal tidak seharusnya diperankan dalam stimulasi sosial
politik termasuk konsumsi publik yang berbentuk kegiatan politik praktis
seperti di lingkungan kekerasa dengan mengatasnamakan Agama, Keamanan Nasional
yang contohnya banyak dibuat jaman Orde Baru di mana Fakta kebenarannya rakyat
sebagian besar telah sama mengetahui,
Oleh karena itu, fungsinya hanya
mengalihkan masalah yang sebenarnya. Ini memiliki resiko buruk dalam kurun
waktu yang panjang, menyita kepentingan berbangsa dan bernegara yang tidak akan
pernah menjadi bangsa yang besar bahkan menjadi bulan-bulanan Negara Tetangga
dan Adi Kuasa. Sesungguhnya Indonesia ini aman, Negara yang damai dan sentosa,
tapi kerakusan para elite berkuasa dengan tema korupsi harus diusaikan, ini
saja dulu tidak lebih.
Frame demokrasi politik dan ekonomi
kita mengadopsi bangunan teori politiknya dari Barat terutama ekonomi leberal
yang kapitalistik bahwa pasar diserahkan oleh pelaku ekonomi dan kebijakan
produk hukumnyapun mengacu pada kepentingan para pemilik modal bukan pada
kepentingan rakyat. Yang terjadi salah urus, mematikan usaha kecil rakyat serta
ribuan penyimpangan dilakukan, atau bahasa yang paling cocok adalah
kolonialisme bangsa sendiri.
Menurut Ralf Dahrendorf dalam
pemikirannya pada teori konflik dialektis bahwa sumber konflik adalah hubungan
wewenang yang telah melembaga dalam asosiasi-asosiasi yang terkoordinasi secara
imperatif, dan dominasi dengan pihak yang dikuasai menyebabkan terjadinya
oposisi kepentingan obyektif dalam situasi tertentu, peningkatan intensitas konflik
atau integrasi dan inipun menyebabkan timbulnya organisasi politik serta
polarisasi kelompok-kelompok yang dikuasai dalam konflik yang tumpang tindih di
masyarakat.
Fakta praktisi di lapangan dengan
citra kekerasan struktural bahwa konflik kepentingan para elite kemudian
berubah menjadi kesepakatan amoral, karena saling menyandera atas perilaku
penyimpangan dan kekuasaan di ranah hukum dan politik, dimana perilaku para
elit di DPR Rl seolah tidak dapat disentuh oleh dan atas nama Demokrasi
Pemerintahan Rakyat karena mereka wakil rakyat, ini justifikasi dari
perkeliruan yang mereka buat,
Proses ini, jelas-jelas untuk
mempertahankan integritas dan batas-batasnya yang berkorelasi erat dengan rasa
aman kelompok dari jerat hukum dan upaya story telling untuk mengubah citra
batal demi hukum. Semua resiko panjang kembali menjadi beban rakyat dan di
sinilah telah terjadi koneksitas informasi yang tersumbat dengan sumbu
kemiskinan.
Oleh karena mereka para elite
politik membentuk ruang aman bagi kelompok masing-masing menjadi eksklusif yang
anti toleransi. Kelompok-kelompok inilah yang mengisi ruang kekuasaan dengan
dana yang cukup dan memungkinkan mereka untuk proteksi diri ditambah dengan
menciptakan replika-replika kelompok berperan atas kekhawatiran mereka tentang
kejadian sebenarnya yang mungkin terjadi.
Mereka para kelompok membentuk
kepentingan lingkaran benteng proteksi masing-masing seolah adanya prinsip
fundamentalisme dalam ranah politik, ekonomi, etnis, agama, yang padahal
fundamentalisme di negeri ini tidak akan pernah tercipta karena akar budaya
kita gotong royong dan kerakyatan Indonesia.
Saat sekarang Sila Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Perwakilan tidak mengilhami tindakan
bijaksana untuk rakyat malah terabaikan, yang nota benenya di DPR Rl,
sehubungan sifat kekuasaan kondisi sekarang bertolak belakang dengan Hikmat
Kebijaksanaan. Ini dapat dibuktikan dengan kiprah para elite yang membentuk
ring pikiran mereka homeostatis dalam kenikmatan kekuasaan mereka tidak ingin
kehilangan dimensi kekuasaan dan kepentingan, dan sangat pantas kelompok mereka
disebut eksklusivisme omnivor-pemakan segala.
Hari ini dapat dikatakan bahwa
batas-batas demarkasi mereka dengan kelompok rakyat kecil dan miskin dalam
solidaritas internal tercipta, tinggal menunggu waktu untuk penyerasian
struktur system-system aksi.
Demikian kondisi yang diposisikan
akan berhenti dalam kurun waktu, dan kebenaran akan timbul menolak siklus hawa
nafsu kegelapan manusia dan Tuhan masih tetap ada (DPW NCW. Provinsi DKI
Jakarta)
http://skuglobalpost.blogspot.com/2011/05/ruang-makna-eksklusivisme.html
Post a Comment
komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau