Tuesday, January 21, 2014

0 Dongeng Masa Kecil 'TIMUN GANTUNG'



Ilustrasi Gambar; http://sekolahdendang.blogspot.com
 

Pada waktu saya kecil dulu, saya sering diceritain oleh kakak saya tentang dongeng yang membuat saya terlelap tidur dengan nyenyak. Tak jarang cerita atau dongeng yang disuguhkan oleh kakak saya membuat saya menjadi sedih dan mengeluarkan air mata. Entah dari mana kakak saya mendapatkan cerita tersebut, karena tempat tinggal kami pada waktu itu adalah pegunungan selatan, lebih tepatnya Desa Mekar Sari Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah. Gunung tampah, sebuah gunung yang berada dipesisir pantai Lancing dan memiliki dataran rendah ditengah-tengah gunung tersebut, disanalah aku tinggal dalam kurun waktu tujuh tahun.

Pada waktu itu (-/+ 5 tahun), saya mulai diceritakan berbagai macam cerita yang menyedihkan oleh kakak ku sebelum tidur, salah satunya adalah cerita Timun gantung. Akan tetapi karena cerita ini sudah lama, jadi tidak sedetail yang diceritakan oleh kakak saya. Dan aku hanya ingin mengulang dan menceritakannya kepada sahabat blogger maupun pembaca yang budiman semuanya. Namun, nama dan yang lainnya tidak diceritakan dengan jelas, hanya menggunakan kata ibu tiri, bapak, sang kakak, dan sang adek.

Dulu kala, ada dua anak yang memiliki ibu tiri. Anak pertama berumur tujuh tahun, dan anak kedua berumur dua setengah tahun. Ibunya meninggal saat adeknya berumur satu tahun, dan bapaknya menikah lagi pada waktu adeknya berumur dua tahun. Rumah yang sederhana dan dikelilingi dengan tanaman timun gantung dan beberapa tanaman lainnya, yang bisa dijadikan sebagai sayuran. rumahnya terletak dilereng pegunungan, depan gunung, belakang gunung, samping kiri kanan juga gunung. Ditengah-tengah gunung terdapat dataran yang bisa dijadikan sebagai pemukiman.

Keadaan yang sepi karena tak ada tetangga membuat keadaan disekeliling rumah menjadi sepi, yang ada hanya pohon-pohon besar dan tananman yang tumbuh dengan subur. Suburnya tanaman tak membuat kehidupannya nyaman, jauhnya pasar untuk membeli berbagai macam kebutuhan rumah tangga, membuat keadaan semakin menyedihkan. Bahkan tak jarang mereka hanya makan dengan menggunakan ubi dan mentimun yang tumbuh subur dipekarangannya. Setelah memiliki ibu tiri, sang kakak merasa bahagia, karena ada yang akan membantu mengurusi adeknya, selama ini, sang kakak merasa kasian sama bapaknya, yang selalu pontang-panting mencari biaya hidup untuk mengurusi mereka.

Sikap sang ibu tiri pada awal kehidupan mereka, begitu baik dan perhatian, setiap hari dimasakin dan adeknya dirawat dengan penuh kasih sayang. Sang kakak merasa bahagia, melihat ibu tirinya memperlakukan adek tercayangnya dengan sangat spesial. Sang bapak yang melihat istrinya yang begitu sayang sama anak-anaknya membuatnya merasa nyaman, dan tidak khawatir ketika meninggalkannya pergi membajak sawah di desa sebelah gunung.

Berjalan beberapa bulan kemudian, ketika sang bapak pergi membajak sawah, ibunya berubah drastis, awalnya perhatian dan tidak pernah marah, tanpa alasan yang jelas, sang ibu tiri memaki dan memukul sang kakak dengan keras, menyurhnya membersihkan rumah, peralatan dapur dan yang lainnya, bahkan mereka berdua sering kelaparan.

Pagi itu, setelah selesai sholat shubuh, sang bapak bersiap-siap pergi membajak sawah, dengan persediaan yang sudah disediakan oleh sang istri.
Bapak            : buk, apa persedian hari sudah ada…?
Ibu tiri             : sudah ada pak, tapi hanya nasi dan sambel aja.
Bapak           : gak apa-apa buk, yang penting ada buat makan. Anak-anak sudah bangun buk…?
Ibu tiri             : kayaknya belum pak. Mereka masih tertidur lelap, mungkin kelelahan bantu ibu masak…!
Bapak           : ya dah buk, biarin aja dah mereka istirahat. Bapak pergi dulu biar cepat sampai ditempat kerja.
Ibu tiri             : bapak yang hati-hati ya, jaga kesehatan bapak, jangan terlalu banyak kerja…?
Bapak           : ya buk, assalamualaikum.
Ibu tiri             : waalaikumsalam.

Setelah sang bapak pergi untuk bekerja, sang ibu tiri pun tidur kembali untuk menghilangkah kelelahannya, dan hal tersebut berjalan beberapa bulan, dan tidak ada masalah sedikit pun dengan keluarga sederhana tersebut. Namun setelah beberapa bulan, entah apa yang menyebabkan perubahan yang terjadi padanya, sang ibu tiri, sering marah dan memukul anak tirinya, tanpa diketahui oleh sang suami, karena sang ibu tiri mengancam anak tirinya akan memukulnya lebih keras lagi, jika mereka menceritakan apa yang mereka alami selama ini. Pagi itu, saat sang bapak telah pergi bekerja, sang ibu tiri membangunkan kedua anak tirinya untuk membersihkan dapur dan memasak, serta pekerjaan yang lainnya.

Sang ibu tiri pun pergi kekamar anaknya untuk membangunkan mereka berdua, sang adek yang masih kecil pun dibangunkan, sang kakak disuruh untuk menggendongnya.

Ibu tiri                         : sekarang bapak mu sudah tidak ada di rumah, kamu cuci piring, masak dan kerjakan yang lainnya, karena selama ini, ibu sudah capek mengurusi kalian beruda, yang manja. Dengan nada keras sambil menjewer telinga sang kakak.
Sang kakak : ya buk, aku akan nuruti segala kemauan ibu. Tapi jangan jewer telinga saya buk, sakit…! sang kakak menjerit kesakitan dan menangis.
Ibu tiri             : terserah ibu dong, mau jewer kek, mau pukul kek, gak ada kaitannya dengan tangisan dan rengekan pura-pura kamu. Sekarang kamu pergi cara sayuran buat dimasak dan kamu masak, ibu lapar…!
Sang kakak : ya buk…! Sang kakak pun pergi sambil menggendong adeknya pergi mencari sayuran.

Setelah beberapa minggu terjadi penyiksaan terhadap anak tirinya, dan tidak diketaui oleh sang bapak, akhirnya sang adek sakit-sakitan gara-gara sering tidak dikasih makan oleh ibu tirinya, namun hal tersebut masih saja dikatakan sebagai sakit biasa oleh sang bapak, dan tidak terlalu mengkhawatirkan keadaan anaknya, karena mengganggap sang ibu tiri akan merawatnya dengan baik. setelah sang bapak pergi untuk bekerja (membajak sawah), keduan anaknya pun ditelantarkan, serta tidak dikasih makan oleh sang ibu tiri.

Sang kakak : buk…, aku lapar, buk. Adek juga laper…! Wajahnya sang kakak semakin pucat, dan adeknya terus menangis karena kelaparan. Wajah sang adek pun lebih pucat dari wajah sang kakak.
Ibu tiri             : gak ada makanan, tahan aja laparnya, ibu juga belum makan.
Sang kakak : buk…, adek dah pucat banget buk, apa ibu tidak kasian sama adek…?
Ibu tiri             : kasian…, apa kamu juga gak kasian sama ibu, ibu juga belum makan. Kalau kamu makan, cepat cari sayuran dan masak.
Sang kakak : tapi aku sudah gak kuat lagi buk…!
Ibu tiri             : jika kamu gak kuat, ya sudah…, gak usah makan sekalian biar mati…!

sang kakak pun pergi  untuk mengambil sayur, namun sayur yang dicari tidak ada sama sekali, tidak ada yang bisa dipetik. Daun ubi sudah habis dipetik, tinggal daunnya yang tua. Sang kakak pun kebingunan, dan akhirnya duduk disebuah pohon besar yang berada tidak jauh dari sekitar rumahnya, dan tempat timun gantung tumbuh. Sang kakak pun membaringkan adeknya dibawah pohon tersebut, dan menggunakan kain sebagai alas untuk adeknya. Setelah sang kakak membaringkan adeknya, ia pun pergi mencari timun gantung untuk mengganjal perutnya.

Dari satu pohon ke pohon yang lain, sang kakak terus mencari dan mencari dan akhirnya menemukan buah timun gantung yang tidak terlalu besar, namun cukup untuk menganjal perutnya dan perut adeknya sebelum menemukan sayuran untuk dimasak. Sang kakak dengan segera kembali ke pohon untuk memberikan adeknya makan, namun karena terlalu lama mencari sayuran untuk dimasak, sang ibu tiri pun mengampirinya.

Sang kakak yang melihat adeknya semakin lemas dan pucat, semakin khawatir dan menangis. Timun gantung yang ia dapatkan langsung diberikan kepada adeknya, namun sang adek sudah tidak bisa mengunyah makanan karena badannya yang lemas. dek…, makan dek, biar adek cepat sembuh…! Sambil menangis dan mencoba membuka mulut adeknya agar timun tersebut bisa masuk dan dikunyah oleh adeknya. Dek…, ayo makan dek, makan, biar adek cepat sembuh.

Saat sang kakak lagi menyuapi sang adek, tiba-tiba sang ibu tiri datang dan merampas timun tersebut, kemudian memakin sang kakak.

Ibu tiri                         : berani-beraninya kamu petik timun gantung ini ya, ibu sengaja membiarkannya agar lebih besar, terus kamu seenaknya memetiknya…! Sambil memaki, tangan sang ibu tiri pun menampar pipi sang kakak, kemudian menjewer telinganya dengan keras.
Sang kakak : aku lapar buk, adek juga lemas dan pucat banget. Berikan timunnya buk, aku mohon, adek lemas banget…! Sang kakak menangis dan merintih kesakitan.
Ibu tiri             : kamu berani melawan sama ibu ya, apa itu yang diajarkan sama bapak mu. Dasar anak manja dan tidak tahu diri. Disuruh cari sayuran malah enak-enakkan berteduh dan makan disini…! Sang ibu pun pergi meninggalkan mereka berdua di pohon tersebut.

Setelah ibunya pergi meninggalkan mereka, sang kakak semakin menangis melihat adeknya yang sedang lemas dan kelaparan, apalagi kondisi sang kakak juga lemas. Ia pun duduk dan mengangkat kepala adeknya dan menjadikan pahanya sebagai bantal adeknya. Sambil menangis ia pun berucap berulang-ulang kali dengan tersedu-sedu ‘bapak pulang…, bapak pulang, adek lemas dan sakit’, sambil mengelus kepala adeknya. Setelah beberapa lama kemudian, sang adek pun tidak bergerak sama sekali, nafasnya sudah tidak ada, jangtung sudah berhenti berdetak.

Sang kakak yang tidak mengerti, apa yang terjadi sama adeknya, ia pun berteriak sambil membangunkan adeknya ‘Adek, bangun dek. Dek…, bangun’ berulang kali. Namun, adeknya tetap membisu. Karena mengetahui adeknya sudah tiada, ia pun menggendongnya dan pergi mencari bapaknya. Akan tetapi ia tidak tahu mau mencari bapaknya kemana, ia hanya mengikuti jalan satu-satunya menuju pegunungan. Setiap langkahnya sang kakak berucap, sambil menangis dan jalan yang tertatih-taih karena lapar.

(amak…, ulek amak, arik mate lentaren timun gantung) Bapak…, pulang bapak, adek mati karena timun gantung…
Bapak…, pulang bapak, adek mati karena timun gantung…
Bapak…, pulang bapak, adek mati karena timun gantung…

Sang bapak yang sedang membajak sawah, merasa ada sesuatu yang tidak beres, perasaannya tidak karuan, tidak seperti biasanya, dan memutuskan untuk pulang.

Ditenag perjalanan, sang kakak terus berteriak sambil menangis dan matanya sudah membengkak karena terus menangis. Kakinya yang lemas, membuatnya tidak bisa melanjutkan perjalanan mencari bapaknya. Ia pun merebahkan adeknya dipangkuannya sambil berteriak, berharap ada orang yang menolongnya.

(amak…, ulek amak, arik mate lentaren timun gantung) Bapak…, pulang bapak, adek mati karena timun gantung…
Bapak…, pulang bapak, adek mati karena timun gantung…
Bapak…, pulang bapak, adek mati karena timun gantung…

Matahari yang sudah berada di ufuk barat, tak ada satu pun irang yang lewat dan membantunya, karena memang tidak ada satupun yang tinggal bersama mereka. Beberapa lama kemudia, bapaknya yang sudah hampir pertengahan jalan, ia mendengar ada suara anak kecil yang berteriak, dan tidak tabu lagi akan suara tersebut.

(amak…, ulek amak, arik mate lentaren timun gantung) Bapak…, pulang bapak, adek mati karena timun gantung…
Bapak…, pulang bapak, adek mati karena timun gantung…
Bapak…, pulang bapak, adek mati karena timun gantung…

Sang bapak pun menemukan kedua anaknya dalam keadaan yang lemas, dan masih belum menyadari apa yang terjadi dengan anaknya yang paling kecil.

Bapak           : nak, kamu kenapa…, adek mu kenapa…? Sambil membangunkan anaknya.
Sang kakak  : adek ma…ma….ma…ti, pak…? Suara sudah tidak bisa kelaur lagi
Bapak           : mati kenapa…? Nak…, bangun nak…, bangun, ini bapak, nak…!
Sang kakak : ibu gak kasih adek makan pak, tadi aku petikin timun gantung, tapi ibu merampasnya dan pergi.

Mendengar cerita sang anak, sang bapak pun marah, dan menggendong anaknya yang sudah meninggal untuk dibawa pulang, setelah sampai dirumah, ia pun memanggil istrinya dan menyiapkan segala peralatan untuk mengubur anaknya. Ibunya yang pura-pura menangis dan gak tahu apa-apa, ia pun mengambil dan menggendong sang adek yang sudah tidak bernafas. Sang ibu tiri menciumnya sambil mengucapkan ‘nak…, kamu cepat sekali meninggalkan ibu, padahal tadi kamu baik-baik saja’. Sang bapak yang melihat istrinya sedih dan kelihatan tidak rela, ia pun membiarkan istrinya bersedih.

Saat sang bapak, pergi mengambil cangkul untuk menggali kuburan sang anak. Tiba-tiba sang ibu mendekati sang kakak dan mengatakan ‘awas kalau kamu cerita sama bapak mu, ibu akan pukul kamu tiap hari’. Setalah selesai menggali kuburan dan mengubur anaknya, selang sehari, sang bapak pun memanggil istrinya dan mengatakan; buk…, buatin bapak sambal yang banyaknya? Untuk apa pak? Hari ini, bapak ada temen kerja, jadinya butuh makanan dan sambel yang banyak. Saat sang istri menyiapkan sambel untuk sang bapak. Sang bapak lagi mengasah pisaunya agar lebih tajam. Setelah selesai membuat sambel, dan sang bapak selesai mengasah pisaunya. Ia pun memanggil sang istri, buk…, apa sudah selesai, kalau udah selesai bawa kesini…! Sudah selesai pak, sedang aku persiapkan di piring…!

Pada akhir cerita, sang istri disuruh duduk didepan sang bapak, dan menaruh sambal disampingnya. Sang bapak berpura-pura pingin manjain sang istri, namun setelah sang istri duduk didepan sang bapak, akhirnya pisau yang sudah diasah tadi, dikeluarkan dan ditancapkan di kepala sang istri. Sang istri pun menjerit kesakitan, namun tangan sang bapak menahan istrinya untuk lari, sambel yang ada disampingnya kemudian ia ambil dan menaruhnya dibelahan kepala sang istri. Sang istri pun meninggal dan dikuburkan disebelah kuburan sang anak.

***T A M A T***

Saat aku diceritakan cerita ‘timun gantung’ ini oleh kakak saya, ceritanya tidak menggunakan bahasa indonesia, namun menggunakan bahasa sasak (Lombok).

Post a Comment

komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau

Simak juga Post Sarjana Muda 45 Minggu ini

Hidup hanyalah sekedar jalan-jalan untuk menikmati kehidupan, hidup hanyalah sekedar hembusan nafas untuk melangkah menikmati jeruji Tuhan, hidup hanyalah gambaran Tuhan akan kehidupan yang lebih abadi. Oleh karena itu…, tak perlu rebut, tak perlu risau, tak perlu bingung, tak perlu galau, tak perlu merasa tertipu, tak perlu merasa bahwa hidup ini tak adil, tak perlu memberontak, tak perlu bangga, tak perlu sombong. Yang perlu kita lakukan adalah menikmati setiap proses yang ada, karena proses akan menentukan bahwa jalan-jalan dibumi yang kita lakukan sukses atau gagal. (Surga ataukah Neraka).

Data Pengunjung

Popular Posts

My Archive RLM

 

Negara Pengunjung RLM


PUTRA NTB MENULIS
SEO Stats powered by MyPagerank.Net

Statistic RLM

LOGO

LOGO
PUTRA LOMBOK MENULIS "BATUJAI"

Translate