Thursday, June 20, 2013

0 Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekeasan



Dalam sebuah bukunya Prof. Dr. Musa Asy’arie yang bejudul Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekeasan, tentang sebuah revolusi kebudayaan dalam konteks indonesia Era reformasi terbagi menjadi enam bagian yang terdiri dari, Revolusi kebudayaan: Berpikir, RK: Agama, RK: Politik, RK: Ekonomi, RK: Pendidikan dan yang terakhir adalah revolusi kebudayaan: Hukum.

A.    RK: Berpikir,

Dalam realitas kehidupan masyarakat, ada tiga fenomena sosial dalam hubungan berpikir dengan perbuatan, yaitu;
pertama, berpikir an sich; berpikir yang tidak berkaitan dengan suatu perbuatan, seperti berpikir tentang jawaban soal-soal ujian di kelas, maka kesalahan dalam jawaban itu tidaklah criminal. Pada tahanpan ini tidak dapat dikenakan sangsi etik sama sekali.
Kedua; berpikir yang terkait dan menyatu dalam suatu perbuatan, seperti berpikir tentang suatu pencurian sebagai bagian dari tindakan seseorang untuk mencuri. Pada tahapan ini sepenuhnya berada dalam kerangka etik, sehingga dapat dikenai sangsi etik dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Ketiga; perbuatan yang tidak terkait dengan pikiran, seperti perbuatan orang gila, maka perbuatannya tidak berada dalam koridor etik dan hukum.
Etika sesungguhnya mensyaratkan adanya perbuatan yang didasarkan pada kesatuan dengan kesadaran pikiran sebagai obyeknya, sehingga berpikir dan perbuatan yang berdiri sendiri tidaklah berada dalam koridor etik dan hukum. Karena itu dalam revolusi kebudayaan, berpikir harus dibebaskan dari belenggu kekuasaan politik, kepercayaan agama, kecendrungan mitos dan klenik, untuk menjadi suatu otonom dan bebas, sehingga semuanya adalah obyek dari pikiran sendiri.

B.      RK: Agama,

Pluratias agama terjadi secara internal dan eksternal. Pluratias secara internal dikarenakan didalam satu agama saja, didalamnya banyak ditemukan aliran dan sekte keagamaan. Sedangkan pluralitas secara eksternal ada dalam kenyataan hidup masyarakat dimana terdapat berbagai macam agama. Pluralitas agama dengan sendirinya akan terjadi karena agama untuk manusia yang dalam realitasnya selalu berada dalam perubahan terus menerus, dan berakar pluralitas manusia sendiri yang tidak bisa ditolak oleh siapa pun.
Dalam revolusi kebudayaan, posisi agama menjadi amat dilematis, satu sisi dapat member legitimasi yang sangat kuat untuk mendorong dan mengawal suatu revolusi kebudayaan. Sedangkan pada sisi yang lainnya membuat revolusi kebudayaan terperangkap dalam suatu agama tertentu, yang seringkali berakibat pada penolakan adanya pliralisme agama, sehingga dapat encemari revolusi kebudayaan itu sendiri, sebagai bagian dari upaya fundamental untuk memajukan dan mengangkat martabat kemanusiaan yang unggul dan hakiki. Oleh karena itu, agama harus ditarik mundur menjadi sesuatu yang bersifat personal (private domain) dan untuk membentuk kualitas iman secara personal dalam rangka memperkuat moralitas kemanusiaan universal, yang diperlukan untuk menjaga komitmen revolusi kebudayaan agar tidak terjebak pada kepentingan politik keagamaan untuk merebut kekuasaan.

C.    RK: Politik,

Revolusi budaya harus mampu Negara upacara menjadi Negara kerja, Negara kita adalah Negara upacara, pagi, siang dan malam isinya upacara, dari upacara keupacara, sehingga patut diduga bahwa kesibukan pejabat publik dari presiden sampai lurah, baik upacara tradisional keagamaan, sejak lahir, kawin, hamil, punya anak hingga upacara kematian, maupun upaca modern seperti upacara pembukaan seminar, rapat, diskusi, symposium dll. Dari upacara itu, kehadiran penguasa bagaikan seorang bintang yang menjadi perhatian publik, ditempatkan pada posisi yang terhormat dan semua orang ingin melayani dan mendekat. Akibatnya kekuasaan membuat seseorang menjadi lupa diri, terbius, mabuk kekuasaan, sehingga pada saatnya kekuasaan itu harus dilepas dari genggamannya, maka ia merasa kehilangan segala-galanya, hidup menjadi sepi, sendiri dan mengerikan, sehingga pastaslah jika orang takut kehilangan kekuasaannya.
Revolusi kebudayaan harus mampu menata struktur kekuasaan dan politik, baik vertikal maupun horizontal, baik bidang maupun jenjang, dengan membangun system berdasarkan prisnsip yang rasional, professional dan terbuka terhadap adanya dinamika dan tuntutan adanya perubahan, sehingga struktur kekuasaan dan politik bersifat rasional dan mencerminkan keprofesionalisme untuk memecahkan masalah dan responsive terhadap tantangan perubahan.
Sejak awal kelahirannya, islam secara konsisten menolak setiap bentuk fanatisme sempit, baik berdasarkan keturunan, kelompok, kedaerahan maupun aliran keagamaan. Dalam konteks ini, pegawai negeri harus diposisikan sebagai pekerja professional, yang seharusnya mendapat gaji secara professional, dengan tugas pelayanan yang juga profesional. Karena itu, perlu dilakukan rasionalisasi dan professionalisasi terhadap pegawai negeri , sehingga mencerminkan efesiensi yang tinggi, tetapi juga bebas dari politisasi.

D.    RK: Ekonomi,

Realitas yang mencolok antar yang kaya dengan yang miskin, penguasa dengan rakyat, antara yang diatas dengan yang dibawah, antara kota dengan desa, antara pusat dan daerah telah menyuburkan kebencian dan dendam sosial yang sewaktu-waktu merebak menjadi amukan massa. Karena itu, dalam pandangan islam, pembangunan ekonomi tidak boleh hanya berpusat dan beredar pada kelompok atau golongan tertentu saja. Tetapi harus dapat menyebar, meluas dan merata berdasarkan prinsip ekonomi yang berkeadilan, sehingga tidak memunculkan kesenjangan sosial ekonomi yang makin menajam, karena akan dapat mengganggu keseimbangan hidup masyarakat itu sendiri.
Suatu ironi telah terjadi, dimana indonesia sebagai Negara agraris justru menjadi pengimpor produk-produk pertanian, sperti; beras, kedelai, bahkan gula dan buah-buahan, apalgi produk-produk non agraris pastilah lebih besar lagi. Akibatnya kita menjadi sangat tergantung pada Negara lain, belum lagi hutang indonesia yang demikian besar, pastilah semua yang kita miliki sudah tergadaikan semuanya.

E.      RK: Pendidikan,

Adalah sebuah kenaifan dunia pendidikan kita justru melestarikan budaya feodalisme dengan bentuk baru, dimana gelar akademik dilambangkan sebagai status sosial baru, makin panjang gelarnya makin hebat statusnya. Jika dahulu orang mengejar gelar kebangsawanan, maka sekarang orang mengejar gelar keilmuan, bukan karena ingin menguasai ilmunya, tetapi hanya ingin menguasai gelarnya itu sendiri. Akibatnya maraklah jual beli gelar yang diiklankan surat kabar dimana-mana secara terbuka, dimana gelar doctor cukup diperoleh dengan tiga juta rupiah sedangkan gelar professor lima juta rupiah, dan ternyata laris manis saja.
Revolusi kebudayaan adalah kata lain dari revolusi pendidikan untuk melahirkan manusia yang bekwalitas, baik iman, islam dan ihsannya, atau akidah, ilmu dan amalanya, maupun jasad, hayat dan ruhnya, karena hanya dengan terbentuknya manusia-manusia yang berkwalitas, maka dengan sendirinya akan terjaga pula pluralitas dan perubahan dalam harmoni dan keseimbangan hidup yang mencerdaskan, dan pada gilirannya akan terwujud keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat indonesia.

F.      RK: Hukum.

Desakralisasi kekuasaan membuat kekuasaan sebagai sesuatu yang relatif, temporal dan bersifat instrument belaka. Dalam kehidupan bernegara, maka kekuasaan adalah instrument kelembagaan, sehingga memungkin suatu Negara dapat memerankan dirinya secara efektif, melalui birokrasi kekuasaan yang ada. Dalam system Negara demokrasi, maka pembagian kekuasaan paling kurang diimplementasikan dalam tiga kekuasaan kelembagaan, yaitu; kekuasaan eksekutif, legeslatif dan yudikatif. Masing-masing kelembagaan itu tidak bersifat mutlak, diatanya masih ada kekuasaan yang lebih tinggi lagi, yang mengatur seluruh kehidupannya, yaitu kekuasaan hukum. Kekuasaan hukum bersifat mutkak dan menjadi landasan bagi peyelenggara kekuasaan.
Sakralisasi kekuasaan harus diakhiri dengan sakralisasi hukum, karena hukum adalam cerminan dari keadilan dan kebenaran Tuhan, dan telah menjadi sunnatullah yang perkasa, yang mengatur ketetiban, keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan alam semesta. Supreme hukum artinya taat kepada aturan Tuhan yang mendasari hukum alam, hukum akal sehat dan hukum agama, dan melandasi tegaknya moral dan etika dalam pergaulan antar sesama manusia yang makin bebudaya.





Post a Comment

komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau

Simak juga Post Sarjana Muda 45 Minggu ini

Hidup hanyalah sekedar jalan-jalan untuk menikmati kehidupan, hidup hanyalah sekedar hembusan nafas untuk melangkah menikmati jeruji Tuhan, hidup hanyalah gambaran Tuhan akan kehidupan yang lebih abadi. Oleh karena itu…, tak perlu rebut, tak perlu risau, tak perlu bingung, tak perlu galau, tak perlu merasa tertipu, tak perlu merasa bahwa hidup ini tak adil, tak perlu memberontak, tak perlu bangga, tak perlu sombong. Yang perlu kita lakukan adalah menikmati setiap proses yang ada, karena proses akan menentukan bahwa jalan-jalan dibumi yang kita lakukan sukses atau gagal. (Surga ataukah Neraka).

Data Pengunjung

Popular Posts

My Archive RLM

 

Negara Pengunjung RLM


PUTRA NTB MENULIS
SEO Stats powered by MyPagerank.Net

Statistic RLM

LOGO

LOGO
PUTRA LOMBOK MENULIS "BATUJAI"

Translate