Banyak penomena menarik yang terlihat dimedia
maupun dilingkungan kita sendiri tentang generasi muda saat ini, sebuah
generasi yang hanyut dalam dunia kesenagan semata. Eitss…, jangan salah, tak
seluruhnya generasi muda berprilaku seperti itu. Namun, ada sebuah artikel yang
menarik, yang bisa bermanfaat untuk anda baca, sebuah antikel yang membahas
tentang gnerasi muda, yakni; http://jamalah.wordpress.com
Generasi muda sebagai pilar utama dalam
keberlangsungan bangsa ini, ternyata mulai sekarang dipertanyakan keberadaanya.
Tidak hanya ketika ide dan pemikiran tetapi pengantar atau pun bahasa yang
dituturkan ikut menjadi bagian terpenting di dalamnya.
Aspek yang rasanya juga jelas terlihat ialah
aspek bahasa. Gaya bahasa gaul, yang sebenarnya merupakan bahasa dialek Jakarta
turut hadir dalam novel genre ini. “Loe-gue” yang dihadirkan tidak sekadar
membuat “teenlit” begitu terasa dekat dengan para remaja, tapi justru dunia
remaja yang demikian itulah yang tercermin lewat “teenlit”. Belum lagi cara
penyajiannya yang menyerupai penulisan buku harian, lebih membangkitkan
keterlibatan para pembacanya. Keberadaan bahasa Indonesia di dalamnya tidak
terencana, tidak terpola dengan baik, apa saja bisa masuk. Baik pada percakapan
(dialog) maupun pada deskripsi, bahasa yang dipakai adalah bahasa gaul, bahasa
prokem, bahasa slang, yang hanya dimengerti oleh anak remaja. Keberagaman
bahasa dan warna-warni percakapan tidak dapat dipola dan hampir tidak
terkendali.
Lihatlah nama acara-acara di stasiun-stasiun televisi, siaran nasional, dan daerah. Simaklah laporan kalangan wartawan televisi dan radio (mereka pakai istilah reporter). Perhatikanlah ucapan-ucapan pembawa acara (mereka menyebutnya presenter) di layar kaca. Dengarlah dengan cermat bahasa mereka yang sehari-hari tampil di televisi, dalam acara apa pun.
Dengarlah nama-nama acara di stasiun-stasiun radio siaran. Bacalah nama-nama
rubrik di media massa cetak. Perhatikanlah judul buku-buku fiksi dan nonfiksi
yang dijual di toko-toko buku, di pasar buku, atau di kaki lima sekalipun.
Simaklah dosen dan guru (terutama yang masih muda) yang sedang mengajar di
depan kelas. Dengarkanlah petinggi atau pejabat negara yang sedang berpidato
atau berbicara kepada wartawan.
Tiap saat dengan mudah kita dapat mendengarkan
bahasa buruk. Contohnya, gue banget, thank you banget, ya!, Semakin lama
semakin banyak orang yang berbahasa Indonesia dengan seenaknya, tidak
mengindahkan norma atau aturan berbahasa yang berlaku resmi. Kalau benar isi
pepatah lama, “Bahasa menunjukkan bangsa”, maka untuk mengetahui dan mengurai
“wajah” negara dan bangsa kita kini tak usah mendatangkan ahli dari Amerika
Serikat atau Australia.
Mengobati “penyakit” berbahasa yang sudah parah diperlukan usaha bersama semua
pemangku kepentingan bahasa
Indonesia untuk kembali menumbuhkan rasa bangga
sebagai bangsa atau orang Indonesia. Warga negara yang sangat bangga sebagai
orang Indonesia tentunya (seharusnya) juga mencintai bahasa nasionalnya
sendiri. Kita, putra-putri Indonesia abad 21, yang benar-benar mencintai bahasa
Indonesia pastilah menjungjung tinggi bahasa persatuan kita. Untuk mendukung
usaha serius ini, pemerintah dan DPR perlu segera membahas dan mengesahkan
Rancangan Undang-undang tentang Kebahasaan yang dibuat tahun lalu.
Banyak bangsa lain, seperti Filipina dan India, merasa iri dan sangat
terkagum-kagum terhadap bangsa kita karena memiliki bahasa persatuan, bahasa
negara, bahasa nasional. Ini merupakan salah satu jati diri asli bangsa kita.
Masyarakat komunikatif tercipta dengan mampu
merasakan kepekaan dan kepedulian serta siap berargumentasi untuk memecahkan
permasalahan kompleks yang diidap. Konkretnya dengan cara itu, dapat mengawal
masa-masa sulit ini menuju suatu arah yang tepat. Bagaimanapun menyiapkan
seperangkat infrastruktur yang kapabel menyikapi setiap kejutan-kejutan arah
angin perubahan secara tenang dan penuh perhitungan dalam konsensus, dapat
menyediakan energi yang berlimpah ketika kita amat membutuhkannya.
Mengkedepankan prioritas tidak bermakna mengesampingkan kebutuhan lainnya.
Barangkali, sebagai bagian dari bangsa ini.
Memang yang lebih diperlukan adalah kemampuan memelihara memori dan mengambil
pelajaran dari apa yang sudah bersama kita lalui sebagai sebuah bangsa. Sebuah
refleksi adalah juga jalan untuk upaya merawat ingatan; bahwa kemerdekaan ini
adalah hasil perjuangan beratus dekade oleh berjuta pejuang; bahwa
otoriterianisme merupakan jalan yang tidak kita inginkan sebagai bangsa yang
bercita-cita dewasa; bahwa represifitas melumpuhkan demokrasi dan
intelektualitas; bahwa kebebasan berpikir dan bersuara telah dibayar mahal oleh
nyawa yang tak ternilai; bahwa korupsi dan kawan-kawannya telah menghancurkan
sendi-sendi keadilan dan meluluhlantakkan harapan untuk hidup makmur,
sejahtera, dan berkeadilan; bahwa wajah pendidikan menentukan karakter bangsa;
bahwa persoalan bangsa ini adalah persoalan yang harus kita selesaikan secara
bersama-sama; bahwa jauh dari tempat kita berada banyak sosok yang tulus
bergerak untuk sesuatu yang memiliki nilai kontribusi tinggi daripada kita yang
hanya berdiam sambil berpura diskusi dan turut berpikir.
Pada berbagi kegiatan pun diharapkan masyarakat
terutama orang muda harus merasa ikut memiliki lambang jati diri bangsa
Indonesia. Rasa ikut memiliki itu akan mengukuhkan rasa persatuan terhadap satu
tanah air, satu negara kesatuan, satu bangsa, satu bahasa persatuan, satu
bendera, satu lambang negara, dan satu lagu kebangsaan. Pada gilirannya rasa persatuan
itu akan menjauhkan perpecahan bangsa sekalipun berada dalam era reformasi dan globalisasi.
Marilah mulai tumbuhkan kembali kesadaran dalam
diri masing-masing untuk berbahasa Indonesia dengan baik, benar, dan indah.
Ketika berbahasa asing, berbahasa asinglah dengan baik! Ketika berbahasa
daerah, berbahasa daerahlah dengan baik! Ketika berbahasa nasional, berbahasa
nasionallah dengan baik pula!
Post a Comment
komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau