A.
Sejarah Singkat Feminisme
Dalam dua abad terakhir, revolusi
telah mengubah kehidupan perempuan, tidak seperti revolusi nasional, pergolakan
sosial, dekade dan ideologi ini melintasi ke berbagai belahan dunia. Penaburan
benih dalam perjuangan bersenjata terus berlanjut dan bertahap, infiltrasi
kesadaran kita terhadap premis sederhana bahwa perempuan mampu dan berharga
sama seperti laki-laki. Untuk mengukur lebarnya pergolakan berkalnjutan pola
lama ini, feminis gerakan telah mengubah hukum dan politik, dari reformasi cara
perceraian Mesir dan kasus pelecehan seksual di Jepang dan Amerika Serikat ke
nominasi dari jumlah pencalonan yang sama dari calon pria dan wanita terhadap
partai politik prancis. Atau perhatikan perubahan dalam kepemimpinan selama
tahun 1990, 90 persen Negara di Dunia memilih perempuan untuk bekerja di kantor
nasional, dan perempuan menjabat sebagai kepala negara di lebih dari dua puluh
negara.[1]
Pada tahun 2000, gerakan-gerakan
internasional yang terus berkembang untuk meningkatkan kehidupan perempuan semakin mempengaruhi satu sama lain,
karena sebagian ke forum yang disediakan oleh
Dasawarsa PBB untuk Perempuan pada tahun 1975-1985 dan konferensi lanjutan di Beijing pada tahun 1995. Sementara itu, mereka berbagi keyakinan bahwa wanita layak
terhadap jaminan akan Hak Asasi Manusia (HAM) secara penuh. feminisme
internasional sering berbeda dalam penekanan mereka,
hanya beberapa yang berkonsentrasi pada perempuan,
sementara yang lain mengenali link kompleks dengan
politik ras, kelas, agama, dan kebangsaan.
Meskipun perbedaan ini, feminis barat yang paling
memiliki hak dalam belajar bahwa keadilan ekonomi
dan politik global merupakan prasyarat untuk mengamankan
hak-hak perempuan. Perempuan di negara berkembang
telah menemukan bahwa gerakan feminis
transnasional dapat membantu mereka dalam membangun strategis internasional untuk usaha di
rumah.[2]
Gerakan perempuan Barat secara
signifikan memperluas agenda mereka setelah tahun 1960. Seiring dengan tuntutan untuk hak-hak ekonomi dan politik,
pembebasan perempuan menghidupkan kembali politik perbedaan melalui kritiknya
terhadap hubungan interpersonal. Pembebasan
perempuan memperjuangkan kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam pekerjaan
dan politik dan perbedaan perempuan dari laki-laki dalam arena reproduksi dan
seksualitas. Sebuah generasi perempuan barat yang dipengaruhi oleh feminisme
datang untuk mengharapkan kesempatan yang sama.[3]
Mayoritas generasi ini kerap
menyatakan, "Aku bukan seorang feminis, tapi. . . , "Bahkan ketika mereka bersikeras pada upah yang sama,
pilihan seksual dan reproduksi, cuti, dan perwakilan politik. Anak-anak mereka yang dibesarkan, baik pria maupun wanita,
tumbuh dan dipengaruhi oleh harapan-harapan feminis tetapi belum tentu nyaman
dengan istilah tersebut. Di luar Barat, istilah
feminisme masih bisa membangkitkan fokus yang sempit tentang persamaan hak.
Di India pada tahun 1991, ada sebuah jurnal esai
perempuan Manushi yang sangat berpengaruh, yang berjudul "Why I Do Not
Call Myself a Feminist," kontras dengan kekhawatiran Barat tentang hak-hak
perempuan dengan hak asasi manusia yang lebih luas dan kampanye keadilan sosial
yang memenuhi kebutuhan baik laki-laki dan perempuan dalam mengembangkan
negara.[4]
B.
Teori Feminisme
1.
Feminisme Liberal
1.1.
Sejarah
Menjelang akhir abad kedelapan belas,
dua revolusi besar dunia mempraktekkan kritik hirarki sosial yang dimulai pada
abad pencerahan: revolusi Amerika melawan pemerintahan kolonial Inggris, yang
dimulai pada tahun 1776, dan revolusi Perancis terhadap pemerintahan
aristokrat, dimulai pada 1789. Sebuah tatanan
sosial yang lebih tua tampak runtuh sebagai masyarakat umum, baik pria maupun
wanita, bersikeras pada hak-hak mereka untuk representasi politik. Dengan merusak kekuasaan kolonial di Amerika dan status
keturunan di Perancis, revolusi ini melegitimasi konsep kesetaraan dan
terinspirasi kritik luas dari hubungan kekuasaan yang tidak setara, termasuk
abolitionism dan feminisme. "Dapatkah
manusia bebas, jika seorang wanita menjadi seorang budak?" Tanya penyair
Inggris Percy Shelley pada tahun 1818. Dengan
membelai, perempuan Eropa menjawab “tidak”.[5]
Di berbagai Negara lain, kritik
feminis liberal muncul sebagai gerakan reformasi untuk menekankan pemerintahan
yang demokratis. Di Brasil (yang memperoleh
kemerdekaan dari Portugal pada 1822), serangkaian surat kabar, perempuan
perkotaan (urban) memperjuangkan emansipasi perempuan, sehingga pada tahun
1850-an, O Jornal das Senhoras (The Ladies
Journal) mengeluh bahwa pria hanya menganggap wanita semata-mata sebagai
"mesin propagasi" dan perkawinan itu berarti "tirani tak
tertahankan." Di tahun 1870an O Sexo
Feminino (The Female Sex) mendukung
emansipasi budak beserta hak-hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan,
properti, dan kesetaraan hukum.[6]
1.2.
Inti Ajaran Feminsme Liberal.
Salah satu kajian menarik dalam feminisme liberal adalah
ketimpangan distribusi hak-hak dalam masyarakat, misalnya keterwakilan
perempuan dalam berbisnis, berpolitik, dan beberapa propesi pada dunia publik.
Karena hal ini merupakan aplikasi “akal sehat” nilai-nilai yang ada dalam
situasi perempuan dari pada harus melibatkan diri pada inovasi teoritis, dengan
demikian, hal tersebut akan berdampak pada agenda politik diberbagai Negara.
Feminisme liberal modern didasarkan pada premis bahwa perempuan adalah individu
yang memiliki kemampuan berpikir, dengan demikian berhak atas hak asasi manusia
penuh akan “kebebasan dalam memilih peran untuk menjalankan hidup dan untuk
bersaing seperti layaknya laki-laki dalam politik dan pekerjaan yang dapat
menghasilkan keuntungan.[7]
Feminisme Liberal memiliki pandangan bahwa
untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan
individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada
rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap
manusia-demikian menurut mereka-punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak
secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan
keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan
itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di
dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara
dengan lelaki.[8]
Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya
tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus
mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Meskipun demikian, kelompok feminis
liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan.
Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga,
fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis dalam
kehidupan bermasyarakat.[9]
Teori kelompok ini termasuk paling moderat di antara teori-teori feminisme.
Pengikut teori ini menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total dalam
semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi
suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi bukan
merupakan penghalang bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor
publik.[10]
1.3.
Manfaat Teori Feminisme Liberal.
Secara individu, wanita berhak dalam membentuk
diri sendiri untuk menjadi mandiri, baik secara ekonomi maupun emosional.
Kehidupan dalam rumah tangga yang terkekang, merupakan upaya diskriminasi yang
jelas dari kaum laki-laki sehingga perempuan bisa meraih masa depannya sendiri
dengan jalan kemandirian untuk mendapatkan impian dan cita-citanya. Selain
dalam konteks individu, perempuan juga dapat aktif dalam berbagai kelompok
diskusi, dengan tujuan untuk membantu kaum perempuan mewujudkan rasa percaya
diri untuk ikut berpartisipasi dalam ranah publik bersama laki-laki.
Dalam konteks organisasi, pembelajaran
administrasi adalah hal yang penting untuk diterapkan terhadap kaum perempuan,
agar posisi yang selama ini diduduki oleh laki-laki bisa diperoleh oleh
perempuan. Dengan demikian sumbangan dari teori ini terhadap kaum perempuan
adalah mampu menjadikan perempuan duduk berdampingan dengan kaum laki-laki
dengan hak yang sama.
2.
Feminisme Sosialis
2.1.
Sejarah
Dalam menanggapi munculnya kapitalisme
di Eropa, teori politik liberal klasik merayakan individualisme yang sangat
penting bagi keberhasilan ekonomi kelas menengah. Sebaliknya, ideologi politik sosialis mengkritik sistem
ekonomi baru dari perspektif seniman dan pekerja tidak terampil. Selama tahun 1800-an, para pemilik mendapatkan keuntungan
besar terhadap para pekerja tidak terampil baik dalam bidang pertanian, pertambangan,
dan manufaktur, namun keadaan itu semakin memburuk. Pemberlakuan kerja paksa hingga 15-jam, dan dalam kondisi
tidak sehat dan berbahaya, mengakibatkan para pekerja atau buruh sering
mengalami cedera dan terjangkit penyakit yang membuat mereka semakin memburuk.[11]
Kekecewaan terhadap sistem
"proletarisasi" kerja, membuat banyak buruh mencari alternatif lain,
baik organiasi ekonomi maupun sosial kapitalis. Dengan munculnya permasalahan
ini, teori sosialis lebih menekankan terhadap kerja kolektif antara pemiliki
dan para pekerja atas alat-alat produksi. Dari tahun 1830an sampai 1850an, sosialis utopis bereksperimen dengan hidup kolektif yang alternatif mencakup hubungan gender. Setelah tahun 1848, ketika Marx
dan Engels menerbitkan Manifesto
Komunis, Marxis sosialis menyerukan revolusi proletar
yang akan menggantikan kapitalisme
dengan pekerja dan menuju sosialisme negara.[12]
Meskipun keterbatasan pada kebijakan
negara komunis, sosialis perempuan telah memberikan kontribusi spektrum yang
luas dan penting untuk strategi politik terhadap sejarah feminisme. Flora
Tristan menekankan pendidikan; Clara Zetkin menyerukan pengorganisasian
perempuan sebagai pekerja serta perempuan mendapatkan hak pilih; Alexandra
Kollontai bersikeras pada sentralitas reproduksi, seksualitas, dan penitipan
anak untuk mobilisasi pekerja perempuan. Perempuan Sosialis juga dipengaruhi
gerakan serikat pekerja dalam demokrasi liberal seperti Inggris dan Amerika
Serikat. Dari 1870an dan seterusnya, ketika serikat buruh gagal untuk mengatur
meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja untuk upah, aktivis perempuan
mengulurkan tangan untuk melakukannya.[13]
2.2.
Inti Ajaran Feminisme Sosialis
Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat
agar tercapai kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem
kapitalisme yang menimbulkan
kelas-kelas dan division of
labor, termasuk di dalam keluarga. Gerakan kelompok ini mengadopsi
teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar
kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan ‘kelas’ yang tidak diuntungkan.
Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi para
perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan dengan berupaya menghilangkan
struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan
isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin sesungguhnya lebih
disebabkan oleh faktor budaya alam.[14]
Aliran ini juga menolak anggapan tradisional dan para teolog
bahwa status perempuan lebih rendah dari pada laki-laki karena faktor biologis
dan latar belakang sejarah. Struktur ekonomi atau kelas di dalam masyarakat
memberikan pengaruh efektif terhadap perempuan, karena itu, untuk mengangkat
harkat dan martabat perempuan supaya seimbang dengan laki-laki, diperlukan
peninjauan kembali struktur secara mendasar, terutama dengan menghapus dikotomi
pekerjaan sektor domistik dan sektor publik.[15]
Teori ini juga
tidak luput dari
kritikan, karena terlalu
melupakan pekerjaan domistik. Marx
dan Engels, sama sekali tidak melihat nilai ekonomi pekerjaan domistik.
Pekerjaan domistik hanya dianggap pekerjaan marjinal dan tidak produktif,
padahal semua pekerjaan publik yang mempunyai nilai ekonomi sangat bergantung
pada produk-produk yang dihasilkan dari
pekerjaan rumah tangga, misalnya makanan yang siap dimakan, rumah yang layak
ditempati, dan lain-lain yang memengaruhi pekerjaan publik tidak produktif.
Kontribusi ekonomi yang dihasilkan kaum perempuan melalui pekerjaan domistiknya
telah banyak diperhitungkan oleh kaum feminis sendiri. Kalau dinilai dengan
uang, perempuan sebenarnya dapat memiliki penghasilan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan laki-laki dari sektor domistik yang dikerjakannya.[16]
2.3.
Manfaatnya bagi Pekerjaan Sosial
Dalam sumbangan teori ini, perempuan tidak hanya mampu untuk
mandiri dalam ekonomi maupun yang lainnya namun lebih kepada transformasi
personal yakni menciptakan kesempatan bagi perempuan untuk mengeluarkan
pendapat, mengungkapkan kemarahan dan menyuarakan ketidakadilan yang selama ini
melekat di dalam diri perempuan. Dalam transformasi sosial, menciptakan
proyek-proyek penelitian perempuan. Selain itu, dalam pengembangangan
masyarakat, para aktivis perempuan menyuarakan protes terhadap pornografi
dengan alasan hal tersebut hanya akan membuat konflik terhadap kaum perempuan.
Perempuan tidak boleh dijadikan sebagai alat pemuas sekaligus
sebagai alat untuk menciptakan kerusakan moral terhadap kaum perempuan. Dari
sisi organisasi (lembaga) penentangan terhadap struktur organisasi hirarki
menghasilkan pentingnya struktur organisai yang lebih demokrasi, menghargai
keragaman keterampilan yang dimiliki oleh perempuan, menghargai proses
keragaman kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh perempuan ketimbang
kelemahannya.
3.
Feminism Radikal
3.1.
Sejarah
Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun
waktu 1960an dan 1970an. feminisme radikal dilegitimasi
oleh pengalaman penindasan yang mereka alami secara individu, sehingga untuk
memberdayakan mereka perlu melihat pengalaman pribadi tentang penghinaan yang
ada yang mereka bawa, struktur kekuasaan laki-laki sebagai bukti masalah
sistemik dari struktur kekuasaan. Terutama, kekecewaan ini datang dari aliran
kiri dengan cara membuat sebuah organisasi baru yakni organisasi radikal kiri
(terutama di Amerika Serikat). mereka bertekad untuk membuktikan bahwa masalah
pribadi “subyektif” sama pentingnya dengan mereka dengan kelompok kiri yang
telah ditangani sebelumnya, seperti sosial keadilan dan perdamaian. Akhirnya,
beberapa feminis radikal datang dan percaya bahwa semua isu-isu ini saling
terkait satu sama lain, bahwa supremasi laki-laki dan penaklukan perempuan
memang akar dan model penindasan dalam masyarakat dan feminisme yang harus
menjadi dasar untuk perubahan revolusioner.[17]
Sebuah fitur utama dari feminisme
radikal adalah keyakinan bahwa penindasan seksual adalah fitur yang paling
fundamental dari masyarakat dan bahwa bentuk-bentuk ketidakadilan dapat menjadi
sekunder. Jender dianggap merupakan masalah paling krusial dan secara politis
paling signifikan pada belahan dada. Sebagian mulai mempromosikan pandangan bahwa tekanan terhadap perempuan
berakar lebih banyak di psikologis dan lebih sedikit dalam faktor ekonomi. Millet memandang
keluarga sebagai sumber utama indoktrinasi ideologis. Ini mensosialisasikan 'ideologi
patriarki muda dan diresepkan pada sikap terhadap kategori peran,
temperamen, dan status'. Dengan demikian, kaum feminis radikal
menekankan peran keluarga dalam mereproduksi patriarki sedangkan Marxis fokus
pada peran keluarga dalam ideologi 'reproduksi' kapitalisme. Selain itu, kaum
feminis radikal dibawa ke agenda publik atas isu perkosaan, yang harus dianggap
sebagai kejahatan politik, masalah kekuasaan, dan aksi teroris yang terus
men-subordinasi-kan kaum perempuan.[18]
3.2.
Inti Ajaran Feminism Radikal.
Adapun inti dari ajaran ini adalah teori ini lebih
memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan sistem
patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi
laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung
membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri,
bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan. Elsa Gidlow mengemukakan teori
bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dominasi laki-laki, baik
internal maupun eksternal. Martha Shelley selanjutnya memperkuat bahwa
perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri.[19]
Karena keradikalannya, teori ini
mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari kalangan sosiolog, tetapi juga
dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal tidak setuju sepenuhnya
dengan teori ini. Persamaan total antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya
akan merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak terbebani oleh masalah
reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak bisa lepas dari beban
ini.[20]
3.3.
Manfaatnya.
Sumbangan teori ini adalah
pembentukan-pembentukan kelompok swadaya dengan bersandar pada
pengalaman-pengalaman pribadi sehari-hari perempuan pekerja. Karena dengan
adanya swadaya ini, kelompok swadaya akan dipandang potensial dalam
meningkatkan solidaritas diantara anggotanya. Pembentukan serikat-serikat pekerja
dalam analisis gender dan kelas, salah satu serikat pekerja yang terkenal
adalah The National Women’s Trade Union League (NWTUL) yang didirikan pada
tahun 1903 oleh para wanita pekerja, feminis sosial dan wanita pekerja
perumahan. Dimana program-program yang dicanagkan oleh NWTUL adalah melarang
wanita bekerja saat hamil dua bulan dan sesudah, penghapusan kerja malam,
kesehatan dan keselamatan bagi kaum perempuan, jabatan khusus bagi wanita dan
lainnya.
Dalam penerapan organisai, para wanita
mengusulkan tipe baru dalam struktur organisasi yang disebut “neo-birokrasi”
dimana mencoba untuk lebih kepada keadailan yang merata bagi kaum perempuan,
misalnya: mengakui kontribusi serikat pekerja dalam hal meningkatkan
perlindungan dan jaminan sosial bukan hanya sekedar jaminan sosial yang keluar
dari mulut manis dan tertulis dalam kertas putih sebagai Undang-undang.
C.
Gerakan Feminisme dampak yang universal:
Gerakan Feminime di Indonesia
Dalam sejarah perkembangannya, di akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan-gerakan wanita (feminisme) mulai
menjamur di berbagai tempat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia
seperti yang dipelopori oleh R.A. Kartini. Mereka bekerja untuk emansipasi,
perubahan dan persamaan kedudukan wanita, dan keadilan sosial selama kurun
waktu tersebut. Alasan dan tujuan di balik perjuangan mereka ini sangat beragam.
Revolusi melawan kekuatan kolonial, misalnya, juga sering menggunakan kemampuan
dan kekuatan wanita. Cita-cita kemanusiaan dan hak pilih universal tersebar
lewat sistem komunikasi yang sudah cukup banyak berkembang saat itu.[21]
Tujuan gerakan-gerakan feminisme pada
masa itu cukup jelas. Gerakan tersebut difokuskan pada suatu isu yaitu untuk
mendapatkan hak pilih (the right to vote). Mereka dengan gigih mengambil bagian dalam perjuangan
untuk memberikan suara, hak-hak yang sama, status hukum, dan kesempatan akan
pendidikan dan pekerjaan. Di Indonesia, misalnya, pada pertengahan abad ke-19
para pemikir wanita berjuang demi pendidikan kaum wanita, mengorganisir Kongres
Wanita Indonesia, dan mencita-citakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
(kesetaraan gender) dalam keluarga.[22]
Selama seabad kaum wanita memperoleh hak
politik yang sama sampai ketika konstitusi RI diterima pada tahun 1945, dan
untuk mengakui gerakan fenimisme yang telah mengadakan pembaharuan ini maka PBB
mendirikan Komisi Kedudukan Wanita pada tahun 1948. Walaupun berbeda secara kultural,
namun gerakan-gerakan ini diwarnai secara mencolok oleh perjuangan demi
emansipasi, baik melawan tradisi-tradisi setempat maupun melawan imperialisme colonial
yang seringkali melemahkan kedudukan kaum wanita di daerahdaerah yang dijajah.
Tujuan yang mereka rumuskan secara jelas memberikan arah dan masukan bagi kegiatan
gerakan praktis mereka untuk pembaharuan di segala bidang, termasuk bidang
moral keagamaan (spiritual). Propaganda dan dalih tentang Hak Asasi Manusia
(HAM) dan kebebasan kaum wanita memberikan peluang pula bagi mereka.[23]
Namun pada umumnya para feminis religius
ini tidak didukung oleh para pemikir wanita yang pada waktu itu sudah mulai
mengajar, terutama pada sekolah-sekolah untuk wanita. Namun demikian, hasil
dari gerakan-gerakan ini telah berkembang sebagaimana hak pilih yang dimiliki
dari suatu negara ke negara lain. Gerakan-gerakan kemerdekaan di seluruh dunia,
termasuk di Indonesia, telah menghasilkan persamaan kedu-dukan bagi kaum
wanita. Satu hal yang perlu dicatat adalah, setelah hak memilih diberi-kan pada
tahun 1920, gerakan feminisme seakan-akan tenggelam. Kedudukan kaum wanita sampai
dengan tahun 1950an tidak pernah digugat, dimana wanita yang dianggap ideal
adalah yang berperan sebagai ibu rumah tangga, walaupun pada periode tersebut
sudah banyak yang aktif bekerja di luar rumah. Barulah pada tahun 1960an,
gerakan feminisme mendapatkan momentum, gerakan ini menjadi suatu kejutan besar
bagi masyarakat tersebut, karena gerakan
ini memberikan kesadaran baru, terutama
bagi kaum wanita, bahwa peranan tradisional wanita ternyata menempatkan wanita
pada posisi yang tidak menguntungkan, yaitu
subordinasi wanita.[24]
D.
Sumber
Estele, B. Freedman
(2002). No Turning Back: the History of
Feminism and the Future of Women. (New York: Ballantine Books),
Maria H. Adjipavlou. (2010). Women and Change in Cyprus: Feminisms and
Gender in Conflict (New York: Published by Tauris Academic Studies, an
imprint of I.B.Tauris & Co Ltd).
Nasaruddin.
(1999). Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina. Cet. I.
Katjasungka, Nusrsyahbani, et.al. (2000). “Gender” dalam Penilaian Demokratisasi di Indonesia. (Jakarta:
International IDEA),
[1] Estele, B. Freedman (2002). No Turning Back: the History of Feminism and
the Future of Women. (New York: Ballantine Books), hal. 1.
[2] Ibid, hal. 2.
[3] Ibid, hal. 5.
[4] Ibid, hal. 5-6.
[5] Estele, B. Freedman (2002). No Turning Back: the History of Feminism and
the Future of Women…, hal. 47-48
[6] Ibid, hal. 53
[7] Maria H.
Adjipavlou. (2010). Women and Change in
Cyprus: Feminisms and Gender in Conflict (New York: Published by Tauris
Academic Studies, an imprint of I.B.Tauris & Co Ltd). Hal. 28
[8] Nasaruddin. (1999). Argumen
Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina. Cet. I. hal. 57.
[9] Ibid, hal. 57-58.
[10] Ibid, hal. 58.
[11] Estele, B. Freedman (2002). No Turning Back: the History of Feminism and
the Future of Women…, hal. 55
[12] Ibid, hal. 56
[13] Ibid, hal. 61.
[14] Nasaruddin. (1999). Argumen
Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an…, hal. 58.
[15] Ibid, hal. 58-59.
[16] Ibid, hal. 59.
[17]
Maria H. Adjipavlou. (2010). Women and Change in Cyprus: Feminisms and Gender in Conflict…, hal.
32-33
[18]
Ibid, hal. 33-34
[19] Ibid, hal. 37
[20] Ibid, hal. 38
[21] Husain haikal. (2012). Wanita dalam Pembinaan Karakter Bangsa
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 67
[22] Kartowijono, Sujatin. (1982). Perkembangan Pergerakan Wanita
Indonesia, (Jakarta: PT.Inti
Indayu Press), hal: 21
[23] Katjasungka, Nusrsyahbani, et.al. (2000). “Gender” dalam Penilaian Demokratisasi di Indonesia. (Jakarta:
International IDEA), hal. 21
[24] Ibid, hal. 25
Post a Comment
komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau