Saturday, November 16, 2013

0 PEMILU 2014: Korupsi? Bagian Kedua.

Sumber Gambar: haryono-id.blogspot.com 

 


Menjadi dilema ketika masyarakat sebagai penentu adanya penghuni kursi, dilema tersebut membawa masyarakat tergerus sebagai perusak demokrasi, namun jika tidak dilakukan “rugi” dan dilakukan juga “rugi”. Karena masalah utamanya adalah ketidakmampuan calon dalam bertarung secara ‘jantan’ dan tergerus akan kondisi money politik. terdapat dua paradigma yang megembang dalam kancah demokrasi khususnya dalam pemilihan Presiden, DPR, Gubernur, walikota maupun yang lainnya selama ini. Dua paradigma tersebut berkaitan erat dengan nilai amanah yang dilanggar bersama dan menjadi beban rakyat dalam memandang bersih atau tidaknya pemegang kebijakan, karena selama ini kita ketahui bahwa kasus korupsi menjadi bagian yang penting dalam melihat penomena-penomena rakyat yang terjerat dalam kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kasus korupsi semakin meningkat, kemiskinan pun semakin naik ke level yang lebih tinggi.

Pemilihan yang selama ini dikatakan demokrasi, ternyata selalu mengandung unsur-unsur sogokan demi mendapatkan atau meraih kursi, baik sogokan terhadap pemain-pemain rakus yang memiliki semangat kuat dalam memenangkan pemberi sogokan (calon), maupun pemberian secara langsung kepada rakyat melalui serangan pajar (money politk). Dengan kata lain, ada yang mengajari dan ada yang diajari (subjek-objek). Rakyat (objek) merasa memiliki keuntungan sedangkan calon (subjek) merasa menang karena telah mampu membodohi rakyat.

a.       Diajari ataukah Mengajari

Dua paradigma yang saya maksud adalah kebiasaan dan dampak dari kebiasaan. Kebiasaan dalam menyogok yang selama ini menjalar pada saat pemilihan telah ditunggu-tunggu oleh rakyat, apalagi para pemain (tim sukses) yang pandai memanfaatkan situasi dan kondisi. Mereka berani menjual suara demi tercapainya hasrat dan pandangan benar (kemenangan) dimata calon yang diusung, padahal tidak selamanya serangan pajar berhasil menggaet tangan masyarakat untuk memberikan suaranya. Kendati demikian, serangan pajar terus dilestarikan sebagai bentuk budaya pemilihan demi menggapai kemenangan, dengan penomena inilah demokrasi tercoreng dan tidak menjadi pembelajaran produktif lagi. Siapa yang mencoreng dan siapa yang mengamini itu adalah tanggungjawab bersama untuk meretasnya demi kembalinya demokrasi yang sejati.

Demokrasi pada dasarnya adalah sebuah wujud kepedulian untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya, berkarir seluas-luasnya dalam memberikan jawaban kepada diri sendiri terhadap amanah yang diberikan oleh Tuhan, yakni ‘manusia sebagai pemimpin’. Wujud kepedulian tersebut termuat pada demokrasi yang menginginkan pemimpin memiliki wibawa, akhlaq yang baik, kepedulian atau sifat kemanusiaan, rendah hati, dan cerdas, serta bijaksana dalam berbuat maupun berkata. Dengan demikian pemimpin tidak akan pernah memberikan contoh yang buruk kepada yang dipimpinnya. Karena hal tersebut akan bertentangan dengan jati dirinya sebagai seorang pemimpin.

Sebelum berangkat menuju dampak dari kebiasaan, Mari kita simak perbincangan sederhana ini antara bawang merah dengan bawang putih;

Bawang merah      : saya yakin bahwa dengan adanya pemilihan ini, kita akan mendapatkan banyak keuntungan, dari beberapa calon yang kemarin datang didesa kita.
Bawang putih        : keuntungan apa bro? memang sudah ada calon yang memberikan uang ya?
Bawang merah      : belom sih bro. tapi selama ini, saya selalu dapat keuntungan dari calon-calon yang kampaye. Siapa yang gak suka dengan uang. Toh…, mereka juga dapat dari hasil korupsi atau dikasih sama perusahaan.
Bawang putih        : iya sih bro. tapi kok selama ini, saya tidak pernah dapat ya?
Bawang merah      : kamu sih bodoh. Makanya kalau ada calon yang datang ke desa kita ini, jangan sampai gak hadir, biar dihitung dan lihat oleh calon. Setelah dihitung, tinggal pengawal atau tim suksesnya yang akan membagi-bagikan pada kita.
Bawang putih        : ooh…, begitu ya. Besok dah saya datang. Soalnya saya tidak punya uang untuk membeli beras sama obat untuk anak saya yang lagi sakit.
Bawang merah      : kalau begitu, begini aja bro. entar malam kita pergi berdua kerumah calon tersebut, dengan alasan bahwa suara kita ada ditangannya, namun karena kita lagi ada masalah, kita harus minta imbalan. Terus, malam besoknya, kita pergi kerumah calon yang lain untuk minta uang juga. Bagaimana bro?
Bawang putih        : oke lah bro, yang penting dapat uang. Toh juga, besok mereka dapat gantinya.

Dari perbincangan diatas, tentu ada titik poin yang bisa kita gali sebagai bentuk kepedulian kita terhadap nilai-nilai demokrasi, yakni dampak kebiasaan yang diajarkan oleh para pemain (tim sukses, elit politik maupun calon yang diusung oleh partai), dampak yang akan mendarah daging jika tidak ada solusi yang ditawarkan oleh pemerintah maupaun masyarakat secara langsung. Dari perbincangan diatas, Ada hal yang tak bisa hilang dari adanya serangan pajar yang selama ini dipakai oleh calon dalam memegang tangan rakyat, hal tersebut adalah harapan rakyat tentang adanya ‘money politik’ yang akan mengakibatkan pendapatan bertingkat, baik dari calon yang satu menuju calon yang lain. Pendapatan bertingkat walau hanya Rp. 100.000 s/d Rp. 500.000 adalah hal yang besar bagi rakyat kecil yang tidak memiliki penghasilan tetap.

Dampak kebiasaan ini pun terkadang dimanfaatkan menjadi satu momen yang berharga, momen yang menguntungkan bagi calon untuk menggaet stakeholder-stakeholder yang memiliki kepentingan terhadap pembanguna ekonomi, pariwisata, budaya, dan yang lainnya. mereka rela menghabiskan uangnya untuk membantu dalam pelaksanaan pemenangan, namun harus ada kontribusi rill yang harus mereka dapatkan ketika calon yang diberi modal menang dalam pertarungan politik. Misalnya, izin usaha dipercepat, pajak dipermudah serta mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dalam persaingan. Oleh karena itu, Indonesia butuh solusi yang cerdas dan tidak merusak citra demokrasi dalam pelaksanaan pemilihan, tidak hanya sekedar terlaksana seperti yang sudah berlalu namun membutuhkan penyelesaian yang bersifat jangka panjang dalam mengilangkan dampak kebiasaan yang selama ini dilestarikan.

Arnold Laswell dan Harold Rogow (1963) dalam Power, Corruption, and Rectitude menguraikan bahwa suap terjadi karena tatanan politik yang ada membuka peluang lebar bagi adanya jual-beli jabatan publik. Bahwa mereka yang memiliki uang atau modal besar dapat menguasai jabatan penting. Maka terjadilah apa yang disebut venal office, yaitu bahwa kekuasaan bisa dimiliki bukan karena integritas atau kepemimpinan seseorang melainkan karena memiliki dana besar untuk kampanye, memiliki modal untuk membeli perusahaan publik, dan untuk membeli suara pemilih. Terlebih lagi situasi ini diperparah oleh budaya dan persepsi masyarakat bahwa imbalan material yang tidak resmi adalah sesuatu yang sah dan wajar. Oleh karena itu, harus ada paradigma baru yang harus ditanamkan kepada masyarakat agar para elit politik tidak membalikkan pakta, bahwa “rakyatlah yang mengajarkan korupsi”.

b.      Pelopor Demokrasi Anti Korupsi

Siapakah pelaku utama dalam pelopor demokrasi anti korupsi? Tentunya kita harus membedakan antara demokrasi dan pelaku demokrasi. Demokrasi adalah salah satu bentuk pemerintahaan dalam sebuah negara dengan kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung atau melalui perwakilan. Kata demokrasi itu sendiri berasal dari Yunani, yaitu dēmokratía yang terbentuk dari kata dêmos yang berarti rakyat, dan Kratos yang berarti kekuasaan, sehingga kata dēmokratía berarti kekuasaan rakyat. Istilah Demokrasi sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak yang disebut dengan istilah rakyat. Di Yunani sendiri demokrasi telah muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM.

Menurut Yusuf Al-Qordhawi Demokrasi adalah Wadah Masyarakat untuk memilih sesorang untuk mengurus dan mengatur urusan mereka. Pimpinanya bukan orang yang mereka benci, peraturannya bukan yang mereka tidak kehendaki, dan mereka berhak meminta pertanggungjawaban penguasa jika pemimpin tersebut salah. Merekapun berhak memecatnya jika menyeleweng, mereka juga tidak boleh dibawa ke sistem ekonomi, sosial, budaya, atau sistem politik yang tidak mereka kenal dan tidak mereka sukai. Dengan demikian, demokrasi sesungguhnya berdasarkan keinginan rakyat yang merasa proses pemilihan melalui pemilihan (pencoblosan) adalah sesuatu yang akan mewujudkan keadilan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia.

Namun pada kenyataannya pelaku demokrasi memberikan pelajaran yang kontradiktif dengan pengertian demokrasi itu sendiri, alih-alih demokrasi yang ada di Indonesia sudah cacat total, sehingga sah-sah saja ketika para calon menggunakan ‘money politik’ dalam memenangkan pertarungan. Adakah yang sadar akan makna demokrasi? Saya kira semua orang sadar namun kesadarannya tidak dijadikan sebagai tolak ukur dalam membenahi demokrasi yang sudah cacat. Masyarakat misalnya, masih saja terpengaruh dengan kertas merah atau hijau yang bergambar pahlawan dan dikeluarkan oleh bank Indonesia. Padahal rakyat mengetahui akan konsekuensi dari hal tersebut. Selain itu, para pemain semakin merasa memiliki jalan pintas tanpa memikirkan akibat dari apa yang dilakukan, yakni dampak dari kebiasaan akan pembelajaran sogok-menyogok.

Pelaku utama dalam mewujudkan demokrasi anti korupsi menurut saya adalah tim sukses. Tim sukses yang merupakan sebagai pelaksana dari rencana yang direncakan oleh pemikir (pemain (calon) dan pemikir initi (ketua tim)), apapun yang menjadi perintah atau tugas yang dimandatkan akan dijalankan sesuai dengan koridor (aturan yang terencana) guna terealisasinya konsep matang yang sudah dibangun. Dengan demikian tim sukses merupakan kunci utama dalam melopori demokrasi anti korupsi karena tim sukses yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, dan selama ini tim sukses harus bertanggungjawab akan dampak kebiasaan yang terjadi di masyarakat yang selama ini dilestarikan. Oleh karena itu, partai harus mampu membenahi dan menjadikan tim sukses sebagai pelopor anti korupsi demi terjaga hakekat niat yang dibawa ketika menjadi calon, dan mampu menjaga amanah yang diberikan oleh rakyat.

Secara mendasar, tentunya apa yang diperintahkan oleh ‘atasan atau ketua’ adalah amanah dan tanggungjawab yang harus dilaksanakan. Hal tersebut sudah benar dilakukan ketika mampu menjalankan amanah, namun kembali lagi pada nilai dan manfaat yang diakibatkan, kita perlu berpikir akan proses jangka panjang kepemimpinan dan nasib bangsa yang selama ini lebih banyak melahirkan korupsi, kemiskinan, gelandangan, pengemis dan lain sebagainya, walau banyak juga yang melahirkan generasi yang sukses.

c.       PEMILU: Demokrasi Anti Sogok-Menyogok (Suap-Menyuap).

d.      Dualitas Wajah Indonesia.

Post a Comment

komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau

Simak juga Post Sarjana Muda 45 Minggu ini

Hidup hanyalah sekedar jalan-jalan untuk menikmati kehidupan, hidup hanyalah sekedar hembusan nafas untuk melangkah menikmati jeruji Tuhan, hidup hanyalah gambaran Tuhan akan kehidupan yang lebih abadi. Oleh karena itu…, tak perlu rebut, tak perlu risau, tak perlu bingung, tak perlu galau, tak perlu merasa tertipu, tak perlu merasa bahwa hidup ini tak adil, tak perlu memberontak, tak perlu bangga, tak perlu sombong. Yang perlu kita lakukan adalah menikmati setiap proses yang ada, karena proses akan menentukan bahwa jalan-jalan dibumi yang kita lakukan sukses atau gagal. (Surga ataukah Neraka).

Data Pengunjung

Popular Posts

 

Negara Pengunjung RLM


PUTRA NTB MENULIS
SEO Stats powered by MyPagerank.Net

Statistic RLM

LOGO

LOGO
PUTRA LOMBOK MENULIS "BATUJAI"

Translate