Friday, August 30, 2013

0 Pekerjaan Sosial (Social Work)




Kemiskinan “berwayuh wajah”


Banyak disiplin mengklaim memiliki  keahlian dalam bekerja dengan individu, keluarga dan kelompok. Namun, hanya sedikit profesi yang memfokuskan pada keberfungsian klien dalam konteks organisasi, masyarakat dan kebijakan, salah satunya adalah Pekerjaan Sosial ( Social Work). Sebagaimana dinyatakan Netting, Kettner dan McMurthry (2004), dalam perspektif Pekerjaan Sosial konsep “orang-dalam-lingkungan” bukan sekadar slogan yang membuat para Pekerja Sosial perlu menyadari pengaruh-pengaruh lingkungan. Melainkan, memberi pesan jelas bahwa dalam kondisi tertentu perubahan sosial hanya bisa dicapai melalui pengubahan lingkungan dan bukan pengubahan orangnya.[1]
 
Oleh karena itu, meskipun Pengembangan Masyarakat (PM) seringkali didasari oleh kebutuhan dan isu-isu yang berkaitan dengan kehidupan individu dan kelompok pada aras lokal, PM yang berkelanjutan menekankan pentingnya strategi-strategi Kebijakan Sosial yang beroperasi melebihi pendekatan-pendekatan individu dan kelompok.[2]

“memanusiakan manusia” adalah sebuah icon yang tak tabu bagi kita semua, seringkali mahasiswa (intelektual muda) menyebut bahwa memanusiakan manusia adalah salah satu tujuan luhur agar kehidupan ini damai dan tidak ada lagi perang politik, perang saudara maupun perang antar Negara. Karena memanusiakan manusia lebih diidentikkan dengan perubahan perilaku manusia dari yang tidak baik menuju manusia yang baik, bohong menjadi jujur, sombong menjadi darmawan dan lain sebagainya. Sehingga tak salah jika memanusiakan manusia merupakan sebuah agenda mulia disisi Tuhan. Kenyataan yang kita dapatkan bahwa semakin banyak korupsi yang terjadi dewasa ini bahkan isu pemberantasan kemiskinan hanya sebuah dongeng tinta hitam belaka. Ataukah saat ini hal tersebut sudah dikubur dalam-dalam dipusat bumi? Entah…

Dalam buku “Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat” (Suharto, 2006), penulis berargumen bahwa satu tragedi dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah bahwa pendekatan yang diterapkan seringkali terlalu terkesima oleh, untuk tidak menyatakan sangat mengagungkan, konteks lokal. Sistem sosial yang lebih luas yang menyangkut pembangunan sosial, Kebijakan Sosial, relasi kekuasaan, ketidakadilan jender, ekslusifisme, pembelaan hak-hak publik, dan kesetaraan sosial seringkali kurang mendapat perhatian.[3]

 Seakan-akan komunitas lokal merupakan entitas sosial yang  vacuum  dan terpisah dari dinamika dan pengaruh sistem sosial yang mengitarinya. Penyempitan makna pemberdayaan masyarakat semacam ini, antara lain, bisa dilihat dari dominannya program-program PM yang bermatra usaha ekonomi produktif berskala mikro, seperti “warungisasi” (setiap kelompok sasaran atau warga binaan dilatih atau diberi modal agar dapat membuka warung) atau “kambingisasi” (pemberian kambing kepada kelompok miskin untuk dikelola secara kelompok). Edi Suharto (2006: vii) menyatakan:  

 Tidak ada yang salah dengan pendekatan lokalisme seperti itu. Hanya saja, tanpa perspektif holistik yang memadukan kegiatan-kegiatan lokal dengan analisis kelembagaan dan Kebijakan Sosial secara terintegrasi, pendekatan pemberdayaan masyarakat bukan saja akan kurang efektif, melainkan pula tidak akan berkelanjutan. Diibaratkan dengan analogi “ikan dan pancing”, maka meskipun kelompok sasaran ( target group ) diberi ikan dan pancing sekalipun, mereka tidak akan berdaya jika seandainya kolam dan sungai yang ada di seputar mereka telah dikuasai oleh elit atau kelompok kuat.[4]

Dalam kenyataan ini, pengembangan konsep yang dibangun oleh pemerintah dewasa pusat maupun daerah dalam mengatasi kemiskinan sesungguhnya tidak pernah ada, bahkan konsep yang dibangun selalu menjadi permasalahan baik dalam tataran elit sehingga terjadi korupsi bersama-sama, maupun tataran rakyat sehingga rakyat tidak pernah bisa menikmati hasil secara maksimal. Misalnya; NTB yang mengagung-agungkan program sejuta sapi hanya sebuah cerita dan sampai saat ini hasil yang diinginkan yakni untuk mengurangi angka kemiskinan dan mengurangi impor daging sapi tidak pernah dirasakan oleh masyarakat.

Namun  kenyataannya,  Indonesia  adalah  negara  yang  masih  menghadapi  persoalan kesejahteran  yang  serius.  Ironisnya,  kontribusi  negara  sebagai  institusi  yang  seharusnya memiliki  peran  penting  dalam  mensejahterakan  warganya,  ternyata  masih  jauh  dari harapan. Berbagai masalah ekonomi, sosial dan politik di Indonesia seringkali disebabkan oleh  kegagalan  negara  dalam  memainkan  perannya  dengan  baik.  Seakan-akan  negara tidak  pernah  dirasakan  kehadirannya  terutama  oleh  mereka  yang  lemah  (dhaif)  atau dilemahkan (mustadh’afin), yang miskin atau dimiskinkan.[5]

 Rendahnya komitmen dan peran negara dalam pelayanan sosial bisa dilihat, antara lain, dari semangat pemerintah yang saat ini tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Badan  Hukum  Pendidikan  (BHP).  Pasal  2  RUU  BHP  tersebut,  misalnya,  dengan  jelas menunjukkan  “semangat  dagang”  pemerintah  yang  membenarkan  pihak  asing  bersama BHP Indonesia mendirikan lembaga pendidikan dengan modal sampai 49 persen. Tanpa sadar,  pemerintah  sesungguhnya  tengah  mengubah  jati  diri  Departemen  Pendidikan Nasional menjadi Departemen Perdagangan Pendidikan Nasional (lihat Suharto, 2007).[6]

Pertanyaan sederhana…, apakah Indonesia mampu mengatasi kemiskinan dengan ribuan ajudan yang tersebar diseluruh penjuru Indonesia ini?

WAIT AND SEE

Bersambung…!!!


[1] (edi Suharto, PhD. (Disampaikan pada Seminar Nasional “Komunikasi Pembangunan Mendukung Peningkatan SDM dalam Kerangka Pengembangan Masyarakat”, Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (FORKAPI), IPB Convention  Center, Bogor 19 November 2009)).
[5] edi Suharto, PhD. Disampaikan pada Perkaderan Darul Arqom Paripurna (DAP) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Tahun 2008, Jakarta 18 Januari 2008

Post a Comment

komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau

Simak juga Post Sarjana Muda 45 Minggu ini

Hidup hanyalah sekedar jalan-jalan untuk menikmati kehidupan, hidup hanyalah sekedar hembusan nafas untuk melangkah menikmati jeruji Tuhan, hidup hanyalah gambaran Tuhan akan kehidupan yang lebih abadi. Oleh karena itu…, tak perlu rebut, tak perlu risau, tak perlu bingung, tak perlu galau, tak perlu merasa tertipu, tak perlu merasa bahwa hidup ini tak adil, tak perlu memberontak, tak perlu bangga, tak perlu sombong. Yang perlu kita lakukan adalah menikmati setiap proses yang ada, karena proses akan menentukan bahwa jalan-jalan dibumi yang kita lakukan sukses atau gagal. (Surga ataukah Neraka).

Data Pengunjung

Popular Posts

My Archive RLM

 

Negara Pengunjung RLM


PUTRA NTB MENULIS
SEO Stats powered by MyPagerank.Net

Statistic RLM

LOGO

LOGO
PUTRA LOMBOK MENULIS "BATUJAI"

Translate