Kemiskinan “berwayuh wajah”
Banyak disiplin mengklaim memiliki keahlian dalam bekerja dengan individu, keluarga
dan kelompok. Namun, hanya sedikit profesi yang memfokuskan pada keberfungsian
klien dalam konteks organisasi, masyarakat dan kebijakan, salah satunya adalah
Pekerjaan Sosial ( Social Work). Sebagaimana dinyatakan Netting, Kettner dan
McMurthry (2004), dalam perspektif Pekerjaan Sosial konsep
“orang-dalam-lingkungan” bukan sekadar slogan yang membuat para Pekerja Sosial
perlu menyadari pengaruh-pengaruh lingkungan. Melainkan, memberi pesan jelas
bahwa dalam kondisi tertentu perubahan sosial hanya bisa dicapai melalui
pengubahan lingkungan dan bukan pengubahan orangnya.[1]
Oleh karena itu, meskipun Pengembangan
Masyarakat (PM) seringkali didasari oleh kebutuhan dan isu-isu yang berkaitan
dengan kehidupan individu dan kelompok pada aras lokal, PM yang berkelanjutan
menekankan pentingnya strategi-strategi Kebijakan Sosial yang beroperasi
melebihi pendekatan-pendekatan individu dan kelompok.[2]
“memanusiakan manusia” adalah sebuah icon yang
tak tabu bagi kita semua, seringkali mahasiswa (intelektual muda) menyebut bahwa
memanusiakan manusia adalah salah satu tujuan luhur agar kehidupan ini damai
dan tidak ada lagi perang politik, perang saudara maupun perang antar Negara. Karena
memanusiakan manusia lebih diidentikkan dengan perubahan perilaku manusia dari
yang tidak baik menuju manusia yang baik, bohong menjadi jujur, sombong menjadi
darmawan dan lain sebagainya. Sehingga tak salah jika memanusiakan manusia
merupakan sebuah agenda mulia disisi Tuhan. Kenyataan yang kita dapatkan bahwa
semakin banyak korupsi yang terjadi dewasa ini bahkan isu pemberantasan
kemiskinan hanya sebuah dongeng tinta hitam belaka. Ataukah saat ini hal
tersebut sudah dikubur dalam-dalam dipusat bumi? Entah…
Dalam buku “Membangun Masyarakat, Memberdayakan
Rakyat” (Suharto, 2006), penulis berargumen bahwa satu tragedi dalam
kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah bahwa pendekatan yang
diterapkan seringkali terlalu terkesima oleh, untuk tidak menyatakan sangat
mengagungkan, konteks lokal. Sistem sosial yang lebih luas yang menyangkut
pembangunan sosial, Kebijakan Sosial, relasi kekuasaan, ketidakadilan jender,
ekslusifisme, pembelaan hak-hak publik, dan kesetaraan sosial seringkali kurang
mendapat perhatian.[3]
Seakan-akan
komunitas lokal merupakan entitas sosial yang
vacuum dan terpisah dari dinamika
dan pengaruh sistem sosial yang mengitarinya. Penyempitan makna pemberdayaan
masyarakat semacam ini, antara lain, bisa dilihat dari dominannya program-program
PM yang bermatra usaha ekonomi produktif berskala mikro, seperti “warungisasi”
(setiap kelompok sasaran atau warga binaan dilatih atau diberi modal agar dapat
membuka warung) atau “kambingisasi” (pemberian kambing kepada kelompok miskin
untuk dikelola secara kelompok). Edi Suharto (2006: vii) menyatakan:
Tidak ada yang salah dengan pendekatan lokalisme
seperti itu. Hanya saja, tanpa perspektif holistik yang memadukan kegiatan-kegiatan
lokal dengan analisis kelembagaan dan Kebijakan Sosial secara terintegrasi,
pendekatan pemberdayaan masyarakat bukan saja akan kurang efektif, melainkan
pula tidak akan berkelanjutan. Diibaratkan dengan analogi “ikan dan pancing”,
maka meskipun kelompok sasaran ( target group ) diberi ikan dan pancing
sekalipun, mereka tidak akan berdaya jika seandainya kolam dan sungai yang ada
di seputar mereka telah dikuasai oleh elit atau kelompok kuat.[4]
Dalam kenyataan ini, pengembangan konsep yang
dibangun oleh pemerintah dewasa pusat maupun daerah dalam mengatasi kemiskinan sesungguhnya
tidak pernah ada, bahkan konsep yang dibangun selalu menjadi permasalahan baik
dalam tataran elit sehingga terjadi korupsi bersama-sama, maupun tataran rakyat
sehingga rakyat tidak pernah bisa menikmati hasil secara maksimal. Misalnya; NTB
yang mengagung-agungkan program sejuta sapi hanya sebuah cerita dan sampai saat
ini hasil yang diinginkan yakni untuk mengurangi angka kemiskinan dan
mengurangi impor daging sapi tidak pernah dirasakan oleh masyarakat.
Namun
kenyataannya, Indonesia adalah
negara yang masih
menghadapi persoalan kesejahteran yang
serius. Ironisnya, kontribusi
negara sebagai institusi
yang seharusnya memiliki peran
penting dalam mensejahterakan warganya,
ternyata masih jauh
dari harapan. Berbagai masalah ekonomi, sosial dan politik di Indonesia
seringkali disebabkan oleh
kegagalan negara dalam
memainkan perannya dengan
baik. Seakan-akan negara tidak
pernah dirasakan kehadirannya
terutama oleh mereka
yang lemah (dhaif)
atau dilemahkan (mustadh’afin), yang miskin atau dimiskinkan.[5]
Rendahnya
komitmen dan peran negara dalam pelayanan sosial bisa dilihat, antara lain, dari
semangat pemerintah yang saat ini tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan (BHP). Pasal
2 RUU BHP
tersebut, misalnya, dengan
jelas menunjukkan “semangat dagang”
pemerintah yang membenarkan
pihak asing bersama BHP Indonesia mendirikan lembaga
pendidikan dengan modal sampai 49 persen. Tanpa sadar, pemerintah
sesungguhnya tengah mengubah
jati diri Departemen
Pendidikan Nasional menjadi Departemen Perdagangan Pendidikan Nasional
(lihat Suharto, 2007).[6]
Pertanyaan sederhana…, apakah Indonesia mampu
mengatasi kemiskinan dengan ribuan ajudan yang tersebar diseluruh penjuru Indonesia
ini?
WAIT AND SEE
Bersambung…!!!
[1]
(edi Suharto, PhD. (Disampaikan pada Seminar Nasional
“Komunikasi Pembangunan Mendukung Peningkatan SDM dalam Kerangka Pengembangan
Masyarakat”, Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (FORKAPI), IPB
Convention Center, Bogor 19 November
2009)).
[5]
edi Suharto, PhD. Disampaikan pada
Perkaderan Darul Arqom Paripurna (DAP) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Tahun 2008,
Jakarta 18 Januari 2008
Post a Comment
komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau