Sumber Gambar; antaranews.com
saat ini, lebih dari 38 juta atau 23% dari
penduduk indonesia hidup dibawah garis kemiskinan dan 12,7 juta diantaranya
adalah fakir miskin (Republika, 5 mei 2003). Selain kemiskinan, indonesia juga
masih dililit problema pengangguran yang mencapai 38,3 juta jiwa angkatan
kerja. Sebanyak 30,2 juta jiwa diantaranya adalah pengangguran terbuka yang
mencapai 78,85% (Republika, 21 agustus 2003). Haryanto (12 Tahun), seorang
murid SD di kabupaten Garut menggantung diri karena malu tidak mampu membayar
Rp. 2.500 untuk kegiatan ekstrakurikuler. Ayahnya adalah buruh pikul di pasal
Garut yang penghasilannya sehari Rp. 20.000 (Media Indonesia, 3 september 2003).[1]
Gambaran makro dan mikro di atas menunjukkan masih
banyaknya penduduk di Indonesia yang hidup serba kekurangan. Pendidikan,
sebagai salah satu kebutuhan dasar dan vital juga masih atau bahkan semakin
sulit dijangkau oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Itu artinya, betapa
buramnya potret pembangunan sosial di Indonesia. Memang benar, pembangunan
sosial adalah tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Namun, bila
kita cermati praktik di Negara lain, Negara maju maupun berkembang, pemerintah
mengemban amanat yang besar untuk mengalokasikan dananya bagi sektor sosial
secara lebih proporsional.[2]
Sedangkan, pada tahun 2013, Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September
2013 mencapai 28,55 juta orang (11,47 persen) atau meningkat 0,48 juta orang
dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2013 tercatat 28,07 juta orang
(11,37 persen). Perinciannya, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik
sebanyak 0,30 juta orang dari 10,33 juta orang pada Maret 2013 menjadi 10,63
juta orang pada September 2013. Sementara, di daerah perdesaan naik sebanyak
0,18 juta orang (17,74 juta orang pada Maret 2013 menjadi 17,92 juta orang pada
September 2013). Selama periode Maret-September 2013, prosentase penduduk
miskin di daerah perkotaan pada Maret 2013 sebesar 8,39 persen atau naik
menjadi 8,52 persen pada September 2013. Sementara, prosentase penduduk miskin
di daerah perdesaan meningkat dari 14,32 persen pada Maret 2013 menjadi 14,42
persen pada September 2013. (Republika Online, 3 Januari 2014).[3]
Keterbatasan dana sudah tidak memadai lagi untuk
dijadikan sebagai alasan ketertinggalan ini. Dengan komitmen dan pengaturan
yang baik, pemerintah di negara-negara berkembang sesunggunya sudah mampu untuk
meningkatkan anggarannya lebih besar lagi bagi pembangunan sosial. Persoalannya
kerapkali terletak pada mis-alokasi dan mis-manajemen aggaran pembangunan. Seperti
yang dilaporkan banyak media massa, anggaran belanja pemerintah pusat maupun
daerah seringkali tidak mengedepankan kepentingan rakyat banyak (lihat Utomo,
2003a). pada KTT ASEAN di Bali 7-8 Oktober, 2003, pemerintah berencana
menyediakan mobil BMW seri 7 untuk para kepala negara dan seri 5 untuk pejabat
setingkat menteri. Jumlah kepada negara yang akan diundang (berikut negara
tamu; China, Jepang, Korea, dan India) adalah sebanyak 14 orang. Apabila setiap
negara membawa dua materi, maka akan hadir 28 materi. Harga BMW yang termurah (735Li)
adalah Rp. 1,88 M. sedangkan harga termurah BMW seri 5 (tipe 530) adalah Rp. 815
juta. Dengan demikian, dana yang diperlukan untuk kendaraan kepala negara
adalah Rp. 26,32 M dan dana untuk para menteri sebesar Rp. 22,82 M.[4]
Prodi mobil mewah dan kamuflase kemiskinan gaya
ode Mega ini tampaknya diwariskan dari orde sebelumnya: orde Gus Dur maupun
orde baru. Pada KTT G-15 (negara-negara yang terbilang miskin) pemerintah Gus
Dur menyediakan 50 mebil mewah (dari rencana sebelumnya 400 unit). Mercedes Benz
seri S-500, S-600, ML-320, Audi A-6, Nissan Patrol, dan VW Caravella adalah
beberapa merk yang disediakan untuk para delegasi. Untuk para kepala ekonomi
negara-negara APEC pada pertemuan di Istana Bogor tahun 1994, pemerintah
Soeharto mengimpor 200 mobil mewah, seperti; Mercedes Benz seri S-600 dan BMW
740. Sebelumnya, pada KTT ke-10 Nonblok tahun 1992, pemerintah Soeharto juga
mengimpor mobil luks built up seperti
Mercedes Benz 300 SEL (110 unit), Volvo 960 (210 Unit), Nissan Patrol (210 unit),
dan VW Caravelle (210 unit) untuk para delegasi.[5]
Conscious cruelty
pemerintah daerah ternyata sami mawon. Dana rakyat tidak jarang
digunakan oleh eksekutif dan legeslatif dengan semena-mena untuk ‘kebutuhan
dinas’, seperti rumah dinas, mobil dinas, baju dinas atau paket-paket ‘kadeudeuh’ lainya diluar kewajaran. Di DKI
Jakarta, misalnya; anggaran baju dinas untuk 85 anggota DPRD adalah sebesar Rp.
1,04 M dan untuk Gubernur sebesar Rp. 65 juta. Anggaran ini ternyata masih
kurang, untuk anggaran berikutnya, anggaran ini diminta lagi sebesar Rp. 434,7
juta. Ketidakwajaran anggaran ini tidak hanya dijakarta. DPRD Riau juga
menganggarkan Rp. 850 juta untuk anggotanya yang berjumlah 55 orang (Utomo,
2003b).[6]
BAGAIMANAKAH
TAHUN INI, DAN TAHUN SELANJUTNYA DENGAN PRESIDEN BARU BESOKNYA…? WAIT AND SEE…!!!
[1] Edi Suharto. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis
Mengkaji masalah dan Kebijakan Sosial. (Bandung: ALFABETA, 2010) cetakan
kelima. hal. 27
[2] Ibid. hal. 27
[3] http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/01/03/mysfdt-jumlah-penduduk-miskin-indonesia-bertambah.
diakses pada tanggal, 19 Februari 2014.
[4] Edi Suharto. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis
Mengkaji masalah dan Kebijakan Sosial…, hal. 28
[5] Ibid. hal. 28
[6] Edi Suharto. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis
Mengkaji masalah dan Kebijakan Sosial…, hal. 28
Post a Comment
komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau