Saturday, August 31, 2013

0 Kemiskinan "Sedang, Akan dan Terus Berlanjut"






Sekapur Sirih

Sebentar lagi tahun 2013 akan berlalu, cahaya terang terus bersinar walau awan terus menyelimuti, kehidupan dunia semakin carut marut namun kita tidak boleh berhenti berharap walau langkah kaki sudah tak sanggup lagi berdiri. Tangisan dan penderitaan dibalik perjuangan terus menghantui namun alangkah lebih baiknya jika langkah ke depan demi mencapai masa depan tidak boleh diundurkan. Gagasan dan ide cemerlang harus terus ditelurkan, konsep yang matang demi tertatanya kesejahteraan sosial harus terus didengungkan agar perubahan dapat tercapai untuk membuat rakyat tersenyum.

Pengentasan Kemiskinan

Berakhirnya 2013 tidak akan membuat sejarah kemiskinan terhapuskan, pengangguran, pengamen dan anak jalanan tidak akan pernah hilang dari pandangan dan pendengaran, namun sejatinya sebagai manusia yang selalu penuh harapan dan do’a serta perjuangan tidak akan boleh putus semangat, apalagi demokrasi (pesta rakyat) akan segera dimulai. Sejarah panjang kemiskinan yang ada di Indonesia sudah terbentang dan dipandang sabagai warna yang indah serta dipajang sebagai hiasan Negara untuk melirik Negara-negara kaya yang lain untuk menanamkan modalnya.

Kendati demikian, masyarakat sebagai basis atau isi dalam suatu Negara tidak boleh terus dinina-bobokkan dengan kontradiktif kenyataan yang ada, rakyat Indonesia harus bangun dari mimpi buruk tersebut agar cahaya kemenangan demi kesejahteraan rakyat dapat tercapai dengan maksimal. Tirani pembantaian ahlak maupun materi secara halus dan professional tidak boleh terjadi lagi dan hal ini akan terjadi dengan satu cacatan, rakyat harus bangun dari mimpi buruk yang selama ini menjadi pemberian nyata oleh para pemegang kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat walau selalu berdalih bahwa kerja pemerintah adalah kerja untuk rakyat.

Menurut analisa saya pribadi, tingginya angka kemiskinan terjadi akibat rendahnya lapangan pekerjaan, mahalnya biaya pendidikan dan pembangunan yang tidak merata. Pertama; rendahnya lapangan pekerjaan menjadi salah satu momok yang paling menakutkan didalam hati dan pikiran masyarakat Indonesia, lapangan pekerjaan yang selalu identik dengan uang besar menjadi penyakit yang tidak bisa disembuhkan, karena pemerintah sudah memberikan tanda tangan dan stample kepada masyarakat akan hal tersebut. “jika para sarjana muda ingin bekerja maka harus menyiapkan materi untuk mendapatkan pekerjaan tersebut” padahal gelar sarjana yang didapatkan terselesaikan dari tiga tahun setengah sampai lima tahun bahkan tujuh tahun.

Problema kehidupan yang semakin rumit kian lama kian mengkarat, masyarakat semakin menderita dan terus mengeluh. Dilindas dari arah barat kemudian digiling dari arah timur sehingga tidak ada kesempatan untuk memberikan sedikit harapan dan cerita. Mereka hanya bisa memperlihatkan air mata basi yang tiada gunanya sama sekali dihadapan para tikus-tikus berdasi. Bahkan dapat dikatakan bahwa kemampuan masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar  saja  ternyata  masih ketar-ketir.  Dengan  kata  lain,  alih-alih  hidup  berkecukupan, masyarakat Indonesia masih belum bisa terbebas dari lilitan kemiskinan.

Terus, apa yang harus kita lakukan?
Jawaban bagi anda yang tidak punya modal dan nyali adalah tidak ada yang harus kita lakukan dan terima takdir, namun bagi orang yang punya modal dan memegang kebijakan sudah tentu seribu cara yang harus dilakukan namun bagaimana cara ini menjadi milik mereka seutuhnya. “Kesejahteraan not for you (rakyat) but for me (pemegang kebijakan atau pemerintah maupun instansi)”

Pengentasan kemiskinan lewat lowongan pekerjaan yang seluas-luasnya adalah salah satu solusi namun dengan catatan bahwa standar dalam pemberian upah harus dijalankan dengan baik, jangan sampai terjadi hal yang memalukan dan mencoreng muka Indonesia dengan perbudakan yang pernah terjadi beberapa bulan yang lalu, yang sampai sekarang masih menyisakan luka dan sakit hati terhadap kekejian yang dilakukan.

Sejauh kemerdekaan Indonesia saat ini, semakin banyak terciptanya pengangguran-pengangguran intelektual muda, kemerdekaan Indonesia tidak dapat menjadi cermin terbebasnya pengangguran yang semakin menjamur. Disisi lain, akibat dari menjamurnya pengangguran-pengangguran muda menjadikan kerusuhan-kerusuhan dimana-mana, baik yang secara diakui (demo) maupun yang tidak diakui atau tidak dibenarkan secara hukum (perampokan, pencurian, penjarahan bahkan menjadi teroris di Negara sendiri).

Kedua; mahalnya biaya pendidikan adalah salah satu doktrin yang tidak bisa dihilangkan dari benak rakyat kecil, akibatnya banyak generasi muda harus berjuang matia-matian untuk bisa sekolah bahkan harus putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan. Alhasil, banyak diantara mereka harus mengambil jalan pintas demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga maupun dirinya sendiri, baik dengan cara menjadi seorang pengamen, buruh, mengais sampah dan lain sebagainya. Sehingga pantas IPM di Indonesia pada tahun 2007 menduduki urutan yang ke 107 dari 177 negara dan tertinggal oleh Vietnam yang berada diurutan yang ke 105 padahal tahun 2006 Vietnam berada diurutan yang ke 109, (Suharto, 2007a; UNDP, 2007).

Ketiga; pembangunan yang tidak merata, sebelum pembangunan BIL yang berada di lombok tengah, pembangunan infrastruktur jalan bagaikan pematang sawah yang bergelombang, danau terbuat secara alami ditengah-tengah jalan bahkan ikan bisa bertahan hidup walau hanya seminggu dua minggu, dan masih saya ingat ketika masyarakat menanam pohon pisang ditengah jalan, kendati demikian, pemerintah hanya berpangku tangan walau sindiran masyarakat begitu menyakitkan. Namun berubah drastis ketika Bandara International Lombok yang berada di Lombok tengah dibangun, jalan-jalan yang rusak diperbaiki bahkan jalan yang tidak pernah diduga tempatnya saat ini sedang dalam proses.

Secara prositif, hal ini menjadi sebuah keuntungan besar bagi pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Secara negative, masyarakat akan digeser oleh pengusaha-pengusaha besar atau konglomerat sehingga masyarakat hanya bisa menonton dan menjadi budak didaerah sendiri. Namun yang menjadi masalahnya adalah “apakah iya cara pemerintah untuk membangun infrastruktur jalan seperti ini?” disaat keuntungan yang lebih besar ada, baru melaksanakan pembangunan. Namun kembali lagi penggusuran dan pengambilan tanah rakyat dengan penggatian modal yang rendah, alih-alih bahwa pemerintah berhak melakukannya sesuai dengan keinginan.

Islam, Modal Sosial dan Pengentasan Kemiskinan

Edi Suharto, PhD[1]

Rendahnya IPM dan problema kemiskinan masih merupakan tantangan serius yang dihadapi umat Islam,  khususnya  di  Indonesia.  Selain  masih  rendah,  IPM  Indonesia  juga  semakin  tertinggal  oleh negara-negara  tetangga  di  ASEAN  dan  telah  terkejar oleh  Vietnam.  Kebijakan  dan  program pembangunan  yang  lebih  pro-poor  tampaknya  harus  lebih  mendapat  prioritas  di  tahun-tahun mendatang, terutama bagi kelompok-kelompok miskin dan rentan dalam masyarakat, seperti orang miskin  dengan  kecacatan  (OMDK),  orang  miskin  dengan  HIV/AIDS  (OMDHA),  dan  anak-anak  yang memerlukan perlindungan khusus. 

Modal  sosial  memiliki  kontribusi  penting  dalam  menopang  pembangunan.  Pendekatan  dalam meningkatkan  IPM  dan  memerangi  kemiskinan  di  Indonesia  tidak  mesti  hanya  dilakukan  melalui pemberdayaan  ekonomi  saja,  melainkan  pula  melalui  penguatan  modal  sosial.  Skema-skema perlindungan  sosial,  seperti  asuransi  sosial,  bantuan  sosial  (social  assistance),  conditional  cash transfer  (CCT),  social  safety  nets  bisa  dijadikan  pendekatan  dalam  mengentaskan  kemiskinan. Dipadukan  dengan  konsep Corporate  Social  Responsibility  dengan  Community  Development-nya, model-model jaminan sosial berbasis masyarakat yang bermatra Islam bisa menjadi pilihan.  

Modal sosial yang kini sering dijadikan rujukan oleh kaum akademisi maupun praktisi bukan hal yang baru  bagi  dunia  Islam.  Konsep  mengenai  demokrasi  dan civil  society  yang  merupakan  pilar-pilar modal sosial telah bersemi dan mendapat tempat yang baik dalam khazanah ajaran Islam. Namun, dalam  praktiknya  nilai-nilai  ini  tidak  berjalan  begitu  saja  dan  mewujud  dalam  perilaku  keseharian umat Islam.  Pengalaman  dan  praktik  demokrasi  dan civil  society  di  negara-negara  Muslim  sangat  berpelangi.

Merujuk pada konteks masyarakat di Indonesia, tampaknya umat Islam memiliki modal sosial yang cukup  tinggi.  Meskipun  ini  tidak  berarti  bahwa  tidak  ada  hal  yang  perlu  dikembangkan.  Beberapa kasus,  seperti  intoleransi  terhadap  penganut  agama ”selain”  Islam  (misalnya  kekerasan  terhadap kelompok Lia Eden, Ahmadiyah) atau kekurang-kompakan di kalangan umat Islam (misalnya dalam partai politik dan penentuan Idul Fitri dan Idul Adha), menunjukkan bahwa trust di kalangan Islam masih harus terus diperkokoh. Pendidikan kewargaan, penguatan multikulturalisme, dan dialog lintas agama, misalnya, kiranya masih tetap relevan digelorakan. 

Modal  sosial  bisa  dilihat  dari  keterlibatan  negara dalam  menyediakan  pelayanan  publik,  terutama kesehatan  dan  pendidikan.  Secara  umum,  data  yang  ada  menunjukkan  bahwa  perhatian  negara terhadap  pendidikan  dan  kesehatan  masih  relatif  rendah  di  kalangan  negara  Islam,  termasuk Indonesia.  Ini  menunjukkan  bahwa  lembaga-lembaga  civil  society  di  Indonesia  dapat mengembangkan strategi advokasi kepada negara agar memperkuat kebijakan sosial. 

Ini  juga  memberi  pesan  bahwa  dalam  pengentasan  kemiskinan,  peran  lembaga-lembaga  sosial keagaamaan (misalnya; LAZNAS, BAZIS, Dompet Dhuafa) bisa memfokuskan pada penguatan aspek pelayanan kesehatan dan pendidikan. Program-program seperti Rumah Sakit gratis, Rumah Bersalin gratis, dan sekolah untuk kaum dhuafa yang selama ini telah dijalankan perlu terus dikembangkan dan diperluas baik flatforms maupun jumlah sasaran garapannya.  

Dalam kaitan ini, perlu dibentuk atau ditunjuk lembaga khusus (baik tersendiri atau di bawah organisasi yang telah ada, misalnya di bawah MUI) yang mampu mengembangkan database komprehensif yang mencakup  pemberi  dan  penerima  zakat by  name  dan by  address. Database  ini  harus  di-updated secara periodik dan mudah diakses oleh masyarakat luas, termasuk oleh lembaga-lembaga pengelola zakat atau BMT-BMT di seluruh pelosok negeri. Informasi dalam database ini diperlukan bukan hanya untuk  memetakan  dan  memobilisasi  sumber-sumber  umat  saja,  melainkan  pula  untuk  memonitor dan  mengevaluasi  perkembangan  hidup  orang  miskin  dan  menangkal  mitos-mitos  yang  kerap menerpa  mereka  yang  pada  gilirannya  ”mengkambinghitamkan”  program-program  pemberdayaan orang miskin.

Berdasarkan penelitian terhadap skema AFDC (Aids for Families with Dependent Children) yang kini berganti nama menjadi TANF (Temporary Assistance for Needy Families) di AS, Suharto (2007: 262- 264) menunjukkan bahwa orang miskin bukan saja sering menerima stigma sebagai orang malas, tergantung, penipu dan seterusnya. Melainkan pula, program-program pelayanan sosial bagi mereka – meskipun merupakan haknya, kerap dikritik berdasarkan generalisasi yang tidak berdasar (mitos).  

Sedikitnya  ada  12  mitos  yang  menerpa  AFDC  yang  setelah  diteliti  secara  saksama  ternyata  tidak terbukti.[2]  Para pengelola dana umat perlu belajar dari ”bad practices” ini. Selain itu, perlu pula dipikirkan kemungkinan perumusan standar kompetensi pengelola dana umat. Selama  ini  audit  secara  ekonomi  telah  banyak  dilakukan  terhadap  lembaganya.  Namun,  standar kompetensi para pekerja sosial yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai profesional tampaknya masih belum disertifikasi secara nasional. Hal ini cukup penting, mengingat akuntabilitas pengelolaan dana umat bukan saja diukur dari aspek efisiensi dan transparansinya saja. Melainkan pula, sejauh mana dana tersebut benar-benar menyentuh kebutuhan, hak dan keberdayaan umat.



[1] Penulis buku: (a) Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (Bandung: Alfabeta 2005 cetakan ketiga); (b) Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis embangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Bandung: Refika Aditama 2006 cetakan kedua); (c) Pekerjaan Sosial di Dunia Industri: Memperkuat Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) (Bandung: Refika Aditama 2007); (d) Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik: Peran Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial dalam Mewujudkan Negara Kesejahteraan di Indonesia  (Bandung: Alfabeta 2007). Website: www.policy.hu/suharto Email: suharto@policy.hu

[2]  Mitos-mitos itu antara lain: (a) orang miskin penerima AFDC adalah penipu dan pembohong. Setelah dilakukan survey nasional, ternyata kasus benefits fraud sangat rendah. Hanya kurang dari 1% kasus benefits fraud mengarah pada penipuan. Selebihnya diakibatkan oleh lemahnya sistem targeting dan rumitnya administrasi; (b) Bantuan AFDC cenderung membuat orang miskin malas bekerja, karena ”kenapa harus bekerja jika bantuan ini dapat menghidupi mereka.” Faktanya, di banyak negara bagian AS, jumlah bantuan di bawah standar/garis kemiskinan; dan tidak akan cukup menghidupi mereka tanpa tambahan dari penghasilan lain; (c) AFDC cenderung membuat penerima bantuan tergantung selamanya pada bantuan itu. Faktanya, pada awal tahun 1990an, hanya 10% keluarga penerima AFDC menjadi beneficiaries untuk jangka 10 tahun atau lebih. Setengah dari jumlah total penerima bantuan telah menerima AFDC selama 20 bulan dan dua pertiga lainnya menerima
bantuan kurang dari 3 tahun.

Post a Comment

komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau

Simak juga Post Sarjana Muda 45 Minggu ini

Hidup hanyalah sekedar jalan-jalan untuk menikmati kehidupan, hidup hanyalah sekedar hembusan nafas untuk melangkah menikmati jeruji Tuhan, hidup hanyalah gambaran Tuhan akan kehidupan yang lebih abadi. Oleh karena itu…, tak perlu rebut, tak perlu risau, tak perlu bingung, tak perlu galau, tak perlu merasa tertipu, tak perlu merasa bahwa hidup ini tak adil, tak perlu memberontak, tak perlu bangga, tak perlu sombong. Yang perlu kita lakukan adalah menikmati setiap proses yang ada, karena proses akan menentukan bahwa jalan-jalan dibumi yang kita lakukan sukses atau gagal. (Surga ataukah Neraka).

Data Pengunjung

Popular Posts

My Archive RLM

 

Negara Pengunjung RLM


PUTRA NTB MENULIS
SEO Stats powered by MyPagerank.Net

Statistic RLM

LOGO

LOGO
PUTRA LOMBOK MENULIS "BATUJAI"

Translate