Sekapur
Sirih
Sebentar lagi tahun 2013 akan berlalu, cahaya
terang terus bersinar walau awan terus menyelimuti, kehidupan dunia semakin
carut marut namun kita tidak boleh berhenti berharap walau langkah kaki sudah
tak sanggup lagi berdiri. Tangisan dan penderitaan dibalik perjuangan terus
menghantui namun alangkah lebih baiknya jika langkah ke depan demi mencapai
masa depan tidak boleh diundurkan. Gagasan dan ide cemerlang harus terus
ditelurkan, konsep yang matang demi tertatanya kesejahteraan sosial harus terus
didengungkan agar perubahan dapat tercapai untuk membuat rakyat tersenyum.
Pengentasan
Kemiskinan
Berakhirnya 2013 tidak akan membuat sejarah
kemiskinan terhapuskan, pengangguran, pengamen dan anak jalanan tidak akan
pernah hilang dari pandangan dan pendengaran, namun sejatinya sebagai manusia
yang selalu penuh harapan dan do’a serta perjuangan tidak akan boleh putus
semangat, apalagi demokrasi (pesta rakyat) akan segera dimulai. Sejarah panjang
kemiskinan yang ada di Indonesia sudah terbentang dan dipandang sabagai warna
yang indah serta dipajang sebagai hiasan Negara untuk melirik Negara-negara
kaya yang lain untuk menanamkan modalnya.
Kendati demikian, masyarakat sebagai basis atau
isi dalam suatu Negara tidak boleh terus dinina-bobokkan dengan kontradiktif
kenyataan yang ada, rakyat Indonesia harus bangun dari mimpi buruk tersebut
agar cahaya kemenangan demi kesejahteraan rakyat dapat tercapai dengan
maksimal. Tirani pembantaian ahlak maupun materi secara halus dan professional
tidak boleh terjadi lagi dan hal ini akan terjadi dengan satu cacatan, rakyat
harus bangun dari mimpi buruk yang selama ini menjadi pemberian nyata oleh para
pemegang kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat walau selalu berdalih bahwa
kerja pemerintah adalah kerja untuk rakyat.
Menurut analisa saya pribadi, tingginya angka
kemiskinan terjadi akibat rendahnya lapangan pekerjaan, mahalnya biaya pendidikan
dan pembangunan yang tidak merata. Pertama;
rendahnya lapangan pekerjaan menjadi salah satu momok yang paling
menakutkan didalam hati dan pikiran masyarakat Indonesia, lapangan pekerjaan
yang selalu identik dengan uang besar menjadi penyakit yang tidak bisa
disembuhkan, karena pemerintah sudah memberikan tanda tangan dan stample kepada
masyarakat akan hal tersebut. “jika para sarjana muda ingin bekerja maka harus
menyiapkan materi untuk mendapatkan pekerjaan tersebut” padahal gelar sarjana
yang didapatkan terselesaikan dari tiga tahun setengah sampai lima tahun bahkan
tujuh tahun.
Problema kehidupan yang semakin rumit kian lama
kian mengkarat, masyarakat semakin menderita dan terus mengeluh. Dilindas dari
arah barat kemudian digiling dari arah timur sehingga tidak ada kesempatan
untuk memberikan sedikit harapan dan cerita. Mereka hanya bisa memperlihatkan
air mata basi yang tiada gunanya sama sekali dihadapan para tikus-tikus
berdasi. Bahkan dapat dikatakan bahwa kemampuan masyarakat Indonesia untuk
memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar
saja ternyata masih ketar-ketir. Dengan
kata lain, alih-alih
hidup berkecukupan, masyarakat
Indonesia masih belum bisa terbebas dari lilitan kemiskinan.
Terus, apa yang harus kita
lakukan?
Jawaban bagi anda yang tidak punya modal dan nyali adalah tidak ada
yang harus kita lakukan dan terima takdir, namun bagi orang yang punya modal
dan memegang kebijakan sudah tentu seribu cara yang harus dilakukan namun
bagaimana cara ini menjadi milik mereka seutuhnya. “Kesejahteraan not for you
(rakyat) but for me (pemegang kebijakan atau pemerintah maupun instansi)”
Pengentasan kemiskinan lewat lowongan pekerjaan
yang seluas-luasnya adalah salah satu solusi namun dengan catatan bahwa standar
dalam pemberian upah harus dijalankan dengan baik, jangan sampai terjadi hal
yang memalukan dan mencoreng muka Indonesia dengan perbudakan yang pernah
terjadi beberapa bulan yang lalu, yang sampai sekarang masih menyisakan luka
dan sakit hati terhadap kekejian yang dilakukan.
Sejauh kemerdekaan Indonesia saat ini, semakin
banyak terciptanya pengangguran-pengangguran intelektual muda, kemerdekaan
Indonesia tidak dapat menjadi cermin terbebasnya pengangguran yang semakin
menjamur. Disisi lain, akibat dari menjamurnya pengangguran-pengangguran muda
menjadikan kerusuhan-kerusuhan dimana-mana, baik yang secara diakui (demo)
maupun yang tidak diakui atau tidak dibenarkan secara hukum (perampokan,
pencurian, penjarahan bahkan menjadi teroris di Negara sendiri).
Kedua; mahalnya biaya pendidikan adalah salah satu
doktrin yang tidak bisa dihilangkan dari benak rakyat kecil, akibatnya banyak
generasi muda harus berjuang matia-matian untuk bisa sekolah bahkan harus putus
sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan. Alhasil, banyak diantara
mereka harus mengambil jalan pintas demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga
maupun dirinya sendiri, baik dengan cara menjadi seorang pengamen, buruh,
mengais sampah dan lain sebagainya. Sehingga pantas IPM di Indonesia pada tahun
2007 menduduki urutan yang ke 107 dari 177 negara dan tertinggal oleh Vietnam
yang berada diurutan yang ke 105 padahal tahun 2006 Vietnam berada diurutan
yang ke 109, (Suharto, 2007a; UNDP, 2007).
Ketiga; pembangunan yang tidak merata, sebelum
pembangunan BIL yang berada di lombok tengah, pembangunan infrastruktur jalan
bagaikan pematang sawah yang bergelombang, danau terbuat secara alami
ditengah-tengah jalan bahkan ikan bisa bertahan hidup walau hanya seminggu dua
minggu, dan masih saya ingat ketika masyarakat menanam pohon pisang ditengah
jalan, kendati demikian, pemerintah hanya berpangku tangan walau sindiran
masyarakat begitu menyakitkan. Namun berubah drastis ketika Bandara
International Lombok yang berada di Lombok tengah dibangun, jalan-jalan yang
rusak diperbaiki bahkan jalan yang tidak pernah diduga tempatnya saat ini
sedang dalam proses.
Secara prositif, hal ini menjadi sebuah
keuntungan besar bagi pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Secara
negative, masyarakat akan digeser oleh pengusaha-pengusaha besar atau
konglomerat sehingga masyarakat hanya bisa menonton dan menjadi budak didaerah
sendiri. Namun yang menjadi masalahnya adalah “apakah iya cara pemerintah untuk
membangun infrastruktur jalan seperti ini?” disaat keuntungan yang lebih besar
ada, baru melaksanakan pembangunan. Namun kembali lagi penggusuran dan
pengambilan tanah rakyat dengan penggatian modal yang rendah, alih-alih bahwa
pemerintah berhak melakukannya sesuai dengan keinginan.
Islam, Modal
Sosial dan Pengentasan Kemiskinan
Edi Suharto,
PhD[1]
Rendahnya
IPM dan problema kemiskinan masih merupakan tantangan serius yang dihadapi umat
Islam, khususnya di
Indonesia. Selain masih
rendah, IPM Indonesia
juga semakin tertinggal
oleh negara-negara tetangga di ASEAN dan
telah terkejar oleh Vietnam.
Kebijakan dan program pembangunan yang
lebih pro-poor tampaknya
harus lebih mendapat
prioritas di tahun-tahun mendatang, terutama bagi
kelompok-kelompok miskin dan rentan dalam masyarakat, seperti orang miskin dengan
kecacatan (OMDK), orang
miskin dengan HIV/AIDS
(OMDHA), dan anak-anak
yang memerlukan perlindungan khusus.
Modal sosial
memiliki kontribusi penting
dalam menopang pembangunan.
Pendekatan dalam
meningkatkan IPM dan
memerangi kemiskinan di
Indonesia tidak mesti
hanya dilakukan melalui pemberdayaan ekonomi
saja, melainkan pula
melalui penguatan modal
sosial. Skema-skema
perlindungan sosial, seperti
asuransi sosial, bantuan
sosial (social assistance), conditional cash transfer (CCT),
social safety
nets bisa dijadikan
pendekatan dalam mengentaskan
kemiskinan. Dipadukan dengan konsep Corporate Social
Responsibility dengan Community Development-nya, model-model jaminan
sosial berbasis masyarakat yang bermatra Islam bisa menjadi pilihan.
Modal
sosial yang kini sering dijadikan rujukan oleh kaum akademisi maupun praktisi
bukan hal yang baru bagi dunia
Islam. Konsep mengenai
demokrasi dan civil society
yang merupakan pilar-pilar modal sosial telah bersemi dan
mendapat tempat yang baik dalam khazanah ajaran Islam. Namun, dalam praktiknya
nilai-nilai ini tidak
berjalan begitu saja
dan mewujud dalam
perilaku keseharian umat
Islam. Pengalaman dan
praktik demokrasi dan civil
society di negara-negara
Muslim sangat berpelangi.
Merujuk
pada konteks masyarakat di Indonesia, tampaknya umat Islam memiliki modal
sosial yang cukup tinggi. Meskipun
ini tidak berarti
bahwa tidak ada
hal yang perlu
dikembangkan. Beberapa
kasus, seperti intoleransi
terhadap penganut agama ”selain” Islam
(misalnya kekerasan terhadap kelompok Lia Eden, Ahmadiyah) atau
kekurang-kompakan di kalangan umat Islam (misalnya dalam partai politik dan
penentuan Idul Fitri dan Idul Adha), menunjukkan bahwa trust di kalangan Islam
masih harus terus diperkokoh. Pendidikan kewargaan, penguatan multikulturalisme,
dan dialog lintas agama, misalnya, kiranya masih tetap relevan digelorakan.
Modal sosial
bisa dilihat dari
keterlibatan negara dalam menyediakan
pelayanan publik, terutama kesehatan dan
pendidikan. Secara umum,
data yang ada
menunjukkan bahwa perhatian
negara terhadap pendidikan dan
kesehatan masih relatif
rendah di kalangan
negara Islam, termasuk Indonesia. Ini
menunjukkan bahwa lembaga-lembaga civil society
di Indonesia dapat mengembangkan strategi advokasi kepada
negara agar memperkuat kebijakan sosial.
Ini juga
memberi pesan bahwa
dalam pengentasan kemiskinan,
peran lembaga-lembaga sosial keagaamaan (misalnya; LAZNAS, BAZIS,
Dompet Dhuafa) bisa memfokuskan pada penguatan aspek pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Program-program seperti Rumah Sakit gratis, Rumah Bersalin gratis, dan sekolah
untuk kaum dhuafa yang selama ini telah dijalankan perlu terus dikembangkan dan
diperluas baik flatforms maupun
jumlah sasaran garapannya.
Dalam
kaitan ini, perlu dibentuk atau ditunjuk lembaga khusus (baik tersendiri atau
di bawah organisasi yang telah ada, misalnya di bawah MUI) yang mampu
mengembangkan database komprehensif
yang mencakup pemberi dan
penerima zakat by
name dan by address. Database ini
harus di-updated secara periodik
dan mudah diakses oleh masyarakat luas, termasuk oleh lembaga-lembaga pengelola
zakat atau BMT-BMT di seluruh pelosok negeri. Informasi dalam database ini
diperlukan bukan hanya untuk
memetakan dan memobilisasi
sumber-sumber umat saja,
melainkan pula untuk
memonitor dan mengevaluasi perkembangan
hidup orang miskin
dan menangkal mitos-mitos
yang kerap menerpa mereka
yang pada gilirannya
”mengkambinghitamkan”
program-program pemberdayaan
orang miskin.
Berdasarkan
penelitian terhadap skema AFDC (Aids for
Families with Dependent Children) yang kini berganti nama menjadi TANF (Temporary Assistance for Needy Families)
di AS, Suharto (2007: 262- 264) menunjukkan bahwa orang miskin bukan saja
sering menerima stigma sebagai orang malas, tergantung, penipu dan seterusnya.
Melainkan pula, program-program pelayanan sosial bagi mereka – meskipun
merupakan haknya, kerap dikritik berdasarkan generalisasi yang tidak berdasar
(mitos).
Sedikitnya ada
12 mitos yang
menerpa AFDC yang
setelah diteliti secara
saksama ternyata tidak terbukti.[2]
Para pengelola dana umat perlu belajar
dari ”bad practices” ini. Selain itu,
perlu pula dipikirkan kemungkinan perumusan standar kompetensi pengelola dana
umat. Selama ini audit
secara ekonomi telah
banyak dilakukan terhadap
lembaganya. Namun, standar kompetensi para pekerja sosial yang
memiliki pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai profesional tampaknya masih
belum disertifikasi secara nasional. Hal ini cukup penting, mengingat
akuntabilitas pengelolaan dana umat bukan saja diukur dari aspek efisiensi dan
transparansinya saja. Melainkan pula, sejauh mana dana tersebut benar-benar
menyentuh kebutuhan, hak dan keberdayaan umat.
[1]
Penulis buku: (a) Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah
dan Kebijakan Sosial (Bandung: Alfabeta 2005 cetakan ketiga); (b) Membangun Masyarakat
Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis embangunan Kesejahteraan Sosial dan
Pekerjaan Sosial (Bandung: Refika Aditama 2006 cetakan kedua); (c) Pekerjaan
Sosial di Dunia Industri: Memperkuat Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate
Social Responsibility) (Bandung: Refika Aditama 2007); (d) Kebijakan Sosial
sebagai Kebijakan Publik: Peran Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan
Sosial dalam Mewujudkan Negara Kesejahteraan di Indonesia (Bandung: Alfabeta 2007). Website:
www.policy.hu/suharto Email: suharto@policy.hu
[2] Mitos-mitos itu antara lain: (a) orang miskin
penerima AFDC adalah penipu dan pembohong. Setelah dilakukan survey nasional,
ternyata kasus benefits fraud sangat rendah. Hanya kurang dari 1% kasus
benefits fraud mengarah pada penipuan. Selebihnya diakibatkan oleh lemahnya
sistem targeting dan rumitnya administrasi; (b) Bantuan AFDC cenderung membuat
orang miskin malas bekerja, karena ”kenapa harus bekerja jika bantuan ini dapat
menghidupi mereka.” Faktanya, di banyak negara bagian AS, jumlah bantuan di
bawah standar/garis kemiskinan; dan tidak akan cukup menghidupi mereka tanpa
tambahan dari penghasilan lain; (c) AFDC cenderung membuat penerima bantuan
tergantung selamanya pada bantuan itu. Faktanya, pada awal tahun 1990an, hanya
10% keluarga penerima AFDC menjadi beneficiaries untuk jangka 10 tahun atau
lebih. Setengah dari jumlah total penerima bantuan telah menerima AFDC selama
20 bulan dan dua pertiga lainnya menerima
bantuan kurang dari 3
tahun.
Post a Comment
komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau