Sekapur
Sirih
Masyarakat sasak merupakan
masyarakat yang memiliki banyak warna, tidak hanya dari sisi budaya, melainkan
dari sisi bahasa mewarnai kehidupan sehari-hari. Perbedaan budaya dan bahasa
serta yang lainnya menjadi bentuk keberagaman yang bernilai tinggi dan tidak
bisa ditawar dengan mata uang. Namun kehadiran dunia modern sebagai bentuk
tawaran yang lebih baik serta professional telah merubah berbagai sisi
keberagaman yang ada. Mengutip bahasa Ishak Harianto dalam tulisannya (Etika
Kultural Masyarakat Sasak) yang dipublikasikan di berugaqinstitute.blogspot.com
bahwa redup merupakan jawaban yang pas bagi keberagaman masyarakat sasak
terhadap tawaran dunia modern saat ini. Keberagaman telah berengkarnasi dalam
bentuk yang baru sesuai dengan terjemahan segelintir orang dalam memandang masa
depan. Keberagaman tidak menjadi nilai jual yang tinggi seutuhnya melainkan
menjadi nilai jual yang bisa diandalkan dalam menyambung nyawa dan mengangkat
harkat dan martabat.
A.
Keberagaman Masyarakat Sasak
Berbicara
masalah keberagaman masyarakat sasak sebagai warna kehidupan nyata yang bisa
dilihat dewasa ini tidak terlepas dari berbagai macam pengaruh situasi dan
kondisi beberapa puluhan tahun yang lalu. sebelum datangnya belanda untuk mengusir
penjajahan bali, sampai pada pembebasan sasak sebagai masyarakat yang tertindas
dari penjajahan belanda. Atau bahkan sebelum adanya tuan guru sampai tuan guru
memiliki peranan penting dalam agama dan perpolitikan masyarakat sasak. namun,
dalam tulisan ini, penulis tidak akan membahas mengenai persoalan awal ini,
akan tetapi penulis akan mencoba melihat keberagaman yang ditawarkan oleh dunia
modern dewasa ini. Yang mana, keberagaman merupakan produk yang ditawarkan
secara menyeluruh dalam menerima kehadiran dunia modern sebagai dunia baru
dalam menjalani kehidupan. Dalam hal ini, ada beberapa keberagaman yang penulis
coba analisa sesuai dengan tawaran dunia modern, yang pada dasarnya bukan
sesuatu yang baru.
1.
Keberagaman Aturan
Perubahan
sebagai bentuk pandangan baru dihadapan semua orang, tentu saja hal ini akan
melahirkan paradigma baru. Pengertian baru sebagai bentuk keuntungan menjadi
bagian yang lazim dan resolusi yang dicanangkan dalam menggapai kondisi
kehidupan yang lebih baik. Halal dan haram, baik dan buruk menjadi dua sisi
yang selalu bertarung diberbagai sisi kehidupan. Halal menjadi haram, haram
menjadi halal dan baik menjadi buruk, buruk menjadi baik selalu di-klasik-kan
untuk menyembunyikan kebenaran, kemudian aturanlah yang menjadi pembela
kebenaran dan kebohongan dalam sistem kehidupan saat ini. Manusia hanyalah
pembuat dan pelaku aturan yang terkadang mengorbankan kehidupan sosial dan
keadilan. Dan kemiskinanlah yang menjadi kambing-hitam dari tawaran dunia
modern tentang aturan.
Melirik tentang
keberagaman, aturan adalah contoh paling nyata dalam kehidupan manusia, di mana
begitu banyak aturan yang dihadapkan kepada manusia yang dibuat oleh manusia
sendiri. Aturan pemerintah, agama, adat istiadat, dunia kerja dan yang lainnya,
yang melahirkan beribu keturunan aturan dari setiap induk yang ada dan induk
utama dari semua ini adalah dunia modern. Jilbab misalnya, jika keberagaman
bukan dilahirkan dari dunai modern, maka pelarang jibab dalam aturan PT Tiara
Mall beberapa minggu yang lalu tidak akan pernah terjadi. Walau pada dasarnya
dunia modern menawarkan keberagaman, tetapi para pelaku terkadang menerjemahkan
keberagaman sebagai bentuk keuntungan tersendiri dalam membentuk kekuasaan.
Sehingga aturan akan terbentuk sebagai wujud dan manisvestasi dari kepentingan.
Aturan dalam
dunia kerja modern dewasa ini sudah tidak menghargai keberagaman yang ada,
mulai dari wajah, kulit, tinggi badan, penampilan, dan lainnya. Ketika tinggi
badan, wajah yang cantik, kulit yang putih dan bersih, penampilan yang menarik
dijadikan sebagai tolak ukur yang tinggi, maka yang tidak sesuai dengan aturan
tersebut menjadi termarjinalkan secara professional, dan sayangnya pada kasus dunia
kerja moder tidak membahas akan hal tersebut, seperti isu pelarangan jilbab
pada kasus Tiara Mall yang ada di Lombok beberapa minggu yang lalu. Di mana
hanya membesar-besarkan pelarangan jilbab, tapi pada konteks diskriminasi yang
lain tidak pernah dibahas. Lalu, apakah ini yang dinamakan keberagaman dalam
masyarakat? apakah keberagaman hanya dipahami dalam konteks agama, suku ataupun
yang lainnya.
Dengan
demikian, keberagaman dalam konteks aturan yang dihadapkan pada masyarakat
sasak dari berbagai sisi, kemiskinan yang dijadikan sebagai alasan empuk dalam
membuat berbagai macam hiasan untuk rakyat miskin, kemudian dijadikan sebagai
kebutuhan utama dan dibuat untuk ketergantungan. Padahal kemiskinan tidak bisa
dijadikan sebagai ukuran utama dalam membuat kebijakan, sedangkan kemiskinan memiliki
berbagai bentuk nyata sebagai penyebab kompleks. Budaya patriarki, kekurangan
modal sosial, kesadaran, ketahanan mental masyarakat, kreativitas merupakan
deretan penyakit yang pernah digambarkan oleh Prof. Muhammad Yunus ketika
melihat kemiskinan yang melanda masyarakat Bangladesh. Sehingga semua ini perlu
didevinisikan untuk menjawab keberagaman penyakit yang menjangkit masyarakat
kelas bawah (masyarakat miskin).
2.
Keberagaman Bahasa
“lain
gerupuk lain jaje, lain gubuk lain bahase” merupakan ungkapan yang
tak tabu bagi masyarakat sasak, sebuah ungkapan yang memiliki makna akan
banyaknya bahasa yang dimiliki. Sesama Lombok tengah misalnya, begitu banyak
logat bahasa yang digunakan dan ini merupakan bentuk keragaman bahasa yang patut
dihormati dan dihargai sebagai warna dalam kehidupan sehari-hari karena bahasa
mengajarkan berbagai macam makna dalam menjalani kehidupan.
Tawaran dunia
modern sebagai dunia yang lebih baik terhadap masyarakat sasak dan masyarakat
lainnya merupakan salah satu yang tidak bisa dihindari. Tawaran dunia modern
telah melamahkan berbagai bentuk komitmen dalam menjaga berbagai macam
keberagaman yang ada. Bahasa adalah salah satu dari sekian keberagaman yang
tergiur akan tawaran dunia modern. Bahasa sasak sebagai bahasa resmi sudah
mulai ditinggalkan oleh sebagian besar masyarakat, bahasa Indonesia dan bahasa
tetangga (bahasa Negara maju dan berkembang) giat dipelajari sebagai bentuk
penyelamatan hidup (masa depan). Generasi yang lahir diatas tahun 2000-an telah
mulai dan akan berbahasa nasional dan internasional dalam menunjang karir atau
masa depan.
Ketika
persoalannya demikian, bagaimana seharunya kita memaknai keberagaman? Apakah
sebagai keutuhan ataukah sebagai jawaban yang kita persembahkan kepada dunia
modern?
3.
Keberagaman Budaya
Dan bagaimana
dengan budaya turun temurun yang dijalankan oleh masyarakat sasak selama ini,
apakah kebaragama budaya yang dimiliki telah diciderai oleh dunia modern?
Jawabannya adalah ya.
Mari kita
perhatikan kondisi baru tentang makam loang balok, sebuah kondisi dengan
keberagaman baru yang kelihatan akur dari berbagai sisi. Keakuran ini bak
pasangan sejoli yang bersumpah untuk sehidup semati, namun dihadapkan dengan
berbagai persoalan yang menantang dan rumit, tetapi dapat bertahan sampai ajal
menjemput. Atau bagaimana budaya pra-senggigi dengan pasca-senggigi yang
diwarnai dengan berbagai bentuk keragaman yang ada. Yang pada dasarnya keakuran
yang ada telah menenggelamkan keragaman lokal. Akan tetapi perselingkungan keberagaman
demikian tidak berdampak signifikan terhadap nila-nilai tradisional karena keberagaman
seperti ini bersuara atas nama kesejahteraan sosial yang meluluhkan hati
masyarakat.
4.
Keberagaman Sosial
Kehidupan
sosial yang terbangun tanpa tembok pemisah (filter) adalah salah satu
identitas masyarakat sasak, masyarakat hidup dengan nilai-nilai tradisional
tanpa mengenal sifat individualisme seperti yang ditawarkan dunia modern saat
ini. Kehidupan sosial masyarakat sasak yang menggambarkan keberagaman tanpa
tendensi apapun telah lama mengakar dan membentuk hubungan sosial yang tinggi,
gotong royong dengan konsep solidaritas mekanis masyarakat sasak patut untuk
dilindungi dan dijaga kelestariannya sebagai upaya menjaga keberagaman lokal
masyarakat sasak. Dan kesejahteraan sosial yang dijadikan sebagai senjata utama
dunia modern telah tercapai dan akan semakin terwujud ketika masyarakat makin
bergantung pada keadilan dan kesejahteraan yang dibawa dan ditawarkan oleh
dunia modern.
Kehadiran dunia
modern yang dilengkapi dengan canggihnya tekhnologi komunikasi membawa
keberagaman sosial yang semakin kompleks, tidak melepas dan melewatkan
sedikitpun situasi dan kondisi masyarakat, keberagaman yang satu melahirkan
keberagaman yang lain. Bahkan meciptakan keberagaman yang lebih spesifik
(individu) yang tak dapat dielakkan oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan hukum
alam tentang regenerasi manusia, seperti halnya yang dijelaskan oleh Alvin
Toffler tentang masyarakat selalu menciptakan kondisi baru yang memberikan
amanah pada generasi baru tentang perubahan yang akan mereka lalui, sedangkan
perubahan yang dijalani dijadikan bahan awal untuk memberikan pemahaman kepada
generasi berikutnya. Sehingga keberagaman dewasa ini merupakan awal dari
kebergaman baru yang akan diciptakan oleh generasi berikutnya. Sama halnya
dengan keberagaman yang dijalankan oleh masyarakat zaman dahulu, yang dirubah
oleh masyarakat dewasa ini.
Dengan
demikian, percaya atau tidak ini merupakan perbincangan pada masa Thomas Kuhn
ketika memulai berbicara masalah paradigma yang mengancam paradigma lama, dan
hal tersebut mejadi salah satu sumbangsih pemikiran terbesar dan dijalankan
sampai saat ini, mulai dari tukang becak sampai tukang politik. Bahwa mereka
dituntut untuk menciptakan kreasi baru demi bertahan hidup, karna kreasi lama
akan tergilas dan tidak berjalan berkelindan dengan tantangan hidup dewasa ini,
begitu juga seterusnya sampai pada puncak akhir dunia (kiamat).
Dunia kesehatan
misalnya, semua orang percaya bahwa pengobatan tradisional dengan pengobatan
zaman sekarang sangat jauh berbeda. Dokter, bidan dan lainnya yang diciptakan
oleh perguruan tinggi telah membawa perubahan dengan label “empiris” dengan
doktrin “penyakit modern harus diatasi dan disembuhkan dengan gaya modern”.
Selain itu, dunia pendidikan telah mengajarkan sejarah merupakan sesuatu yang
harus dikenang dan menjadi pelajaran untuk memulai memahami hal-hal baru
tentang dunia pendidikan, berbicara tentang masa lampau adalah sesuatu yang expired.
Sehingga, yang berlalu biarkanlah berlalu, dan menciptakan dunia baru.
Penulis saat
ini sedikit memahami dan menyadari bahwa keberagaman sosial yang ada, di mana
keberagaman merupakan bagian dari warna yang indah seperti pelangi harus
dijunjung tinggi tanpa mendeskriditkan apapun merupakan sebuah kenyataan yang
berbanding terbalik. Bagi penulis keberagaman tidak hanya dipandang dari agama,
budaya, bahasa dan yang lainnya, namun apapun yang bentuknya berbeda dari
setiap manusia, hewan dan tumbuhan merupakan sebuah keberagaman yang perlu
diterjemahkan secara utuh tanpa melihat apa, siapa, bagaimana, mengapa, kapan
dan dimana. Sehingga menemukan keberagaman yang nyata.
B.
Toleransi dalam Kehidupan Masyarakat Sasak
Berbicara
masalah toleransi, maka penting kiranya bertanya tentang apa yang dimaksud
dengan toleransi dalam masyarakat sasak dewasa ini? Apakah toleransi hanya
dimaknai sekedar saling menghargai dan menghormati satu sama lain, atau
tolerasi dijadikan sebagai topeng dalam menitipkan berbagai tujuan dan
kepentingan pribadi. Pasalanya, memahami toleransi yang ada, tidak bisa
dipandang dari sudut pradigma masyarakat sasak saat ini saja, karena setiap
perubahan waktu membawa pengertian yang berbeda, dari generasi satu ke generasi
berikutnya atau dari tradisional ke modern. Masyarakat sasak saat ini misalnya,
dihadapkan dengan berbagai macam toleransi, dimulai dari tata krama atau sopan
santun sampai pada tataran politik (tiang-enggih “bahasa halus
masyarakat sasak” s/d peperangan kekuasaan yang terkadang melahirkan kematian).
Kematian tidak hanya diartikan sebagai hilangnya nyawa seseorang, namun karir
atau masa depan merupakan bentuk dari kematian yang diakibatkan oleh politik.
Tiang-enggih merupakan bahasa halus yang digunakan oleh
masyarakat sasak sebagai bentuk rasa hormat kepada yang lebih tua atau dewasa.
Penggunaan tiang-enggih tidak hanya diperuntukkan untuk kamu bangsawan, akan
tetapi pada hakekatnya bahasa tiang-enggih diajarkan kepada generasi
dalam menggunakan bahasa yang sopan, baik dalam ruang lingkup keluarga maupun
secara sosial. Tetapi pengajaran bahasa tiang-enggih oleh orang tua
kepada generasi tidak diajarkan secara keseluruhan oleh masyarakat sasak, hanya
beberapa kalangan masyarakat sasak yang mengajarkan generasinya untuk
menggunakan bahasa tiang-enggih sebagai bentuk kesopanan dalam
berbicara. Ada dua variasi dalam pengucapan tiang-enggih dalam tataran
masyarakat sasak. Pertama, di Desa Batujai, pengucapan tiang-enggih diperuntukkan
kepada kaum bangsawan sebagai bentuk rasa hormat, tidak menegaskan kepada
pengucapan yang menyeluruh. Kedua, di Desa Sakra Dusun muntung tengak,
pengucapan tiang-enggih menegaskan makna secara menyeluruh. Sedangkan banyak
desa-desa yang ada di Lombok tidak mengajarkan kepada generasi dalam
menggunakan bahasa tiang-enggih sebagai bahasa sopan santun.
Dari segi ini,
tentu saja bahasa akan melahirkan karekter yang berbeda-beda antra masyarakat
yang satu dengan masyarakat yang lainnya. penggunaan bahasa tiang-enggih
tidak bisa digeneralisasikan dan diharapkan sebagai bahasa yang halus dalam
komunikasi sosial (social communication) pada masyarakat sasak.
Misalnya: ketika kaum bangsawan yang selalu mendengar ucapan (tiang-enggih)
dari kalangan non-bangsawan akan merasa dihormati dan dihargai, namun ketika
ucapan itu tidak lagi didengar, maka rasa hormat dan dihargai tidak lagi
menjadi tolak ukur sebagai kaum bangsawan. Karena pengakuan yang diakui sebagi
bentuk keberagaman atau bentuk perbedaan akan hilang secara perlahan bilamana
rasa dihormati dan dihargai menjadi bentuk akhir keinginan. Begitu juga dengan
orang tua yang ucapannya tidak lagi disambut dengan tiang-enggih sebagai
rasa hormat, tidak akan melunturkan identitasnya sebagai orang tua.
Kata “kamu”
dalam penggunaan bahasa Indonesia, bagi masyarakat jawa dan lainnya tidak
memiliki makna yang negatif, karena kata “kamu” meruapakan penggunaan bahasa
sesuai dengan EYD. Tetapi, bagi sebagian besar masyarakat sasak, penggunaan kata
“kamu” dapat memiliki makna yang negatif, karena pengucapan “kamu” tidak pantas
diucapkan kepada orang yang lebih dewasa. Bahasa yang sederhana ini menunjukkan
identitas penting bagi masyarakat sasak, yang menganggap bahwa bahasa memiliki
efek kuat terhadap status dan yang lainnya. Bagi menurut penulis, toleransi
dalam penggunaan bahasa adalah bentuk rasa hormat dan saling menghargai
terhadap budaya, aturan dan norma-norma sosial yang terbangun sejak dahulu.
Tidak seperti tawaran “dunia modern” tentang toleransi dalam aturan, budaya,
bahasa, sosial dan lainnya yang memiliki berbagai macam terjemahan sehingga
memudahkan seseorang berkembang dengan lebih cepat.
Toleransi
sebagai asumsi dasar dalam menilai keberagaman dalam masyarakat, terkadang
tidak bisa dijadikan ukuran dalam menentukan tindakan apabila toleransi
dipadukan dan diselaraskan dengan tawaran dunia modern. Karena toleransi agama,
adat istiadat, sifat manusia, aturan maupun yang lainnya merupakan suatu bentuk
keberagaman yang diterjemahkan secara modern sesuai dengan tuntutan perubahan
zaman. Misalnya: ketika PT Tiara Mall sebagai pembuka lapangan pekerjaan
memiliki aturan managemen sebagai wujud keberlangsungan, maka penting kiranya
masyarakat memahami bahwa hal tersebut benar dan tidak bisa didemonstrasikan
dengan tidak menerima aturan tersebut, baik secara lisan maupun tertulis.
Karena pada dasarnya, apapun bentuk aturan demi keberlangsungan, segogyanya
harus dihormati dan dihargai sebagai bentuk rasa toleransi sesama pencari
nafkah. Pasalnya, toleransi tidak menuntut masyarakat untuk bertindak
kontradiktif dengan tawaran dunia modern. Tetapi, perlu disadari secara untuh
tentang bagaimana bersikap toleransi yang tidak menyakiti satu sama lain, baik
aturan dengan objek aturan, PT Tiara Mall dengan masyarakat, maupun pemerintah
sebagai pemangku kebijakan dalam mempertahankan nilai-nilai toleransi.
Dengan demikian, apakah semua pihak tidak
menciderai nilai-nilai toleransi? Pemerintah, masyarakat maupun PT Tiara Mall
pada dasarnya sudah menciderai toleransi dengan sudut pandang yang berbeda.
C.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesejahteraan
perlu diterjemahkan secara universal, tidak hanya pada konteks kemiskinan
sebagai acuan dalam membangun dunia yang lebih baik. Namun, kesejahteraan perlu
membicarakan dan mendiskusikan tentang tujuan yang ditawarkan oleh dunia modern
dalam bentuk apapun. Begitu juga dengan toleransi dan keberagaman, tidak hanya
perbedaan-perbedaan yang dipahami selama ini sebagai bentuk keberagaman,
melainkan ditawarkan sebuah makna dan pengertian yang sesuai dengan tawaran
dunia modern saat ini guna memahami dan mengiringi tujuan besar dunia modern.
Dan tidak hanya dalam konteks ini, namun konteks-konteks yang lain pun perlu
kiranya diberikan jawaban untuk dipresentasikan pada dunia modern.
Ada satu pertanyaan
penulis yang belum penulis pahami jawabannya, yakni: apa manfaat sesungguhnya
toleransi dan keberagaman dalam konteks “tawaran modern” yang diracik dengan
berbagaimacam bumbu menarik oleh manusia? Jika hanya sekedar saling menghargai
dan menghormati antar sesama, maka dunia pendidikan telah menjawabnya: jawaban
tersebut sudah expired (basi). Pasalnya, penulis merasa bahwa ada penghalang
yang kuat antara toleransi dan keberagaman dengan sistem kenegaraan (UU,
pancasila, cita-cita luhur para pejuang kemerdekaan indonesia dan lainnya).
serta bagaimana para koruptor, premanisme birokrasi, ketidakjujuran diberbagai
sisi yang dilakukan oleh orang-orang yang memahami dunia modern dan kemandulan
aturan memandang toleransi dan keberagaman. Tidak jelaskan saling menghargai
dan menghormati sebagai bentuk memahami keberagaman yang ada.