Oleh; Hamdan Safi'i, S. Sos. I
A.
PENDAHULUAN
Salah
satu yang menyebabkan Indonesia terpuruk secara ekonomi seperti saat ini adalah
kurangnya etos kerja dalam diri manusianya. Ini membuat miris, padahal lebih
80% rakyatnya beragama Islam. Padahal Islam amat menganjurkan pemeluknya untuk
bekerja dan memanfaatkan waktu secara efektif. Salah satu tokoh Islam Ali bin Abi Thalib mengatakan: waktu itu ibarat mata
pedang, bila tak dimanfaatkan dengan baik ia akan melukai diri sendiri. Al-
Qur’an juga menegaskan kepada kita, “apabila telah selesai dari suatu pekerjaan
tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).
Islam
di antara agama-agama yang ada di dunia, adalah satu-satunya agama yang
menjunjung tinggi nilai kerja. Ketika masyarakat dunia pada umumnya menempatkan
kelas pendeta dan kelas militer di tempat yang tinggi, Islam menghargai
orang-orang yang berilmu, petani, pedagang, tukang dan pengrajin. Sebagai
manusia biasa, mereka tidak diunggulkan dari yang lain, karena Islam menganut
nilai persamaan di antara sesama manusia di hadapan manusia. Ukuran ketinggian
derajat adalah ketakwaannya kepada Allah, yang diukur dengan iman dan amal
salihnya
Tidak
sempurna memahami atau salah memahami ajaran justru akan membuat penganut
ajaran tersebut terperangkap dalam pandangan dan praktek di luar ajaran.
Memahami Islam hanya sebatas ritual ‘ubudiyyah atau upacara peribadatan yang
sempit ternyata mengakibatkan tidak sedikit muslim mengabaikan banyak tuntunan
yang disampaikan Islam lewat dua sumber utamanya, yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah SAW. Allah Ta’ala berfirman: “Dan
kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu,
sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri
(muslim).” (QS An Nahl : 89).
Istilah
kerja dalam Islam bukanlah
semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga
dengan menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus
menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau
pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan
masyarakat sekelilingnya serta negara. Dengan kata lain, orang yang berkerja
adalah mereka yang menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk kebaikan diri,
keluarga, masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain. Oleh karena itu,
kategori ahli Syurga seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an bukanlah orang
yang mempunyai pekerjaan/jabatan yang tinggi dalam suatu perusahaan/instansi
sebagai manajer, direktur, teknisi dalam suatu bengkel dan sebagainya. Tetapi
sebaliknya Al-Quran menggariskan golongan yang baik lagi beruntung (al-falah)
itu adalah orang yang banyak taqwa kepada Allah, khusyu sholatnya, baik tutur
katanya, memelihara pandangan dan kemaluannya serta menunaikan tanggung jawab
sosialnya seperti mengeluarkan zakat dan lainnya (QS Al Mu’minun : 1 – 11).
Salah satu contoh : terdiri dari pegawai, supir, tukang sapu ataupun seorang
yang tidak mempunyai pekerjaan tetap Sifat-sifat di ataslah sebenarnya yang
menjamin kebaikan dan kedudukan seseorang di dunia dan di akhirat kelak. Jika
membaca hadits-hadits Rasulullah SAW tentang ciri-ciri manusia yang baik di
sisi Allah, maka tidak heran bahwa diantara mereka itu ada golongan yang
memberi minum anjing kelaparan, mereka yang memelihara mata, telinga dan lidah
dari perkara yang tidak berguna, tanpa melakukan amalan-amalan sunnah dan
Al-Qur’an yang sesuai dengan kaidahnya.
B. ISLAM DAN ETOS KERJA
Agama
Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi
kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja
melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang
berkenaan dengan kerja.
Rasulullah
SAW bersabda: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup
selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.”
Dalam ungkapan lain dikatakan juga, “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah,
Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik
dari pada mukslim yang lemah. Allah menyukai mukmin yang kuat bekerja.”
Nyatanya kita kebanyakan bersikap dan bertingkah laku justru berlawanan dengan
ungkapan-ungkapan tadi.
Pengertian
etos kerja. Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang memberikan arti
sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini
tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat.
Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang
diyakininya. Dari kata etos ini, dikenal pula kata etika, etiket yang
hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan
baik buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau
semangat yang amat kuat untuk menyempurnakan sesuatu secara optimal, lebih
baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna
mungkin. (htpp.///www.pintani’a blog.com)
Abu
Hamid memberikan pengertian bahwa etos adalah sifat, karakter, kualitas hidup,
moral dan gaya estetika serta suasana hati seseorang masyarakat. Kemudian
mengatakan bahwa etos berada pada lingkaran etika dan logika yang bertumpuk
pada nilai-nilai dalam hubungannya pola-pola tingkah laku dan rencana-rencana
manusia. Etos memberi warna dan penilaian terhadap alternatif pilihan kerja,
apakah suatu pekerjaan itu dianggap baik, mulia, terpandang, salah dan tidak
dibanggakan.
Dengan
menggunakan kata etos dalam arti yang luas, yaitu pertama sebagaimana sistem
tata nilai mental, tanggung jawab dan kewajiban. Akan tetapi perlu dicatat
bahwa sikap moral berbeda dengan etos kerja, karena konsep pertama menekankan
kewajiban untuk berorientasi pada norma sebagai patokan yang harus diikuti.
Sedangkan etos ditekankan pada kehendak otonom atas kesadaran sendiri, walaupun
keduanya berhubungan erat dan merupakan sikap mental terhadap sesuatu. Padahal
dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja
yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan
dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang
telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam al-Qur’an dikenal kata itqon
yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna.
(An-Naml : 88). Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan
lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah
terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut
sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan
harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah)
di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan
tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22)
Maka
pengertian etos kerja tersebut, menunjukan bahwa antara satu dengan yang
lainnya memberikan pengertian yang berbeda namun pada prinsipnya mempunyai
tujuan yang sama yakni terkonsentrasi pada sikap dasar manusia, sebagai sesuatu
yang lahir dari dalam dirinya yang dipancarkan ke dalam hidup dan kehidupannya.
Kerja secara etimologi diartikan (1) sebagai kegiatan melakukan seseuatu, (2)
sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah. Etos kerja menurut Abdullah,
adalah “alat dalam pemilihan”. Definisi yang dikemukakan tersebut lebih
meletakkan manusia sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai keistimewaan
tersendiri, diantaranya adalah kemampuan untuk bekerja dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya. Hal ini terkandung pula makna bahwa manusia adalah makhluk
yang mempunyai keharusan untuk bekerja dan merupakan hal yang istimewa yang
tidak dimiliki oleh makhluk lain.
C. PENGEMBANGAN DIRI
Semua agama, ialah jalan kebenaran, bahkan sains pun diarahkan
untuk mengungkapkan jati diri manusia. Manusia yang mengenali dirinya dengan
baik, maka akan mampu mengatur kehidupan di dunia ini dengan baik. Sesungguhnya
manusia diberi potensi yang bisa mendorong dirinya pada perbuatan baik maupun
buruk. Menghilangkan potensi dalam diri tentu tidak baik. Maka yang baik adalah
mengendalikan dan mengarahkan agar menjadi motivator pada arah yang diridloi
Allah. Jika seseorang sanggup berbuat hal yang demikian berarti manusia itu
memiliki kecerdasan dan pengembangan diri dengan baik.
Secara global, dapat dikatakan bahwa
Islam mengatur seluruh kehidupan kaum muslim. Seluruh ajaran Islam adalah agama
sistem, agama penataan (pengembangan) dan disiplin. Ini semua menjadi landasan
bagi setiap aktivitas dalam Islam, dan setiap muslim dituntut untuk
melaksanakan sistem tersebut serta komitmen padanya dalam berbagai urusan, baik
yang besar maupun kecil. Jika sesorang telah mampu memahami dan mengenal dengan
baik tentang dirinya baik dari aspek jasmani maupun rohani, maka akan dapat
merasakan fungsi potensi dari dirinya. Kekuatan serta potensi mengenal secara
mendalam tentang eksisitensi jasmani dan rohani dapat dicapai melalui bimbingan
dan pengajaran Allah yang dihasilkan dari esensi ketakwaan dan penghambaan yang
sangat tinggi.
pengembangan diri dalam Islam
sebenarnya sangat signifikan dalam membentuk manusia yang berakhlakul karimah,
dengan membantu seseorang menjaga atau mencegah timbulnya berbagai masalah bagi
dirinya sendiri, membantu individu memecahkan berbagai persoalan, membantu
individu untuk menjaga agar situasi dan kondisi yang telah baik dapat bertahan,
dan membantu individu terus mengembangkan kondisi yang telah baik menjadi terus
lebih baik dari waktu kewaktu hingga terlatih menghadapi putaran kehidupan
sehingga mampu tercapai kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. (Skripsi UIN Yogyakarta: Tego Slamet “ Manajemen diri
dalam Islam”)
Namun
pengembangan diri merupakan bentuk perwujudan dari aktualisasi diri, yaitu
proses untuk mewujudkan dirinya yang terbaik sejalan dengan potensi dan
kemampuan yang dimilikinya. Setiap individu mempunyai kekuatan yang bersumber
dari dirinya, namun banyak orang yang merasa tidak mempunyai kemampuan apa-apa,
merasa dirinya tidak berguna dan tidak mampu mencapai aktualisasi diri.
Tidak
banyak orang yang mengetahui nilai dirinya istilahnya self value. Nilai diri
adalah hal-hal yang kita paling kita hargai dalam hidup. Bentuknya dalam satu
kata sifat atau benda, misalnya: keluarga, kerjasama, sinergi, persahabatan,
kerja keras, dll. Nilai diri ini mempengaruhi situasi hidup kita. Sebagai
contoh, jika nilai diri Anda adalah keluarga, pastinya kemana pun Anda pergi
Anda akan selalu kembali ke keluarga. Bagi Anda, keluarga adalah nomor satu.
Uang yang Anda hasilkan dari pekerjaan akan Anda berikan sepenuhnya pada
keluarga. Anda pun akan cemas jika ada sesuatu yang mengancam kestabilan
keluarga Anda.
Fase
pengembangan diri sesungguhnya merupakan tujuan yang diharapkan dari proses
pengenalan diri. Pengembangan diri itu sendiri merupakan proses pertumbuhan
yang terjadi secara terus-menerus, berkembang dan selalu berada dalam
kemantapan hati demi suatu perbaikan, pengoptimalan potensi-potensi yang
dimiliki dan usaha meminimalkan kekurangan-kekurangan yang ada.
Pengembangan
diri juga merupakan suatu usaha individu untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi
diri. Kebutuhan aktualisasi diri itu sendiri merupakan kebutuhan puncak/
tertinggi (meta needs) diantara
kebutuhan-kebutuhan manusia menurut versi Abraham Maslow. Kebutuhan-kebutuhan
dibawahnya adalah fisiologis (dasar) (physiological needs), kebutuhan akan
rasa aman (safety needs), kebutuhan akan kasih
sayang (love and belonging needs), dan kebutuhan akan harga diri (self
esteem needs).
Sedangkan
versi Mc Clelland, pengembangan diri bisa dikategorikan pada usaha pemenuhan
kebutuhan untuk berprestasi (dikenal dengan n’Ach – need for achievement).
Prestasi disini adalah dalam pengertian luas, tidak sekedar dibatasi lingkup
akademis (seperti nilai, Indeks Prestasi), namun juga termasuk
prestasi-prestasi dalam bentuk lain yang memberikan kontribusi positif bagi
individu yang bersangkutan maupun bagi masyarakat luas. Dengan kata lain,
individu yang senantiasa melakukan pengembangan diri akan senantiasa dimotivasi
oleh keinginannya untuk mencetak prestasi-prestasi baru. Dengan demikian
individu tersebut juga senantiasa berada pada posisi
pengaktualisasian-pengaktualisasian diri yang tidak sekedar
to be or not to be, tetapi becoming or unbecoming. Melalui
pemuasan kebutuhan aktualisasi diri, keberadaan manusia tidak pernah menjadi
suatu kondisi yang tetap, tetapi menjadi sesuatu yang selalu berkembang. (http.////wwww.aspat konseling.com).
D. PEMBAHASAN
Membicarakan
etos kerja dalam Islam, berarti menggunakan dasar pemikiran bahwa Islam,
sebagai suatu sistem keimanan, tentunya mempunyai pandangan tertentu yang
positif terhadap masalah etos kerja. Adanya etos kerja yang kuat memerlukan
kesadaran pada orang bersangkutan tentang kaitan suatu kerja dengan pandangan
hidupnya yang lebih menyeluruh, yang pandangan hidup itu memberinya keinsafan
akan makna dan tujuan hidupnya. Dengan kata lain, seseorang agaknya akan sulit
melakukan suatu pekerjaan dengan tekun jika pekerjaan itu tidak bermakna
baginya, dan tidak bersangkutan dengan tujuan hidupnya yang lebih tinggi,
langsung ataupun tidak langsung.
Menurut
Nurcholish Madjid, etos kerja dalam Islam adalah
hasil suatu kepercayaan seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai kaitan dengan
tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah swt. Berkaitan dengan ini,
penting untuk ditegaskan bahwa pada dasarnya, Islam adalah agama amal atau
kerja (praxis). Inti ajarannya ialah bahwa hamba mendekati dan
berusaha memperoleh ridha Allah melalui kerja atau amal saleh, dan dengan
memurnikan sikap penyembahan hanya kepada-Nya. (http.///www.jurnal
mentari.com)
Toto Tasmara, dalam bukunya Etos
Kerja Pribadi Muslim, menyatakan bahwa “bekerja” bagi seorang
Muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh
asset, fakir dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti
dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan
dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khaira
ummah), atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dengan bekerja
manusia itu memanusiakan dirinya. (http.///www.jurnal
mentari)
Salah
satu bagian dari syari’at Islam adalah kewajiban bekerja, dan keharaman
berpangku tangan serta bermalas-malasan bagi orang yang berkemampuan untuk
bekerja. Allah Ta’ala berfirman: “Dan katakanlah,
Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan
orang-orang yang mu’min, dan kamu akan dikembalikan kepada [Allah] Yang
Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang
telah kamu kerjakan.” (At Taubah : 105).
Sehingga kemulian seorang manusia bergantung kepada
apa yang dilakukannya. Dengan itu, sesuatu amalan pekerjaan yang mendekatkan
seseorang kepada allah adalah sangat penting serta patut untuk diberi perhatian. Amalan dan
pekerjaan yang demikian
selain memperoleh keberkahan serta kesenangan dunia juga ada
yang lebih penting yaitu mencari jalan atau bahasa gaul mencari tiket menuju
akhirat dengan menentukan kehidupan yang lebih baik.
Ada
bebera ayat Al-Qur’an yang ada kaitan dengan etos kerja :
Artinya
: “ Orang-orang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagian dan tempat
kembali yang baik “. (Q.S. AL-Ra’du:29).
Kerja
menurut islam merupakan tindakan yang agung, tinggi dan mulia. Ia merupakan
dasar dari setiap orang yang bersungguh-sungguh dan jalan menuju kesuksesan.
Tanpa bekerja manusia tidak bisa maju dan merasakan nikmatnya hidup dan dengan
bekerja manusia bisa hidup dengan tenang. Serta dengan dengan semangat bekerja
dengan penggangguran bia berkurang. Dengan bekerja harta seseorang bisa
bertambah, pemasukan bisa dipredeksi, dan manusia bisa selamat dihadapan allah
diakhirat nanti dengan syarat bekerja diridhoi dan benarkan syariat islam dan
allah benci pada seseorang yang mengganggur. Pakar ilmu jiwa berkata, “ Apabila
kamu khendak menghukum seseorang, maka orang tersebut harus lepas dari
pekerjaannya “. (Refrensi dari majalah risalah Jum’at).
Kerja menurut Al-Qur’an mempunyai
obyek ganda sehingga kerja untuk dunia dan kerja (amal perbuatan) untuk
akhirat. Ibnu
Umar berkata : “Kerjakanlah
urusan duniamu seakan-akan kamu akan hidup selama-lamanya, dan bekerjalah
urusan akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok”. Karena itu Al-Qur’an
menyejajarkan amal shaleh dengan iman dan dijadikan argumentasi sekaligus tanda
pembenaran. Karena iman merupakan pengakuan dalam dada dan pembenarannya adalah
amal (praktik kerja).
Berurang kali ayat Al-Qur’an
menyatakan ada kurang lebih empat puluh satu surat yang mensejajarkan antara
iaman dengan amal shaleh. Bekerja atau beramal shaleh tidak akan mengurangi
nilai ibadah, zikir, tasbih, tahmid, tahlil dan sebagainya. Maksudnya setiap
kebijakan bisa untuk diri pribadi seseorang, keluarga dan masyarakat. Karena
itu, Al-Qur’an sangat menganjurkan bekerja dan beramal shaleh dan jelas
diterima amalnya disisi allah. Allah swt
berfirman:
Barangsiapa yang menghendaki
kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. kepada-Nyalah naik
perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan
orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. dan
rencana jahat mereka akan hancur. (Qs. Al-Fathir:10)
Sehingga ahli
tafsir mengatakan bahwa Perkataan yang baik itu ialah kalimat tauhid Yaitu laa ilaa ha illallaah;
dan ada pula yang mengatakan zikir kepada Allah dan ada pula yang mengatakan
semua Perkataan yang baik yang diucapkan karena Allah.
Maksudnya ialah bahwa Perkataan baik dan amal yang baik
itu dinaikkan untuk diterima dan diberi-Nya pahala.
Dan sungguh telah
Kami tulis didalam Zabur sesudah (kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya
bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh. (Qs. Al-Anbiya:105).
Yang dimaksud dengan Zabur di sini ialah seluruh kitab
yang diturunkan Allah kepada nabi-nabi-Nya. sebahagian ahli tafsir mengartikan
dengan kitab yang diturunkan kepada Nabi Daud a.s. dengan demikian Adz Dzikr
artinya adalah kitab Taurat.
Dari beberapa pendapat dan pemahaman penulis tentang ayat Al-Qur’an
di atas, maka dapat dipahami bahwa etos kerja dalam Islam terkait erat dengan
nilai-nilai (values) yang terkandung dalam dan
Al-Sunnah atau Al-Qur’an tentang “kerja” yang dijadikan sumber inspirasi dan
motivasi oleh setiap Muslim untuk melakukan aktivitas kerja di berbagai bidang
kehidupan. Cara mereka memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai dan
Al-Sunnah dan Al-Qur’an tentang dorongan untuk bekerja itulah yang membentuk
etos kerja Islam. Sehingga Al-Qur’an mendorong manusia
agar melakukan pekerjaan yang bisa memaksimalkan dunia, dan mempunyai usaha
sebagai azas pencapaian rezeki dalam penghidupannya sebagai modal hidup di
akhirat kelak.
E. KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas , tentunya penulis mencoba memberikan anilisis
tentang “ ISLAM DAN ETIKA SOSIAL DALAM
KONTEKS PENGEMBANGAN DIRI” ADALAH
merupakan langkah unutuk mencoba
Sebenarnya, “etos
kerja” dalam perspektif Islam adalah seperangkat “nilai-nilai etis” yang
terkandung dalam ajaran Islam – Alquran dan Alsunnah – tentang keharusan dan
keutamaan bekerja, yang digali dan dikembangkan secara sungguh-sungguh oleh
umat Islam dari masa ke masa, dan itu sangat mempengaruhi tindakan dan
kerja-kerjanya di berbagai bidang kehidupan dalam mencapai hasil yang
diharapkan lebih baik dan produktif.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ajaran Islam
sejelas-jelasnya memberikan inspirasi dan motivasi kepada umat Islam agar
bekerja sebaik-baiknya untuk mencapai hasil yang terbaik, dan ini tentunya
dengan tidak mengabaikan landasan etis atau prinsip-prinsip dasar dan umum yang
ada di dalam ajaran Islam. Yang perlu diingat, etos kerja Islami dapat terhambat
oleh sistem pemerintahan yang feodal, otoriter dan represif terhadap rakyat.
Oleh karena itu, etos kepemimpinan di dunia Islam khususnya, harus dibenahi
dengan pemahaman yang utuh terhadap etos kerja dalam ajaran Islam.
Etos kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah Adanya
keterkaitan individu terhadap Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap
cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh
keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya. Berusaha dengan cara
yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. Tidak memaksakan seseorang, alat-alat
produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara
professional dan wajar. Tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang
ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan
Allah. Professionalisme dalam setiap pekerjaan.
Post a Comment
komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau