Pertanyaan awal yang
ingin aku diskusikan adalah apakah pasar tradisonal akan utuh atau bertahan
ketika pemerataan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah?
Pasar
tradisonal adalah pasar masyarakat yang masih bersifat tradisional, dimana
tempat bertemunya penjual dan pembeli dalam skala murah atau bisa terjangkau
oleh masyarakat menegah kebawah. Pasar umum yang memiliki berbagai macam barang
dagangan, baik dari alat-alat kebutuhan rumah tangga sampai pada kebutuhan
badan. Dalam aktivitas pasar tradisional biasanya lebih banyak masyarakat
menegah dan menengah kebawah, karena masih bisa dilakukan tawar menawar harga,
tidak sesuai dengan harga yang sudah ditetapkan. Misalnya dari harga baju
Rp.45.000 bisa ditawar lebih rendah dengan harga Rp. 35.000 s/d Rp. 25.000.
Sedangkan
pasar modern adalah pasar Pasar Modern adalah pasar tradisional yang berkonsep
modern dimana barang-barang diperjualbelikan di suatu tempat yang bersih dan
nyaman. Di dalam pasar bersih ini menyediakan berbagai jenis dagangan yang
telah dikelompokkan seperti ikan, daging, buah-buahan, dan sayur-sayuran
sehingaa konsumen bisa mendapatkan kenyamanan dalam berbelanja. Konsep utama
dari pasar modern adalah menyediakan segala bahan kebutuhan pokok konsumen
dengan tempat yang bersih, tidak becek, dan tidak bau.
Konsep
pasar modern terdiri dari dari 3 jenis tempat usaha yang terintegrasi, yakni
ruko, kios dan lapak. Letak lapak berada di tengah-tengah bangunan dan hanya
untuk disewakan. Lapak dibagi menjadi dua jenis, lapak kering dan lapak basah.
Lapak kering digunakan sebagai tempat berjualan sayur, bumbu dapur dan
kebutuhan lain. Lapak basah khusus menjual berbagai jenis ikan dan daging. Di
sekeliling lapak terdapat kios dengan berbagai ukuran. Untuk kios dikhususkan
menjual kebutuhan penunjang lainnya seperti sembako, peralatan rumah tangga,
kosmetik dan obat. Lapak dan kios ini dibungkus ruko dua lantai di bagian
luarnya, dengan gaya arsitektur modern yang menarik.
Sedangkan
menurut Mr. Wiki Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan
pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung
dan biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios
atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu
pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan
makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang
elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan
barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia,
dan umumnya terletak dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk
mencapai pasar. Beberapa pasar tradisional yang "legendaris" antara
lain adalah pasar Beringharjo di Yogyakarta, pasar Klewer di Solo, pasar Johar
di Semarang. Pasar tradisional di seluruh Indonesia terus mencoba bertahan
menghadapi serangan dari pasar modern.
Sedangkan
Pasar modern tidak banyak berbeda dari pasar tradisional, namun pasar jenis ini
penjual dan pembeli tidak bertransakasi secara langsung melainkan pembeli
melihat label harga yang tercantum dalam barang (barcode), berada dalam
bangunan dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani
oleh pramuniaga. Barang-barang yang dijual, selain bahan makanan makanan
seperti; buah, sayuran, daging; sebagian besar barang lainnya yang dijual
adalah barang yang dapat bertahan lama. Contoh dari pasar modern adalah hypermart,
pasar swalayan (supermarket), dan minimarket. Pasar dapat dikategorikan dalam
beberapa hal. Yaitu menurut jenisnya, jenis barang yang dijual, lokasi pasar,
hari, luas jangkauan dan wujud.
Dari
perbandiangan antara pasar modern dengan pasar tradisional inilah yang kemduian
menjadikan beberapa orang yang memiliki kepentingan didalamnya, merubah pola
dan bentuk dari pasar tradisional menuju pasar modern demi pembangunan desa
maupun kota yang ada, menuju tata letak dan kebersihan yang bisa terjamin dan
terjaga. Banyak sudah pasar-pasar tradisional dirubah menjadi pasar modern,
pengalihan fungsi ini merupakan dampak dari perkembangan pasar modern yang ada
di indonesia ini, misalnya; pasar-pasar tradisional di ibu kota besar.
Seperti
yang ditulis oleh Prof. Dr. Purbayu Budi S., MS. (Guru Besar di Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Undip Semarang.) “Bijak Menata Pasar” dalam sebuah artikel
http://www.feb.undip.ac.id. Revitalisasi
pasar tradisional yang dilakukan di sekitar wilayah Yogyakarta, Solo, dan
Semarang, banyak mengalami hambatan. Misalnya, revitalisasi pasar tradisional
yang dilakukan di sejumlah pasar di Semarang, justru aktivitasnya tidak
optimal. Lalu Pasar Dargo yang kondisinya menjadi semakin tidak lebih baik
dibandingkan sebelum diadakan renovasi. Contoh lain, kondisi Pasar Sampangan
Baru, yang lokasi lamanya akan dialihfungsikan, kondisinya belum optimal, di
mana lantai dua hanya dihuni sejumlah kecil pedagang sementara lantai tiga
tidak ada penghuninya sama sekali.
Memang
revitalisasi pasar tradisional, dalam arti pembangunan pasar tradisional dapat
berupa alih fungsi, renovasi atau membangun pasar yang baru. Revitalisasi pasar
tradisional terasa begitu mendesak sekarang ini karena serbuan pasar modern,
baik berupa hipermarket, supermarket maupun minimarket. Perkembangan pasar
modern begitu cepatnya menjangkau berbagai daerah, terlebih untuk minimarket sudah
masuk ke kawasan terpencil seperti daerah pedesaan. Tanpa kontrol dengan
peraturan yang membatasi, bukan saja pasar tradisional yang makin tertinggal,
akan tetapi berbagai warung rakyat kecil banyak mengalami penurunan dalam
penjualan berbagai produksinya.
Pasar
tradisional dulunya merupakan tulang punggung kehidupan masyarakat dan bisa
jadi ikon suatu daerah. Sebagai misal pada tahun 1970-an Kota Semarang adalah
identik dengan pasar Johar dan pasar Johar adalah juga Semarang. Hal itu karena
bisa jadi pasar Johar pada waktu itu pasar terbesar, jaya dan termasuk megah di
Asia Tenggara. Begitu juga di Solo terkenal Pasar Klewer dan Yogyakarta dengan
pasar Beringharjo.
Sebenarnya
Pasar tradisional dapat direvitalisasi sehingga ekonomi rakyat tidaklah tenggelam
dalam persaingan dengan pasar modern. Bukan saja pendekatan ekonomi yang
cenderung kepada proyek yang dilakukan, akan tetapi pendekatan budaya mestinya
dilakukan. Keadaan ini disebabkan budaya sebagai suatu yang telah dianut dan
dipegang masyarakat secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya, tidak begitu mudah dihilangkan, diabaikan atau tidak dimasukkan
dalam suatu perencanaan.
Bukan
saja pembangunan pasar yang mengalami kegagalan akibat tidak memperhatikan
budaya, akan tetapi pembangunan berbagai proyek lainnya di berbagai daerah
mengalami nasib yang serupa. Pernah penulis di suatu daerah diminta sebagai
narasumber dari pembangunan pabrik gula mini, di mana diharapkan pemasok
gulanya langsung dari penderes. Keadaan yang sudah turun-temurun dengan
hubungan yang saling menguntungkan antara penderes dan pedagang pengepul
(patrol-client) mau diputus rantai lembagaannya, rasanya agak mustahil
dijalankan. Saran pendekatan budaya dan ekonomi yang dilakukan penulis tidak
dilakukan, akhirnya proyek tersebut sekarang mangkrak. Keadaan serupa pada
proyek pembangunan lainnya, termasuk pasar tradisional, mudah ditemui karena
pendekatannya hanya parsial bukan menyeluruh.
Belajar
dari Pihak Lain
Para
pemangku perbaikan pasar di berbagai daerah hendaknya belajar dari daerah lain
yang sukses membangun pasar tradisionalnya. Dari Surakarta dapat belajar
bagaimana Walikota Surakarta, Joko Widodo (Jokowi), berhasil merelokasi
pedagang kaki lima di kawasan Banjarsari setelah melakukan lobi makan bersama
sampai 53 kali, ke lokasi baru yang lebih menjanjikan, baik sarana dan
prasarananya. Para pedagang hanya akan membayar biaya retribusi sebesar Rp
2.600 per hari di tempat baru yang suasananya lebih bagus dari tempat para PKL
berdagang yang lama.
Dengan
retribusi sebesar itu, modal pemerintah sebesar Rp 9,8 miliar untuk membangun
lokasi baru itu diperkirakan dapat kembali pada kurun 9 tahun. Bukan hanya itu,
Jokowi juga akan mempromosikan tempat berdagang baru itu selama empat bulan di
media lokal. Jokowi juga memperluas jalan menuju pasar dan membuat satu trayek
angkutan kota baru. Hasilnya, Jokowi berhasil menata ulang pasar di antaranya
Pasar Klithikan Notoharjo, Pasar Nusukan, Pasar Kembalang, Pasar Sidodadi,
Pasar Gading, pusat jajanan malam Langen Bogan, serta pasar malam Ngarsapura.
Saat
relokasi dilakukan, Jokowi menggelar arak-arakan sepanjang jalan menuju Pasar
Klithikan dengan iringan musik klenengan khas Solo. Jokowi juga menghadirkan
Prajurit Keraton agar timbul rasa kebanggaan pada diri para PKL. Faktanya, para
PKL sangat legawa saat pindah lokasi ke tempat yang baru. Bahkan konsumsi dan
perlengkapan arak-arakan mereka biayai sendiri. Ini jarang terjadi di daerah
lain yang biasanya relokasi selalu bersinggungan dengan kekerasan. Sebanyak 989
PKL dipindah tanpa gejolak, bahkan secara antusias para PKL itu mendukung
program pemerintah dengan suka cita.
Demikian
juga Pasar Cokro Kembang di Desa Daleman, Kecamatan Tulung, Klaten yang
diresmikan beberapa waktu lalu oleh Menteri Perdagangan Gita Wirjawan senilai
Rp 7,611 miliar itu dijadikan pasar percontohan nasional. Pasar itu dilengkapi
sarana dan prasarana lainnya yang memadai seperti taman, CCTV 24 jam, parkir,
jalan dalam pasar yang lebar, MCK dan lainnya. Pasar ini gratis, jadi pedagang
tak perlu berinvestasi sepeser pun. Ke depan perkembangannya akan terus
diikuti, karena ada CCTV yang semestinya bisa dipantau dari jauh lewat satelit.
Dengan demikian, pembangunan pasar tradisional tidaklah menggusur pedagang
lama, akan tetapi dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai, sehingga para
pembeli dapat merasa nyaman berbelanja di sini. Kearifan lokal dan modal sosial
yang sudah turun-temurun dari dulu sampai sekarang tetap terpelihara dengan
baik, bukan lantas menghasilkan generasi yang individualis, acuh dengan kondisi
sekitar, dan yang lebih membahayakan adalah hedonis dan materialistis.
Contoh
keberhasilan revitalisasi pasar tradisional dapat dilihat pada pembangunan
Pasar Segamas di Purbalingga beberapa waktu lalu yang tidak menggusur pedagang
lama, dan tidak memakai investor dari luar. Dengan memakai kekuatan dana dari
dalam dan bantuan pemerintah daerah dan pusat, maka pasar tersebut ramai
dikunjungi oleh para konsumen yang merasa betah dan nyaman belanja di pasar
tersebut. Teladan lainnya, adalah revitalisasi Pasar Baru di Bandung yang tetap
menjadi daya tarik konsumen berbagai daerah lainnya, bahkan sebagai rujukan
para wisatawan. Di samping penempatan kios pedagangnya rapi berdasarkan jenis
barang yang dijual, harga bersaing (tawar-menawar), dilengkapi dengan lift
maupun sarana dan prasarana lainnya yang memuaskan. Demikian juga, revitalisasi
pasar Tanah Abang sebagai pasar tekstil ternama di Asia Tenggara, sehingga di
pasar tersebut para pedagang lokal dan mancanegara dapat bertransaksi.
Revitalisasi
pasar tradisional bukan lantas di kotak-kotak untuk kepentingan pemerintah
daerah, kenyamanan pedagang dan pembeli, akan tetapi bagi kepentingan kemajuan
kita bersama dalam memajukan ekonomi rakyat. Tanpa keberpihakan kepada ekonomi
rakyat, yang salah satunya dilakukan dengan revitalisasi pasat tradisional,
maka di masa depan banyak pihak yang akan menyesal karena kebijakan yang
diambil justru menguntungkan segelintir orang, dan merugikan banyak pihak. Jadi
buatlah ajang musyawarah dengan para pemangku kepentingan dalam pasar guna
merevitalisasi pasar. Serta laksanakan pembangunan pasar tradisional dengan
pendekatan yang menyeluruh di mana orientasi kepada kepentingan rakyat banyak,
mutlak dilakukan.
Post a Comment
komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau