Perjalanan generasi menuju kedewasaan memang
berubah-ubah, seiring dengan keadaan dan waktu yang dilewati
(lemah-meningkat-kuat-semakin kuat-mengendor-lemah) suatu gambaran yang tidak
bisa dibantahkan lagi, karena manusia tidak bisa kuat selamanya
(bayi-anak-anak-remaja-dewasa-tua) hingga pada akhirnya akan kekal selamanya.
Perjalanan itu pun tak semerta-merta semua generasi sama (anak petani - anak
nelayan - anak pedagang - anak pejabat) anak petani belajar seperti petani,
anak nelayan belajar seperti nelayan, anak pedagang belajar seperti pedagang
dan anak pejabat belajar seperti pejabat.
Ø Anak Petani biasanya dididik ala petani, rajin,
pantang meyerah bagaikan cangkul yang kuat dalam menembus tanah. Orang tua
biasanya berharap anaknya menjadi generasi yang lebih baik, walau harus bekerja
keras untuk membiayai.
Ø Anak Nelayan. Tak jauh beda dengan anak petani,
harus tangguh dalam melewati samudra walau ombak dengan dengan ganas menerkam.
Ø Anak Pedagang. Harus pandai mengkalkulasikan
sekecil apapun kerugian dan keuntungan yang dihadapi, sehingga biasanya anak
pedagang tak terlepas dari pengajaran berdagang walau terkadang tidak nyata.
Ø Anak Pejabat. Biasanya mendapat pengajaran
instan, tidak ada proses berat dalam menghadapi hidup (takut kotor, takut
kelaparan dan lain-lain). Dan biasanya pengajaran yang didapat tidak terlepas
dari lingkung hidup orang tuanya (pejabat).
Dari generasi-generasi itu kemudian berada pada
tempat yang satu (kampus), perguruan tinggi yang akan mendidik mereka menjadi
generasi yang bisa membawa perubahan bagi bangsa karena mahasiswa memiliki
sebuah tugas dari beberapa tugas yang diemban, yakni; mahasiswa sebagai agen
perubahan (agent of change) sehingga
tak ada alasan lagi bahwa mahasiwa dikatakan bodoh, kalau gak percaya lihat
saja gelarnya (MAHAsiswa-agent of change).
Namun jangan salah ketika mahasiswa tidak bisa berbuat apa-apa, bodoh dan tidak
bisa berbicara didepan orang banyak (kerjaannya hura-hura aja) sehingga tidak
jauh beda dari sebelumnya.
Pemikirannya masih seperti biasa, tak mampu
memecahkan masalah dan hanya bisa melawan diri sendiri (marah akan keadaan
dirinya) namun tak pernah mencoba melakukan perubahan terhadap kondisinya
tersebut. Akan tetapi, apakah kita harus menyalahkan mahasiswa ketika seperti
itu? Jawaban saya TIDAK, karena memang mahasiswa
akan menjadi generasi bangsa yang akan menggantikan generasi yang sekarang, dah
hal tersebut tidak bisa dipungkiri.
Dunia saat ini adalah dunia hiburan, sebuah
dunia baru yang dikenal dengan dunia teknlogi komunikasi, tidak seperti dunia
pada zaman dahulu. Salah satu kenapa saya menjawab tidak adalah karena hal
tersebut (dunia hiburan). Coba deh kita bandingkan pada layar media dan
disuguhkan didepan layar kaca televise anda, pendidikan kah yang lebih banyak
ketimbang hiburan? Sekolah-sekolah yang banyak dimunculkan hanya saja pada
sekolah-sekolah yang hancur (sekolah yang tidak terawat) baik dari pisiknya
maupun dari yang lainnya, sedangkan dunia hiburan begitu mewah dan megahnya
panggung yang disuguhkan, saya rasa hal tersebut tidak sebanding.
Dari sisi lain misalnya. Para pengemis jalanan
sedang mencari sesuap nasi untuk mengganjal perutnya agar bisa melihat hari
esok, para politik elit dan pejabat tinggi sedang adu mulut dilayar media. Hal tersebut
juga, saya rasa tidak relevan sekali. Sebuah pandangan yang membuat rakyat
kecil semain panas sehingga para rakyat kecil selalu berjuang untuk
menyekolahkan anak-anaknya setingi-tingginya. Agar kelak tak menjadi bodoh dan
dibodoh-bodohi.
Sejak siswa menjadi mahasiswa, idiologi terhadap
nama tersebut sudah dipertaruhkan (menang dan kalah, lemah dan kuat) sehingga
mau tidak mau mahasiswa harus merubah pola pandangnya dan menemukan jati diri
sebagai seorang mahasiswa. Bukan hanya sekedar menjadi mahasiswa namun harus
mampu menjaga identitasnya dengan baik sebagai seorang agent of change, jika
tidak maka tak akan ada artinya dimata masyarakat, hanya saja dipandang sebagai
anggota masyarakat yang tinggal ditempat tersebut, apakah sebagai seorang
mahasiswa tidak memiliki rasa malu jika hal tersebut terjadi? Jawabannya antara
YA dan TIDAK.
Secara nyata, garda depan masyarakat adalah
mahasiswa, karena mahasiswa sedikit-sedikit mengatasnamakan masyarakat yang
terdiskriminasikan sehingga mahasiswa sering turun kejalan untuk bersuara (menghembuskan
kata-kata perubahan demi rakyat). Mahasiswa bagaiakan singa lapar yang siap
menerkam mangsa, terus berjuang demi demokrasi yang bersih tercipta di Negara tercinta
ini, sebuah Negara yang damai, aman dan sejahtera, baik dari kalangan bawah
sampai kalangan atas. Namun sampai hari ini hal tersebut tidak pernah
didapatkan, korupsi terus terjadi, rakyat semakin merasakan penderitaannya (banjir
dimana-mana, kelaparan, kemiskinan dan tidak adanya kesejahteraan yang
diciptakan oleh Negara ini).
Teguhnya Singa Kampus Vs Lelapnya
Matahari…?
Ketika menjadi mahasiswa (generasi bangsa), tak
letih-letihnya mengatasnamakan rakyat, perubahan demi rakyat, kesejahteraan
demi rakyat, rakyat terbodohkan, rakyat terdiskriminasikan dan lain sebagainya.
Sebuah gelora yang membara didalam dada mahasiswa demi perubahan yang nyata,
disaat seperti inilah mahasiswa menjadi garda depan yang penting bagi rakyta,
tanpa mahasiswa, mungkin rakyat tidak akan bisa menyalurkan aspirasi kepada
para pemegang kebijakan (toh juga, pencetus-pencetus ORMAS adalah mahasiswa
atau pernah menjadi mahasiswa).
Pejabat Negara adalah bekas siswa atau mahasiswa
“pejabat Negara semuanya pernah merasakan dunia pendidikan, baik itu sampai SMA
maupun sampai diperguruan tinggi” Inilah yang kemudian menjadi pembahasaan yang
menarik bagi saya, yakni “tangguhnya singa kampus dan lelapnya matahari” yang
artinya adalah ketika menjadi mahasiswa, tak henti-hentinya mengatasnamakan
perubahan dmei rakyat, tak ada demonstrasi yang tidak mengatasnamakan rakyat (buruh,
nelayan dan petani serta yang lainya = rakyat). namun setelah menjadi pejabat, tak lagi atas
nama rakyat melainkan atas nama negara, rakyat boleh miskin namun Negara harus
tetap kaya.
Post a Comment
komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau