Friday, October 18, 2013

0 Feminisme



A.    Sejarah Singkat Feminisme
Dalam dua abad terakhir, revolusi telah mengubah kehidupan perempuan, tidak seperti revolusi nasional, pergolakan sosial, dekade dan ideologi ini melintasi ke berbagai belahan dunia. Penaburan benih dalam perjuangan bersenjata terus berlanjut dan bertahap, infiltrasi kesadaran kita terhadap premis sederhana bahwa perempuan mampu dan berharga sama seperti laki-laki. Untuk mengukur lebarnya pergolakan berkalnjutan pola lama ini, feminis gerakan telah mengubah hukum dan politik, dari reformasi cara perceraian Mesir dan kasus pelecehan seksual di Jepang dan Amerika Serikat ke nominasi dari jumlah pencalonan yang sama dari calon pria dan wanita terhadap partai politik prancis. Atau perhatikan perubahan dalam kepemimpinan selama tahun 1990, 90 persen Negara di Dunia memilih perempuan untuk bekerja di kantor nasional, dan perempuan menjabat sebagai kepala negara di lebih dari dua puluh negara.[1]
Pada tahun 2000, gerakan-gerakan internasional yang terus berkembang untuk meningkatkan kehidupan perempuan semakin mempengaruhi satu sama lain, karena sebagian ke forum yang disediakan oleh Dasawarsa PBB untuk Perempuan pada tahun 1975-1985 dan konferensi lanjutan di Beijing pada tahun 1995. Sementara itu, mereka berbagi keyakinan bahwa wanita layak terhadap jaminan akan Hak Asasi Manusia (HAM) secara penuh. feminisme internasional sering berbeda dalam penekanan mereka, hanya beberapa yang berkonsentrasi pada perempuan, sementara yang lain mengenali link kompleks dengan politik ras, kelas, agama, dan kebangsaan. Meskipun perbedaan ini, feminis barat yang paling memiliki hak dalam belajar bahwa keadilan ekonomi dan politik global merupakan prasyarat untuk mengamankan hak-hak perempuan. Perempuan di negara berkembang telah menemukan bahwa gerakan feminis transnasional dapat membantu mereka dalam membangun strategis internasional untuk usaha di rumah.[2]
Gerakan perempuan Barat secara signifikan memperluas agenda mereka setelah tahun 1960. Seiring dengan tuntutan untuk hak-hak ekonomi dan politik, pembebasan perempuan menghidupkan kembali politik perbedaan melalui kritiknya terhadap hubungan interpersonal. Pembebasan perempuan memperjuangkan kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam pekerjaan dan politik dan perbedaan perempuan dari laki-laki dalam arena reproduksi dan seksualitas. Sebuah generasi perempuan barat yang dipengaruhi oleh feminisme datang untuk mengharapkan kesempatan yang sama.[3]
Mayoritas generasi ini kerap menyatakan, "Aku bukan seorang feminis, tapi. . . , "Bahkan ketika mereka bersikeras pada upah yang sama, pilihan seksual dan reproduksi, cuti, dan perwakilan politik. Anak-anak mereka yang dibesarkan, baik pria maupun wanita, tumbuh dan dipengaruhi oleh harapan-harapan feminis tetapi belum tentu nyaman dengan istilah tersebut. Di luar Barat, istilah feminisme masih bisa membangkitkan fokus yang sempit tentang persamaan hak. Di India pada tahun 1991, ada sebuah jurnal esai perempuan Manushi yang sangat berpengaruh, yang berjudul "Why I Do Not Call Myself a Feminist," kontras dengan kekhawatiran Barat tentang hak-hak perempuan dengan hak asasi manusia yang lebih luas dan kampanye keadilan sosial yang memenuhi kebutuhan baik laki-laki dan perempuan dalam mengembangkan negara.[4]
B.     Teori Feminisme
1.      Feminisme Liberal
1.1.   Sejarah
Menjelang akhir abad kedelapan belas, dua revolusi besar dunia mempraktekkan kritik hirarki sosial yang dimulai pada abad pencerahan: revolusi Amerika melawan pemerintahan kolonial Inggris, yang dimulai pada tahun 1776, dan revolusi Perancis terhadap pemerintahan aristokrat, dimulai pada 1789. Sebuah tatanan sosial yang lebih tua tampak runtuh sebagai masyarakat umum, baik pria maupun wanita, bersikeras pada hak-hak mereka untuk representasi politik. Dengan merusak kekuasaan kolonial di Amerika dan status keturunan di Perancis, revolusi ini melegitimasi konsep kesetaraan dan terinspirasi kritik luas dari hubungan kekuasaan yang tidak setara, termasuk abolitionism dan feminisme. "Dapatkah manusia bebas, jika seorang wanita menjadi seorang budak?" Tanya penyair Inggris Percy Shelley pada tahun 1818. Dengan membelai, perempuan Eropa menjawab “tidak”.[5]
Di berbagai Negara lain, kritik feminis liberal muncul sebagai gerakan reformasi untuk menekankan pemerintahan yang demokratis. Di Brasil (yang memperoleh kemerdekaan dari Portugal pada 1822), serangkaian surat kabar, perempuan perkotaan (urban) memperjuangkan emansipasi perempuan, sehingga pada tahun 1850-an, O Jornal das Senhoras (The Ladies Journal) mengeluh bahwa pria hanya menganggap wanita semata-mata sebagai "mesin propagasi" dan perkawinan itu berarti "tirani tak tertahankan." Di tahun 1870an O Sexo Feminino (The Female Sex) mendukung emansipasi budak beserta hak-hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan, properti, dan kesetaraan hukum.[6]
1.2.   Inti Ajaran Feminsme Liberal.
Salah satu kajian menarik dalam feminisme liberal adalah ketimpangan distribusi hak-hak dalam masyarakat, misalnya keterwakilan perempuan dalam berbisnis, berpolitik, dan beberapa propesi pada dunia publik. Karena hal ini merupakan aplikasi “akal sehat” nilai-nilai yang ada dalam situasi perempuan dari pada harus melibatkan diri pada inovasi teoritis, dengan demikian, hal tersebut akan berdampak pada agenda politik diberbagai Negara. Feminisme liberal modern didasarkan pada premis bahwa perempuan adalah individu yang memiliki kemampuan berpikir, dengan demikian berhak atas hak asasi manusia penuh akan “kebebasan dalam memilih peran untuk menjalankan hidup dan untuk bersaing seperti layaknya laki-laki dalam politik dan pekerjaan yang dapat menghasilkan keuntungan.[7]
Feminisme Liberal memiliki pandangan bahwa untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia-demikian menurut mereka-punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.[8]
Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat.[9] Teori kelompok ini termasuk paling moderat di antara teori-teori feminisme. Pengikut teori ini menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total dalam semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik.[10]
1.3.   Manfaat Teori Feminisme Liberal.
Secara individu, wanita berhak dalam membentuk diri sendiri untuk menjadi mandiri, baik secara ekonomi maupun emosional. Kehidupan dalam rumah tangga yang terkekang, merupakan upaya diskriminasi yang jelas dari kaum laki-laki sehingga perempuan bisa meraih masa depannya sendiri dengan jalan kemandirian untuk mendapatkan impian dan cita-citanya. Selain dalam konteks individu, perempuan juga dapat aktif dalam berbagai kelompok diskusi, dengan tujuan untuk membantu kaum perempuan mewujudkan rasa percaya diri untuk ikut berpartisipasi dalam ranah publik bersama laki-laki.
Dalam konteks organisasi, pembelajaran administrasi adalah hal yang penting untuk diterapkan terhadap kaum perempuan, agar posisi yang selama ini diduduki oleh laki-laki bisa diperoleh oleh perempuan. Dengan demikian sumbangan dari teori ini terhadap kaum perempuan adalah mampu menjadikan perempuan duduk berdampingan dengan kaum laki-laki dengan hak yang sama.
2.      Feminisme Sosialis
2.1.   Sejarah
Dalam menanggapi munculnya kapitalisme di Eropa, teori politik liberal klasik merayakan individualisme yang sangat penting bagi keberhasilan ekonomi kelas menengah. Sebaliknya, ideologi politik sosialis mengkritik sistem ekonomi baru dari perspektif seniman dan pekerja tidak terampil. Selama tahun 1800-an, para pemilik mendapatkan keuntungan besar terhadap para pekerja tidak terampil baik dalam bidang pertanian, pertambangan, dan manufaktur, namun keadaan itu semakin memburuk. Pemberlakuan kerja paksa hingga 15-jam, dan dalam kondisi tidak sehat dan berbahaya, mengakibatkan para pekerja atau buruh sering mengalami cedera dan terjangkit penyakit yang membuat mereka semakin memburuk.[11]
Kekecewaan terhadap sistem "proletarisasi" kerja, membuat banyak buruh mencari alternatif lain, baik organiasi ekonomi maupun sosial kapitalis. Dengan munculnya permasalahan ini, teori sosialis lebih menekankan terhadap kerja kolektif antara pemiliki dan para pekerja atas alat-alat produksi. Dari tahun 1830an sampai 1850an, sosialis utopis bereksperimen dengan hidup kolektif yang alternatif mencakup hubungan gender. Setelah tahun 1848, ketika Marx dan Engels menerbitkan Manifesto Komunis, Marxis sosialis menyerukan revolusi proletar yang akan menggantikan kapitalisme dengan pekerja dan menuju sosialisme negara.[12]
Meskipun keterbatasan pada kebijakan negara komunis, sosialis perempuan telah memberikan kontribusi spektrum yang luas dan penting untuk strategi politik terhadap sejarah feminisme. Flora Tristan menekankan pendidikan; Clara Zetkin menyerukan pengorganisasian perempuan sebagai pekerja serta perempuan mendapatkan hak pilih; Alexandra Kollontai bersikeras pada sentralitas reproduksi, seksualitas, dan penitipan anak untuk mobilisasi pekerja perempuan. Perempuan Sosialis juga dipengaruhi gerakan serikat pekerja dalam demokrasi liberal seperti Inggris dan Amerika Serikat. Dari 1870an dan seterusnya, ketika serikat buruh gagal untuk mengatur meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja untuk upah, aktivis perempuan mengulurkan tangan untuk melakukannya.[13]
2.2.   Inti Ajaran Feminisme Sosialis
Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat agar tercapai kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang menimbulkan  kelas-kelas  dan division of  labor, termasuk di  dalam  keluarga. Gerakan kelompok ini mengadopsi teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan ‘kelas’ yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi para perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan dengan berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam.[14]
Aliran ini juga menolak anggapan tradisional dan para teolog bahwa status perempuan lebih rendah dari pada laki-laki karena faktor biologis dan latar belakang sejarah. Struktur ekonomi atau kelas di dalam masyarakat memberikan pengaruh efektif terhadap perempuan, karena itu, untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan supaya seimbang dengan laki-laki, diperlukan peninjauan kembali struktur secara mendasar, terutama dengan menghapus dikotomi pekerjaan sektor domistik dan sektor publik.[15]
Teori  ini  juga  tidak  luput  dari  kritikan,  karena  terlalu  melupakan  pekerjaan domistik. Marx dan Engels, sama sekali tidak melihat nilai ekonomi pekerjaan domistik. Pekerjaan domistik hanya dianggap pekerjaan marjinal dan tidak produktif, padahal semua pekerjaan publik yang mempunyai nilai ekonomi sangat bergantung pada  produk-produk yang dihasilkan dari pekerjaan rumah tangga, misalnya makanan yang siap dimakan, rumah yang layak ditempati, dan lain-lain yang memengaruhi pekerjaan publik tidak produktif. Kontribusi ekonomi yang dihasilkan kaum perempuan melalui pekerjaan domistiknya telah banyak diperhitungkan oleh kaum feminis sendiri. Kalau dinilai dengan uang, perempuan sebenarnya dapat memiliki penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki dari sektor domistik yang dikerjakannya.[16]
2.3.   Manfaatnya bagi Pekerjaan Sosial
Dalam sumbangan teori ini, perempuan tidak hanya mampu untuk mandiri dalam ekonomi maupun yang lainnya namun lebih kepada transformasi personal yakni menciptakan kesempatan bagi perempuan untuk mengeluarkan pendapat, mengungkapkan kemarahan dan menyuarakan ketidakadilan yang selama ini melekat di dalam diri perempuan. Dalam transformasi sosial, menciptakan proyek-proyek penelitian perempuan. Selain itu, dalam pengembangangan masyarakat, para aktivis perempuan menyuarakan protes terhadap pornografi dengan alasan hal tersebut hanya akan membuat konflik terhadap kaum perempuan.
Perempuan tidak boleh dijadikan sebagai alat pemuas sekaligus sebagai alat untuk menciptakan kerusakan moral terhadap kaum perempuan. Dari sisi organisasi (lembaga) penentangan terhadap struktur organisasi hirarki menghasilkan pentingnya struktur organisai yang lebih demokrasi, menghargai keragaman keterampilan yang dimiliki oleh perempuan, menghargai proses keragaman kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh perempuan ketimbang kelemahannya.

3.      Feminism Radikal
3.1.   Sejarah
Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960an dan 1970an. feminisme radikal dilegitimasi oleh pengalaman penindasan yang mereka alami secara individu, sehingga untuk memberdayakan mereka perlu melihat pengalaman pribadi tentang penghinaan yang ada yang mereka bawa, struktur kekuasaan laki-laki sebagai bukti masalah sistemik dari struktur kekuasaan. Terutama, kekecewaan ini datang dari aliran kiri dengan cara membuat sebuah organisasi baru yakni organisasi radikal kiri (terutama di Amerika Serikat). mereka bertekad untuk membuktikan bahwa masalah pribadi “subyektif” sama pentingnya dengan mereka dengan kelompok kiri yang telah ditangani sebelumnya, seperti sosial keadilan dan perdamaian. Akhirnya, beberapa feminis radikal datang dan percaya bahwa semua isu-isu ini saling terkait satu sama lain, bahwa supremasi laki-laki dan penaklukan perempuan memang akar dan model penindasan dalam masyarakat dan feminisme yang harus menjadi dasar untuk perubahan revolusioner.[17]
Sebuah fitur utama dari feminisme radikal adalah keyakinan bahwa penindasan seksual adalah fitur yang paling fundamental dari masyarakat dan bahwa bentuk-bentuk ketidakadilan dapat menjadi sekunder. Jender dianggap merupakan masalah paling krusial dan secara politis paling signifikan pada belahan dada. Sebagian mulai mempromosikan pandangan bahwa tekanan terhadap perempuan berakar lebih banyak di psikologis dan lebih sedikit dalam faktor ekonomi. Millet memandang keluarga sebagai sumber utama indoktrinasi ideologis. Ini mensosialisasikan 'ideologi patriarki muda dan diresepkan pada sikap terhadap kategori peran, temperamen, dan status'. Dengan demikian, kaum feminis radikal menekankan peran keluarga dalam mereproduksi patriarki sedangkan Marxis fokus pada peran keluarga dalam ideologi 'reproduksi' kapitalisme. Selain itu, kaum feminis radikal dibawa ke agenda publik atas isu perkosaan, yang harus dianggap sebagai kejahatan politik, masalah kekuasaan, dan aksi teroris yang terus men-subordinasi-kan kaum perempuan.[18]
3.2.   Inti Ajaran Feminism Radikal.
Adapun inti dari ajaran ini adalah teori ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan  perempuan. Elsa Gidlow mengemukakan teori bahwa menjadi lesbian  adalah telah  terbebas dari dominasi laki-laki,  baik  internal maupun eksternal. Martha Shelley selanjutnya memperkuat bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri.[19]
Karena keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak bisa lepas dari beban ini.[20]
3.3.   Manfaatnya.
Sumbangan teori ini adalah pembentukan-pembentukan kelompok swadaya dengan bersandar pada pengalaman-pengalaman pribadi sehari-hari perempuan pekerja. Karena dengan adanya swadaya ini, kelompok swadaya akan dipandang potensial dalam meningkatkan solidaritas diantara anggotanya. Pembentukan serikat-serikat pekerja dalam analisis gender dan kelas, salah satu serikat pekerja yang terkenal adalah The National Women’s Trade Union League (NWTUL) yang didirikan pada tahun 1903 oleh para wanita pekerja, feminis sosial dan wanita pekerja perumahan. Dimana program-program yang dicanagkan oleh NWTUL adalah melarang wanita bekerja saat hamil dua bulan dan sesudah, penghapusan kerja malam, kesehatan dan keselamatan bagi kaum perempuan, jabatan khusus bagi wanita dan lainnya.
Dalam penerapan organisai, para wanita mengusulkan tipe baru dalam struktur organisasi yang disebut “neo-birokrasi” dimana mencoba untuk lebih kepada keadailan yang merata bagi kaum perempuan, misalnya: mengakui kontribusi serikat pekerja dalam hal meningkatkan perlindungan dan jaminan sosial bukan hanya sekedar jaminan sosial yang keluar dari mulut manis dan tertulis dalam kertas putih sebagai Undang-undang.
C.     Gerakan Feminisme dampak yang universal: Gerakan Feminime di Indonesia
Dalam sejarah perkembangannya, di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan-gerakan wanita (feminisme) mulai menjamur di berbagai tempat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia seperti yang dipelopori oleh R.A. Kartini. Mereka bekerja untuk emansipasi, perubahan dan persamaan kedudukan wanita, dan keadilan sosial selama kurun waktu tersebut. Alasan dan tujuan di balik perjuangan mereka ini sangat beragam. Revolusi melawan kekuatan kolonial, misalnya, juga sering menggunakan kemampuan dan kekuatan wanita. Cita-cita kemanusiaan dan hak pilih universal tersebar lewat sistem komunikasi yang sudah cukup banyak berkembang saat itu.[21]
Tujuan gerakan-gerakan feminisme pada masa itu cukup jelas. Gerakan tersebut difokuskan pada suatu isu yaitu untuk mendapatkan hak pilih (the right to vote).  Mereka dengan gigih mengambil bagian dalam perjuangan untuk memberikan suara, hak-hak yang sama, status hukum, dan kesempatan akan pendidikan dan pekerjaan. Di Indonesia, misalnya, pada pertengahan abad ke-19 para pemikir wanita berjuang demi pendidikan kaum wanita, mengorganisir Kongres Wanita Indonesia, dan mencita-citakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (kesetaraan gender) dalam  keluarga.[22]
Selama seabad kaum wanita memperoleh hak politik yang sama sampai ketika konstitusi RI diterima pada tahun 1945, dan untuk mengakui gerakan fenimisme yang telah mengadakan pembaharuan ini maka PBB mendirikan Komisi Kedudukan Wanita pada tahun 1948. Walaupun berbeda secara kultural, namun gerakan-gerakan ini diwarnai secara mencolok oleh perjuangan demi emansipasi, baik melawan tradisi-tradisi setempat maupun melawan imperialisme colonial yang seringkali melemahkan kedudukan kaum wanita di daerahdaerah yang dijajah. Tujuan yang mereka rumuskan secara jelas memberikan arah dan masukan bagi kegiatan gerakan praktis mereka untuk pembaharuan di segala bidang, termasuk bidang moral keagamaan (spiritual). Propaganda dan dalih tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan kaum wanita memberikan peluang pula bagi mereka.[23]
Namun pada umumnya para feminis religius ini tidak didukung oleh para pemikir wanita yang pada waktu itu sudah mulai mengajar, terutama pada sekolah-sekolah untuk wanita. Namun demikian, hasil dari gerakan-gerakan ini telah berkembang sebagaimana hak pilih yang dimiliki dari suatu negara ke negara lain. Gerakan-gerakan kemerdekaan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, telah menghasilkan persamaan kedu-dukan bagi kaum wanita. Satu hal yang perlu dicatat adalah, setelah hak memilih diberi-kan pada tahun 1920, gerakan feminisme seakan-akan tenggelam. Kedudukan kaum wanita sampai dengan tahun 1950an tidak pernah digugat, dimana wanita yang dianggap ideal adalah yang berperan sebagai ibu rumah tangga, walaupun pada periode tersebut sudah banyak yang aktif bekerja di luar rumah. Barulah pada tahun 1960an, gerakan feminisme mendapatkan momentum, gerakan ini menjadi suatu kejutan besar bagi masyarakat  tersebut, karena gerakan ini memberikan kesadaran  baru, terutama bagi kaum wanita, bahwa peranan tradisional wanita ternyata menempatkan wanita pada posisi yang tidak menguntungkan, yaitu  subordinasi wanita.[24]



D.    Sumber

Estele, B. Freedman (2002). No Turning Back: the History of Feminism and the Future of Women. (New York: Ballantine Books),

Maria H. Adjipavlou. (2010). Women and Change in Cyprus: Feminisms and Gender in Conflict (New York: Published by Tauris Academic Studies, an imprint of I.B.Tauris & Co Ltd).

Nasaruddin. (1999). Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina. Cet. I.

Katjasungka, Nusrsyahbani, et.al. (2000). “Gender” dalam Penilaian Demokratisasi di Indonesia. (Jakarta: International IDEA),


[1] Estele, B. Freedman (2002). No Turning Back: the History of Feminism and the Future of Women. (New York: Ballantine Books), hal. 1.
[2] Ibid, hal. 2.
[3] Ibid, hal. 5.
[4] Ibid, hal. 5-6.
[5] Estele, B. Freedman (2002). No Turning Back: the History of Feminism and the Future of Women…, hal. 47-48
[6] Ibid, hal. 53
[7] Maria H. Adjipavlou. (2010). Women and Change in Cyprus: Feminisms and Gender in Conflict (New York: Published by Tauris Academic Studies, an imprint of I.B.Tauris & Co Ltd). Hal. 28
[8] Nasaruddin. (1999). Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina. Cet. I. hal. 57.
[9] Ibid, hal. 57-58.
[10] Ibid, hal. 58.
[11] Estele, B. Freedman (2002). No Turning Back: the History of Feminism and the Future of Women…, hal. 55
[12] Ibid, hal. 56
[13] Ibid, hal. 61.
[14] Nasaruddin. (1999). Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an…, hal. 58.
[15] Ibid, hal. 58-59.
[16] Ibid, hal. 59.
[17] Maria H. Adjipavlou. (2010). Women and Change in Cyprus: Feminisms and Gender in Conflict…, hal. 32-33
[18] Ibid, hal. 33-34
[19] Ibid, hal. 37
[20] Ibid, hal. 38
[21] Husain haikal. (2012). Wanita dalam Pembinaan Karakter Bangsa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 67
[22] Kartowijono, Sujatin. (1982). Perkembangan Pergerakan  Wanita  Indonesia,  (Jakarta: PT.Inti Indayu Press), hal: 21
[23] Katjasungka, Nusrsyahbani, et.al. (2000). “Gender” dalam Penilaian Demokratisasi di Indonesia. (Jakarta: International IDEA), hal. 21
[24] Ibid, hal. 25

Post a Comment

komentar anda sangat berarti bagi kami, terima kasih telah membaca blog Rantauan Lombok Merantau

Simak juga Post Sarjana Muda 45 Minggu ini

Hidup hanyalah sekedar jalan-jalan untuk menikmati kehidupan, hidup hanyalah sekedar hembusan nafas untuk melangkah menikmati jeruji Tuhan, hidup hanyalah gambaran Tuhan akan kehidupan yang lebih abadi. Oleh karena itu…, tak perlu rebut, tak perlu risau, tak perlu bingung, tak perlu galau, tak perlu merasa tertipu, tak perlu merasa bahwa hidup ini tak adil, tak perlu memberontak, tak perlu bangga, tak perlu sombong. Yang perlu kita lakukan adalah menikmati setiap proses yang ada, karena proses akan menentukan bahwa jalan-jalan dibumi yang kita lakukan sukses atau gagal. (Surga ataukah Neraka).

Data Pengunjung

Popular Posts

 

Negara Pengunjung RLM


PUTRA NTB MENULIS
SEO Stats powered by MyPagerank.Net

Statistic RLM

LOGO

LOGO
PUTRA LOMBOK MENULIS "BATUJAI"

Translate