Burex Talenta
Mendekati 68 Tahun Bangsa ini merdeka. Benarkah
demikian...lalu bagaimana dengan kemerdekaan yang sesungguhnya...? Sejalan
dengan kemerdekaan bangsa ini pada tanggal, 17 Agustus 1945 lampau menjadi
catatan sejarah bahwa sejak itulah masyarakat indonesia terhitung sudah bebasa
dari penajajahan. Bebasnya masyarakat dari penindasan, penjajajahan serta
pembododohan sejauh ini perlu menjadi catatan penting bagi bangsa ini, terlebih
dalam dunia pendidikan kita. Banyaknya jumlah pengangguran kian hari kian
bertambah, sayangnya pengangguran tersebut adalah masyarakat yang tergolong
sudah mengenyam dunia pendidikan. Secara otomatis pula bahwa ketika bangsa ini
(pendidikan) sudah banyak mencetetak penggaruan di tanah air maka masyarakatpun
tidak salah jika ia mengatakan bahwa “inilah potret pendidikan kita sejauh
ini”.
Kepada bapak Mentri Pendidikan Nasional yang
dalam hal ini bapak M. NUH beserta jajaran kebawahnya harus menyadari bahwa
selama beliau menjadi mentri, ia juga sudah menambah beban kepada bangsa ini,
karena ia tidak sukses mencetak output pendidikan ini stabil dengan skill yang diproleh
output itu sendiri. urikulum pendidikan hampir setiap tahun mengalami
perubahan, namun perubahan tersebut tidaklah bisa membawa perubahan kepada
objek pendidikan tersebut menjadi lebih baik. Kualitas sumber daya manusia yang
lahir dari proses pendidikan kita hari ini sungguh menyedihkan. Pengangguran
yang kian bertambah selalu menjadi perdebatan banyak komponen. Output
pendidikan kita yang seharusnya menjadi guru, sejauh ini mereka juga kebanyakan
menjadi politisi, hal ini karena jumlah masyarakat kita yang menjadi guru tidak
sebanding dengan jumlah sekolah yang ada di tanah air. Stok guru dalam setiap
sekolah terbatas, sementara sebagian kita sudah menyadari bahwa setiap
perguruan tinggi baik negri ataupun swasta khususnya perguruan tinggi keguruan setiap
tahunya selalu melahirkan ribuan guru. Jumlah Sarjana Pendidikan hampir sudah
menyamai jumlah siswa, sementara sekolah jumlahnya sangat sedikit bila
dibandingkan dengan jumlah guru yang ada.
Potret pendidikan kita yang terlihat seperti
demikian seharusnya mentri pendidikan nasional sejauh ini sudah menyediakan
mesin cetak yang memadai, layak pakai (sekolah), dan mesin-mesin yang dimaksud
harus menyebar ke seluruh tanah air secara merata. Sejalan dengan mesin cetak
yang ada, ia juga diharapakan bahwa setiap mesin cetak tersebut terkelola oleh
maneger percetakan yang handal dan didukung oleh potografer yang profesional
(kepsek dan guru) sehingga hasil dari setiap mesin-mesin ini mampu mencetak
gambar yang memiliki daya yang berkualitas.
Sejauh ini, sayangnya mesin cetak Made In
Indonesia tidak begitu maksimal mendapat perawatan secara intensif dari Dokter
pendidikan kita (M. NUH) sehingga tidak begitu menarik di mata masyarakat.
Terbukti ketika masyarakat kita pada akhir-akhir ini terlena dengan harus memasuki
percetakan internasional. Lalu bagaimana dengan percetakan swasta seperti
pondok pesantren, apakah sudah siap menyediakan mesin cetak yang mampu
menghasilkan potret-potret pendidikan yang terdidik. Pada tanggal, 3 Mei 2013
adalah hari pendidikan nasional (HARDIKNAS). Seluruh komponen bangsa, terutama
sekolah, guru, masyarakat umum serta orang tua (wali murid) diharapakna lebih
responsif terhadap permaslahan pendidikan bangsa hari ini. moment ini harus
betul-betul dijadikan sebagai momentum repleksi bagi dunia pendidikan.
Apa yang menjadi keluhan dari sebagian elemen
masyarakat, khususnya masyarakat yang tergolong miskin hari ini, mereka sangat
mengahrapkan biaya pendidikan agar kedepannya tidak naik, bahkan bila perlu
diturunkan. Sebagai masyarakat tergolong miskin, yang hanya berpenghasilan
dibawah cukup tentu ingin bagaimana hasil dan jerih payah mereka selama ini
dalam bekerja juga bisa mereka pakai untuk memenuhi biaya anak-anak mereka yang
akan melanjutkan sekolahnya. sejalan dengan hal itu, mereka juga sangat
mengharapkan kebijakan pemerintah, berpihak secara tepat yaitu dimana persoalan
Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang diperuntukkan bagi siswa miskin harus
betul-betul jatuh ke pemiliknya, bukan malah jatuh ke orang-orang yang pada
dasarnya mereka kaya, atau berpenghasilan cukup.
Apa yang menjadi harapan masyarakat di atas,
penulis juga melihat bahwa realisasi BSM yang dijalankan oleh beberapa sekolah
selama ini yaitu melalui pembagian secara merata bagi siswa-siswa yang ada dari
biaya BSM pada dasarnya kurang epektif, hal ini akan melahirkan sebuah kesan
negatif terhadap kebijakan tersebut, dimana siswa yang kaya juga mengaku
miskin. Malrealisasi BSM ini sudah berjalan dibeberapa sekolah yang ada di
Propinsi Nusa Tenggara Barat. Pihak sekolah yang melakukan cara seperti ini
bertujuan agar dalam realisasi BSM tersebut tidak menimbulkan kencumburuan
sosial bagi siswa-siswanya. Penulis sendiri tidak menyebut sekolah mana, dan
dimana yang melakukan hal dengan cara semacam itu, namun masyarakat umum sangat
berharap kepada pihak Dikpora propinsi atau pun kabupaten agar supaya turun
kelapangan dalam rangka melakukan survei bagimana sesungguhnya proses realisasi
BSM yang dijalankan oleh beberapa sekolah sejauh ini.
Sejalan dengan HARDIKNAS tahun ini, elemen masyarakat
intelektual yaitu Mahasiswa sudah mengumpulkan beberpa persoalan dalam dunia
pendidikan hari ini yang kemudian mereka akan suarakan di dunia publik dan
sejumlah media masa yang ada pada tanggal yang telah ditetapkan. Hasil surve
yang dilakukan penulis selama ini bahwa rata-rata Mahasiswa akan menyuarakan
persoalan kegagalan Ujian Nasional. Salah satu komponen Mahasiswa yang
tergabung di organisasi ektra kampus yaitu PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia) cabang kota Mataram juga telah melakukan gerakan demontrasi pada
peringatan HARDIKNAS.
1 comment
mantab, tulisannya bagu bro?
Post a Comment
komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau