Sumber Gambar: haryono-id.blogspot.com
Menjadi dilema ketika masyarakat sebagai penentu
adanya penghuni kursi, dilema tersebut membawa masyarakat tergerus sebagai
perusak demokrasi, namun jika tidak dilakukan “rugi” dan dilakukan juga “rugi”.
Karena masalah utamanya adalah ketidakmampuan calon dalam bertarung secara ‘jantan’
dan tergerus akan kondisi money politik. terdapat dua paradigma yang megembang
dalam kancah demokrasi khususnya dalam pemilihan Presiden, DPR, Gubernur,
walikota maupun yang lainnya selama ini. Dua paradigma tersebut berkaitan erat
dengan nilai amanah yang dilanggar bersama dan menjadi beban rakyat dalam
memandang bersih atau tidaknya pemegang kebijakan, karena selama ini kita
ketahui bahwa kasus korupsi menjadi bagian yang penting dalam melihat penomena-penomena
rakyat yang terjerat dalam kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kasus korupsi semakin meningkat, kemiskinan pun semakin naik ke level yang
lebih tinggi.
Pemilihan yang selama ini dikatakan demokrasi,
ternyata selalu mengandung unsur-unsur sogokan demi mendapatkan atau meraih
kursi, baik sogokan terhadap pemain-pemain rakus yang memiliki semangat kuat
dalam memenangkan pemberi sogokan (calon), maupun pemberian secara langsung
kepada rakyat melalui serangan pajar (money politk). Dengan kata lain, ada yang
mengajari dan ada yang diajari (subjek-objek). Rakyat (objek) merasa memiliki
keuntungan sedangkan calon (subjek) merasa menang karena telah mampu membodohi
rakyat.
a. Diajari ataukah Mengajari
Dua paradigma yang saya maksud adalah kebiasaan dan
dampak dari kebiasaan. Kebiasaan dalam menyogok yang selama ini menjalar pada
saat pemilihan telah ditunggu-tunggu oleh rakyat, apalagi para pemain (tim
sukses) yang pandai memanfaatkan situasi dan kondisi. Mereka berani menjual
suara demi tercapainya hasrat dan pandangan benar (kemenangan) dimata calon
yang diusung, padahal tidak selamanya serangan pajar berhasil menggaet tangan
masyarakat untuk memberikan suaranya. Kendati demikian, serangan pajar terus dilestarikan
sebagai bentuk budaya pemilihan demi menggapai kemenangan, dengan penomena inilah
demokrasi tercoreng dan tidak menjadi pembelajaran produktif lagi. Siapa yang
mencoreng dan siapa yang mengamini itu adalah tanggungjawab bersama untuk
meretasnya demi kembalinya demokrasi yang sejati.
Demokrasi pada dasarnya adalah sebuah wujud
kepedulian untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya, berkarir seluas-luasnya
dalam memberikan jawaban kepada diri sendiri terhadap amanah yang diberikan
oleh Tuhan, yakni ‘manusia sebagai pemimpin’. Wujud kepedulian tersebut termuat
pada demokrasi yang menginginkan pemimpin memiliki wibawa, akhlaq yang baik,
kepedulian atau sifat kemanusiaan, rendah hati, dan cerdas, serta bijaksana
dalam berbuat maupun berkata. Dengan demikian pemimpin tidak akan pernah
memberikan contoh yang buruk kepada yang dipimpinnya. Karena hal tersebut akan
bertentangan dengan jati dirinya sebagai seorang pemimpin.
Sebelum
berangkat menuju dampak dari kebiasaan, Mari kita simak perbincangan sederhana
ini antara bawang merah dengan bawang putih;
Bawang merah :
saya yakin bahwa dengan adanya pemilihan ini, kita akan mendapatkan banyak
keuntungan, dari beberapa calon yang kemarin datang didesa kita.
Bawang putih : keuntungan apa
bro? memang sudah ada calon yang memberikan uang ya?
Bawang merah : belom sih bro.
tapi selama ini, saya selalu dapat keuntungan dari calon-calon yang kampaye.
Siapa yang gak suka dengan uang. Toh…, mereka juga dapat dari hasil korupsi
atau dikasih sama perusahaan.
Bawang putih : iya sih bro.
tapi kok selama ini, saya tidak pernah dapat ya?
Bawang merah : kamu sih bodoh.
Makanya kalau ada calon yang datang ke desa kita ini, jangan sampai gak hadir,
biar dihitung dan lihat oleh calon. Setelah dihitung, tinggal pengawal atau tim
suksesnya yang akan membagi-bagikan pada kita.
Bawang putih : ooh…, begitu
ya. Besok dah saya datang. Soalnya saya tidak punya uang untuk membeli beras
sama obat untuk anak saya yang lagi sakit.
Bawang merah : kalau begitu,
begini aja bro. entar malam kita pergi berdua kerumah calon tersebut, dengan
alasan bahwa suara kita ada ditangannya, namun karena kita lagi ada masalah,
kita harus minta imbalan. Terus, malam besoknya, kita pergi kerumah calon yang
lain untuk minta uang juga. Bagaimana bro?
Bawang putih : oke lah bro,
yang penting dapat uang. Toh juga, besok mereka dapat gantinya.
Dari
perbincangan diatas, tentu ada titik poin yang bisa kita gali sebagai bentuk
kepedulian kita terhadap nilai-nilai demokrasi, yakni dampak kebiasaan yang
diajarkan oleh para pemain (tim sukses, elit politik maupun calon yang diusung
oleh partai), dampak yang akan mendarah daging jika tidak ada solusi yang
ditawarkan oleh pemerintah maupaun masyarakat secara langsung. Dari perbincangan
diatas, Ada hal yang tak bisa hilang dari adanya serangan pajar yang selama ini
dipakai oleh calon dalam memegang tangan rakyat, hal tersebut adalah harapan
rakyat tentang adanya ‘money politik’ yang akan mengakibatkan pendapatan
bertingkat, baik dari calon yang satu menuju calon yang lain. Pendapatan bertingkat
walau hanya Rp. 100.000 s/d Rp. 500.000 adalah hal yang besar bagi rakyat kecil
yang tidak memiliki penghasilan tetap.
Dampak kebiasaan ini pun terkadang dimanfaatkan
menjadi satu momen yang berharga, momen yang menguntungkan bagi calon untuk
menggaet stakeholder-stakeholder yang memiliki kepentingan terhadap pembanguna
ekonomi, pariwisata, budaya, dan yang lainnya. mereka rela menghabiskan uangnya
untuk membantu dalam pelaksanaan pemenangan, namun harus ada kontribusi rill yang harus mereka dapatkan ketika
calon yang diberi modal menang dalam pertarungan politik. Misalnya, izin usaha dipercepat,
pajak dipermudah serta mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dalam
persaingan. Oleh karena itu, Indonesia butuh solusi yang cerdas dan tidak
merusak citra demokrasi dalam pelaksanaan pemilihan, tidak hanya sekedar
terlaksana seperti yang sudah berlalu namun membutuhkan penyelesaian yang
bersifat jangka panjang dalam mengilangkan dampak kebiasaan yang selama ini
dilestarikan.
Arnold Laswell dan Harold Rogow (1963) dalam Power,
Corruption, and Rectitude menguraikan bahwa suap terjadi karena tatanan politik
yang ada membuka peluang lebar bagi adanya jual-beli jabatan publik. Bahwa
mereka yang memiliki uang atau modal besar dapat menguasai jabatan penting.
Maka terjadilah apa yang disebut venal office, yaitu bahwa kekuasaan bisa
dimiliki bukan karena integritas atau kepemimpinan seseorang melainkan karena
memiliki dana besar untuk kampanye, memiliki modal untuk membeli perusahaan publik,
dan untuk membeli suara pemilih. Terlebih lagi situasi ini diperparah oleh
budaya dan persepsi masyarakat bahwa imbalan material yang tidak resmi adalah
sesuatu yang sah dan wajar. Oleh karena itu, harus ada paradigma baru yang
harus ditanamkan kepada masyarakat agar para elit politik tidak membalikkan
pakta, bahwa “rakyatlah yang mengajarkan korupsi”.
b. Pelopor Demokrasi Anti Korupsi
Siapakah
pelaku utama dalam pelopor demokrasi anti korupsi? Tentunya kita harus
membedakan antara demokrasi dan pelaku demokrasi. Demokrasi
adalah salah satu bentuk pemerintahaan dalam sebuah negara dengan kekuasaan
pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung atau melalui
perwakilan. Kata demokrasi itu sendiri berasal dari Yunani, yaitu dēmokratía
yang terbentuk dari kata dêmos yang berarti rakyat, dan Kratos yang berarti
kekuasaan, sehingga kata dēmokratía berarti kekuasaan rakyat. Istilah Demokrasi
sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk
pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di
tangan orang banyak yang disebut dengan istilah rakyat. Di Yunani sendiri
demokrasi telah muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM.
Menurut Yusuf Al-Qordhawi Demokrasi adalah Wadah Masyarakat untuk memilih
sesorang untuk mengurus dan mengatur urusan mereka. Pimpinanya bukan orang yang
mereka benci, peraturannya bukan yang mereka tidak kehendaki, dan mereka berhak
meminta pertanggungjawaban penguasa jika pemimpin tersebut salah. Merekapun
berhak memecatnya jika menyeleweng, mereka juga tidak boleh dibawa ke sistem
ekonomi, sosial, budaya, atau sistem politik yang tidak mereka kenal dan tidak
mereka sukai. Dengan demikian, demokrasi sesungguhnya berdasarkan keinginan
rakyat yang merasa proses pemilihan melalui pemilihan (pencoblosan) adalah
sesuatu yang akan mewujudkan keadilan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun pada kenyataannya
pelaku demokrasi memberikan pelajaran yang kontradiktif dengan pengertian
demokrasi itu sendiri, alih-alih demokrasi yang ada di Indonesia sudah cacat
total, sehingga sah-sah saja ketika para calon menggunakan ‘money politik’
dalam memenangkan pertarungan. Adakah yang sadar akan makna demokrasi? Saya kira
semua orang sadar namun kesadarannya tidak dijadikan sebagai tolak ukur dalam
membenahi demokrasi yang sudah cacat. Masyarakat misalnya, masih saja
terpengaruh dengan kertas merah atau hijau yang bergambar pahlawan dan
dikeluarkan oleh bank Indonesia. Padahal rakyat mengetahui akan konsekuensi
dari hal tersebut. Selain itu, para pemain semakin merasa memiliki jalan pintas
tanpa memikirkan akibat dari apa yang dilakukan, yakni dampak dari kebiasaan akan
pembelajaran sogok-menyogok.
Pelaku utama dalam
mewujudkan demokrasi anti korupsi menurut saya adalah tim sukses. Tim sukses
yang merupakan sebagai pelaksana dari rencana yang direncakan oleh pemikir (pemain
(calon) dan pemikir initi (ketua tim)), apapun yang menjadi perintah atau tugas
yang dimandatkan akan dijalankan sesuai dengan koridor (aturan yang terencana)
guna terealisasinya konsep matang yang sudah dibangun. Dengan demikian tim
sukses merupakan kunci utama dalam melopori demokrasi anti korupsi karena tim
sukses yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, dan selama ini tim sukses
harus bertanggungjawab akan dampak kebiasaan yang terjadi di masyarakat yang
selama ini dilestarikan. Oleh karena itu, partai harus mampu membenahi dan
menjadikan tim sukses sebagai pelopor anti korupsi demi terjaga hakekat niat
yang dibawa ketika menjadi calon, dan mampu menjaga amanah yang diberikan oleh
rakyat.
Secara mendasar,
tentunya apa yang diperintahkan oleh ‘atasan atau ketua’ adalah amanah dan
tanggungjawab yang harus dilaksanakan. Hal tersebut sudah benar dilakukan
ketika mampu menjalankan amanah, namun kembali lagi pada nilai dan manfaat yang
diakibatkan, kita perlu berpikir akan proses jangka panjang kepemimpinan dan
nasib bangsa yang selama ini lebih banyak melahirkan korupsi, kemiskinan,
gelandangan, pengemis dan lain sebagainya, walau banyak juga yang melahirkan
generasi yang sukses.
c. PEMILU: Demokrasi Anti Sogok-Menyogok (Suap-Menyuap).
d. Dualitas Wajah Indonesia.
Post a Comment
komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau